Sumber Ajaran Tasawuf
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata
Kuliah : Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu : Dianing Pra Fitri
M.Si
B-ELK Semester Genap
Disusun oleh:
Ahmad Hidayat (1510120048)
Khoerul Muarif (1510120051)
Tri Noviyanto (1510120052)
SEKOLAH TINNGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN
2016/2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia merupakan makhluk yang
diberikan satu keunggulan untuk mengenal dan memahami penciptanya. Dengan
keunggulan yang dimiliki tersebut, diharapkan mampu menjadikan manusia
benar-benar mendapat derajat yang mulia di sisi-Nya. Dalam Tasawuf, jalan untuk
menjadi hamba Allah yang baik dan sempurna diungkapkan dengan jelasnya, hal ini
bukan berarti manusia mampu segala-galanya sehingga dengan mudah mendapatkan
predikat mulia.
Namun, dalam tasawuf diajarkan untuk
selalu ittiba` kepada Rasulullah Muhammad SAW dan tentunya sesuai dengan
ketentuan Allah dalam Al-Qur`an. Dengan jalan inilah manusia akan mampu
mencapai derajat yang tertinggi, yang dalam tasawuf disebut sebagai tingakatan ma`rifat.
Tingkatan ini, dalam ajaran tasawuf bukanlah tujuan yang mudah dicapai dan
tidak pula tujuan yang tidak dapat dicapai. Melainkan, dalam Tasawuf Allah akan
memilih siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, untuk dekat bersama-Nya. Namun,
bukan berarti manusia tidak dapat berusaha mendapatkan atau sampai kepada
tingkatan tersebut, tetapi malah justru ketika usahanya sampai kepada Allah
itulah nilai yang tertinggi.
Tasawuf adalah suatu kehidupan rohani
yang merupakan fitroh manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi,
berada dekat atau sedekat mungkin dengan Allah dengan jalan mensucikan jiwanya,
dengan melepaskan jiwanya dari kungkungan jasadnya yang menyadarkan hanya pada
kehidupan kebendaan, disamping juga melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan
perbuatan yang tercela.[1]
Akan tetapi, tasawuf adakalanya
membawa orang jadi sesat dan musyrik, bila seseorang bertasawuf tanpa
bertauhid dan bersyari`at. Tauhid menimbulkan iman, syari`at menimbulkan taat.
Seseorang dapat mengatakan bahwa Tuhan itu ada adalah dengan tauhid dan dapat
mentaati dan menuruti pada peraturan-peraturan dalam ibadah adalah dengan
syari`at, serta seseorang dapat merasakan dan mengenal Tuhan, untuk siapa
dipersembahkan semua amalannya itu yang disebut dengan tasawuf.[2]
Atas dasar tersebut, maka perlu dan
penting sekiranya memahami darimana sumber tasawuf itu, agar dalam
pengamalannya tidak dikategorikan sesat dan menyesatkan. Mengingat sebagaimana
yang diuraikan diatas bahwa adakalanya tasawuf membuat seseorang menjadi sesat
dan keluar dari syari`at.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
diatas, diambil rumusan masalahnya sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan
sumber-sumber tasawuf?
2. Apa saja sumber-sumber tasawuf itu?
C. Tujuan
Adapun tujuannya, yaitu:
1. Untuk mengetahui maksud dari
sumber-sumber tasawuf.
2.
Untuk mengetahui tentang sumber-sumber tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Maksud
Sumber-Sumber Tasawuf
Setiap disiplin ilmu yang ada, masing-masing
dari mereka memiliki sumber-sumber yang menjadi dasar keberadaan mereka. Hal
ini dimaksudkan agar kebenaran disiplin ilmu yang dimaksud mempunyai payung
hukumnya atau dasar berdirinya. Dengan sumber-sumber yang menjadi
keberadaannya, suatu disiplin ilmu dapat membuktikan dan menunjukkan
eksistensinya. Demikian juga dengan tasawuf, yang sudah jelas merupakan inti
ajaran Islam dalam mendekatkan diri kepada Allah, meskipun nama dan disiplin
ilmunya baru muncul di zaman yang belakangan ini. Tetapi, sejatinya ajaran
tasawuf adalah wajib setiap muslim tahu dan paham jika diperhatikan dari sudut
pandang bahwa ini merupakan jalan yang dapat menghantarkan jiwa kepada Sang
Khaliq, artinya dalam proses pendekatan kepada Sang Ilahi itulah yang membuat
seorang muslim harus paham dengan tasawuf, karena bukan tasawufnya yang menjadi
persoalan tapi amalannya.
Sumber pokok tasawuf dalam Islam adalah bermula
dari pangkal ajaran agama Islam itu sendiri. Walaupun sebagian ahli ada yang
mengatakan bahwa tasawuf Islam itu timbul sebab adanya pengaruh dari luar
Islam. Dan kata sufi sendiri tidak disebutkan atau diterangkan dalam Al-Qur`an
maupun Al-Hadits. Namun, apabila kita mencari dan menyelidiki secara seksama
pada ayat-ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka banyak sekali didapati dari ayat
Al-Qur`an dan Al-Hadits itu yang berfungsi sebagai sumber tasawuf.[3]
Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin
banyak diminati orang. Sebagai bukti misalnya, banyaknya buku yang membahas
tasawuf yang banyak ditemui telah mengisi berbagai perpustakaan terutama di
negara-negara yang berpenduduk muslim, juga negara-negara barat sekalipun yang
mayoritas masyarakatnya adalah non-muslim. Ini menjadi salah satu alasan
tingginya ketertarikan mereka terhadap tasawuf. Akan tetapi, tingkat
ketertarikan mereka tidak dapat diklaim sebagai sebuah penerimaan bulat-bulat
terhadap tasawuf. Jika diteliti lebih mendalam, ketertarikan mereka terhadap
tasawuf dapat dilihat pada dua kecenderungan, yaitu: pertama, karena
kecenderungan terhadap kebutuhan fitroh atau naluriah dan kedua, karena
kecenderungan pada persoalan akademis.[4]
Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya bahwa
berbicara disiplin ilmu berarti juga berbicara atas dasar apa ilmu itu berdiri,
atau berbicara dari sumber mana disiplin ilmu tersebut lahir. Maka dalam
pembahasan selanjutnya, akan diuraikan mengenai sumber-sumber tasawuf yang
menjadi dasar bagi keyakinan kaum muslim, mengingat ada pandangan bertasawuf
juga dapat membuat seseorang sesat.
B.
Sumber-Sumber
Tasawuf
Al-Qur`an dan Al-Hadits merupakan kerangka
acuan pokok yang selalu dipegang umat Islam. Kita sering mendengar pertanyaan
dalam kerangka landasan dalil naqli ini, “apa dasar Al-Qur`an dan
Al-Hadits nya?” pertanyaan ini sering terlontar dalam benak pikiran kaum
muslimin ketika hendak menerima atau menemukan persoalan-persoalan baru atau
persoalan-persoalan unik yang mereka temui, termasuk dalam pembahasan tasawuf.[5]
Berikut ini merupakan sumber-sumber tasawuf.
1.
Al-Qur`an
Al-Qur`an
adalah kalam Allah yang tiada tandingannya (mukjizat), diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW., penutup para Nabi dan Rasul dengan perantaraan Malaikat Jibril,
dimulai dengan surat Al-Fatiha dan di akhiri dengan surat An-Naas, dan ditulis
dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh
orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah.[6] Dalam
Islam Al-Qur`an adalah hukum tertinggi yang harus ditaati, mengingat bahwa
Al-Qur`an merupakan firman Allah yang langsung ditransferkan untuk umat manusia
yang sudah melengkapi kitab-kitab samawi sebelumnya. Berikut-berikut
dalil-dalil Al-Qur`an tentang tasawuf, diantaranya:[7]
a.
Taubat
Taubat adalah awal tempat pendakian orang-orang
yang mendaki dan maqam pertama bagi sufi pemula. Hakikat taubat menurut
arti bahasa adalah kembali. Kata taba memiliki arti kembali, maka taubat
maknanya juga kembali. Artinya, kembali dari sesuatu yang dicela dalam syari`at
menuju sesuatu yang dipuji dalam syari`at.
Orang-orang yang berpegang teguh pada
prinsip-prinsip ahlus sunnah mengatakan, agar taubat diterima diharuskan
memenuhi tiga syarat utama, yaitu menyesali atas pelanggaran-pelanggaran yang
pernah diperbuatnya, meninggalkan jalan licin (kesesatan) pada saat melakukan
tobat dan berketepatan hati untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran
serupa.[8]
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ
عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا
مَعَهُ ۖ نُورُهُمْ يَسْعَىٰ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ
يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا ۖ إِنَّكَ
عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [٦٦:٨]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah
kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhanmu akan
menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukan kamu kedalam surga-surga yang
mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan
Nabi dan orang-orang beriman bersama dengannya, sedang cahaya mereka memancar
dihadapan dan disebelah kanan mereka, sambil
mereka berkata, “Ya Tuhan kami sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan
ampunilah kami, sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S
At-Tahrim: 8).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ [٢٤:٣١]
Artinya: Dan bertobatlah kamu kepada Allah, wahai
orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung. (Q.S An-Nuur: 31).
Bagi Dzu Al-Nun bin Ibrahim Al-Mishri (w. 264H./861M.)
taubat itu dilakukan karena seorang salik mengingat sesuatu dan terlupakan
mengingat Allah. Dia kemudian membagi taubat menjadi taubat kelompok awam dan
taubat kelompok khash (awliya`). Kelompok orang khash melakukan
pertaubatan karena dia lupa mengingat Allah sedangkan kelompok awam bertaubat
karena mengerjakan perbuatan dosa. Baginya, hakikat taubat adalah keadaan jiwa
yang merasa sempit hidup diatas bumi karena kesalahan-kesalahan yang telah
diperbuat.[9]
b.
Sabar
Junaid mengatakan,
“perjalanan dari dunia menuju akhirat adalah mudah dan menyenangkan bagi orang
yang beriman, putusnya hubungan makhluk disisi Allah SWT adalah berat
perjalanan dari diri sendiri (jiwa) menuju Allah adalah sangat berat, dan sabar
kepada Allah tentu akan lebih berat.” Ia ditanya tentang sabar, lalu dijawab
“menelan kepahitan tanpa bermasam muka.”[10]
Allah SWT berfirman:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ
وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ [٢:٤٥]
Artinya: Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah)
dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu`. (Q.S Al-Baqarah: 45).
Dalam ayat lain Allah
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ [٢:١٥٣]
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah
pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta
orang-orang yang sabar. (Q.S Al-Baqarah: 153).
c.
Faqr
Firman Allah SWT.
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ
أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ
يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ
لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ
اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ [٢:٢٧٣]
Artinya: (Apa yang kamu
infakkan) adalah untuk orang-orang faqir yang terhalang (usahanya karena jihad)
dijalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di Bumi (orang lain) yang
tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang kaya karena mereka menjaga diri
(dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya,
mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apapun harta yang baik
yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui. (Q.S Al-Baqarah: 273).
d.
Zuhud
Ibnu Katsir menjelaskan
bahwa tujuan Al-Qur`an menyerukan sikap zuhud terhadap keduniaan bukanlah
berpaling dari segala perhiasan dunia secara total sebagaimana yang disalah
pahami sebagian kalangan sebab harta kekayaan merupakan sarana untuk berinfaq
dijalan kebaikan, menikahi wanita merupakan sarana menjaga kehormatan diri,
mengembang biakkan keturunan, dan meramaikan semesta, kemudian anak-anak adalah
modal umat dalam kondisi damai maupun perang, sedangkan kuda merupakan sarana
untuk jihad dijalan Allah.[11] Allah
SWT berfirman:
اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ
لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ وَفَرِحُوا
بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا
مَتَاعٌ [١٣:٢٦]
Artinya: Allah
melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang
Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia padahal kehidupan
dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat. (Q.S
Ar-Ra`d: 26)
Dalam keterangan yang lain, Allah SWT berfirman:
وَلَا تَمُدَّنَّ
عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ
وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ [٢٠:١٣١]
Artinya: Dan janganlah
engkau tujukkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan
kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar
Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih
kekal. (Q.S Taa-Haa: 131).
e.
Waro`
As-Sariy berkata, “ada
empat ahli wara` dimasa mereka, yaitu Hudzaifah Al-Mar`asyi, Yusuf bin Asbath,
Ibrahim bin Adham, Sulaiman Al-Khawwash. Mereka mempunyai pandangan yang sama
tentang wara` ketika mereka mendapatkan berbagai persoalan yang sulit, mereka
mampu meminimalkan.” Saya pernah mendengar Syibli berkata, “wara` merupakan
upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan dengan
Allah SWT.”[12]
Allah SWT berfirman:
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ
بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ [٢٤:١٥]
Artinya: (Ingatlah)
ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakana
dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikitpun, dan kamu menganggapnya
remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar. (Q.S An-Nuur: 15)
Allah juga berfirman:
إِنَّ رَبَّكَ
لَبِالْمِرْصَادِ [٨٩:١٤]
Sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi. (Q.S Al-Fajr: 14).
f.
Tawakal
Menurut Abu Nashr As-Siraj
Ath-Thusi, yang dimaksud tawakal sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Bakar
Ad-Daqaq adalah menolak kehidupan pada masa sekarang dan menghilangkan
cita-cita pada masa yang akan dating. Hal ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh Sahl bin Abdullah bahwa yang dimaksud tawakal adalah
melepaskan segala apa yang dikehendaki dengan menyandarkan diri kepada Allah
SWT. Menurut Abu Ya`qub Ishaq An-Nahl Jauzi, yang dimaksud tawakal adalah
menyerahkan diri kepada Allah SWT dengan sebenarnya sebagaimana yang terjadi
pada Nabi Ibrahim disaat Allah SWT berfirman kepada Malaikat Jibril a.s:
Ibrahim telah berpisah (bercerai denganmu) dirinya telah hilang bersama Allah
SWT. Oleh karena itu, tidak ada yang mengetahui orang yang bersama Allah
kecuali Allah SWT.[13] Allah
SWT berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ
لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ
حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي
الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ [٣:١٥٩]
Artinya: Maka berkat
rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan
bermusyaralah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah
membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai
orang yang bertawakal. (Q.S Al-Imran: 159).
g.
Ridho
Rabi`ah Al-Adawiyah pernah
ditanya, “kapan hamba disebut orang yang ridho?” dia menjawab, “apabila dia
senang ketika mendapatkan musibah, sebagaimana dia senang ketika mendapatkan
kenikmatan.”
Menurut Abu Umar
Ad-Dimsyaqi, yang dimaksud ridho adalah menghilangkan (meninggalkan) keluh
kesah dimana saja hukum berlaku. Sedangkan menurut Harits Al-Muhasibi, yang
dimaksud ridho adalah tenangnya hati dibawah tempat-tempat berlakunya hukum.[14]
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا
مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ
مِن فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ [٩:٥٩]
Artinya: Dan sekiranya
mereka benar-benar ridho dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan
Rasul-Nya, dan berkata, “Cukuplah Allah bagi kami, Allah dan Rasul-Nya akan
memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya orang-orang yang
berharap kepada Allah.” (Q.S At-Tauba: 59).
2.
Al-Hadits
Hadits yang jamaknya ahadits
memiliki padanan kata yang cukup beragam. Dari sisi bahasa, hadits dapat
diartikan baru sebagai lawan dari kata qadim (yang berarti lama, abadi
dan kekal). Pengistilahan hadits sebagai ucapan, perbuatan, taqrier dan hal
ihwal tentang Nabi Muhammad dimaksudkan untuk membedakan hadits dengan
Al-Qur`an yang diyakini oleh ahlus sunnah wal jama`ah sebagai firman
Allah yang qadim.[15]
Sebagaimana yang diketahui
bahwa Al-Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua. Sehingga dalam kajian
ilmu keagamaan pun Al-Hadits tetap menjadi rujukan setelah Al-Qur`an. Berikut
akan diuraikan hadits-hadits mengenai tasawuf, mengingat dalam tasawuf hadits
juga tergolong sumber kedua.
a.
Taubat
Sahabat Anas bin Malik r.a
berkata, saya pernah dengar Rasulullah SAW bersabda:
التَّائِبُ مِنَ
الذَّنْبِ كَمَنْ لَاذَنْبَ لَهُ, وَاِذَا اَحَبَّ اللهُ عَبْدًا لَمْ يَضُرَّهُ
ذنْبٌ.
Artinya: Seorang yang tobat dari dosa
seperti orang yang tidak punya dosa, dan jika Allah mencintai seorang hamba,
pasti dosa tidak akan membahayakannya. (Hadits diriwayatkan Ibnu Mas`ud dan
dikeluarkan Ibnu Majah sebagaimana tersebut dalam Al-Jami`ush-Shaghir,
Al-Hakim, At-Turmudzi dari Abu Sa`id, As-Suyuthi di Al-Jami`ush-Shaghir Juz 1,
halaman 3385).[16]
b.
Ikhlash
Rasulullah SAW
pernah ditanya tentang makna ikhlash, lalu dijawab:
سَألت جبريل عليه السلام عن الاخلاص, ما هو؟ قال:
سألت رب العزة عن الاخلاص, ماهو؟ قال سرمن سري استودعته قلب من أحببته من عبادي
Artinya: Saya bertanya kepada Jibril a.s
tentang ikhlash, apa itu? Kemudian dia berkata, saya bertanya kepada Tuhan
tentang ikhlash, apa itu? Dan Tuhan-pun menjawab, “yaitu rahasia dari
rahasia-Ku yang aku titipkan pada hati orang yang Aku cintai diantara
hamba-hamba-Ku. (Hadits dikeluarkan oleh Al-Qazwaini dalam Musalsalat-nya
dari Khudzaifah)[17]
Atau
dalam hadits lain menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: ان الله لا ينظر الى أجسامكم ولا الى صوركم ولكن ينظر الى
قلوبكم (رواه مسلم)
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata,
Rasulallah SAW bersabda, sesungguhnya Allah SWT tidak melihat bentuk badan dan
rupamu, tetapi melihat (memperhatikan) niat dan keikhlasan) hatimu.” (H.R
Muslim).[18]
c.
Sabar
Dari Aisyah r.a
diceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ان الصبر عند الصدمة الاولى
Artinya: Sabar yang sempurna adalah pada
pukulan (saat menghadapi cobaan) yang pertama. (Hadits riwayat Anas bin
Malik dan dikeluarkan Imam Bukhari didalam “Al-Jana`iz” Bab Sabar 3/138,
sedangkan Imam Muslim juga mengelompokkannya dalam “Al-Jana`iz” Bab Sabar Nomor
626, Abu Dawud di nomor 3124, At-Turmudzi di nomor 987, dan An-Nasa`I
mencantumkan di 4/22).[19]
d.
Zuhud
Nabi SAW
bersabda:
اذا رايتم الرجل قداوتي زهدا في الدنيا ومن تقا
فاقتربوا منه فانه يلقن الحكمة
Artinya: Jika diantara kamu sekalian melihat
orang laki-laki yang selalu zuhud dan berbicara benar, maka dekatilah dia.
Sesungguhnya dia adalah orang yang mengajarkan kebijaksanaan. (Hadits
disebutkan dalam Al-Kanz Jilid 3 halaman 183 nomor 6069, diriwayatkan oleh Abu
Khalad dan Abu Na`im bersama Al-Baihaqi meriwayatkannya juga darinya, sementara
As-Suyuthi menganggapnya lemah didalam Al-Jami`ush-Shaghir Jilid 1 halaman 84
nomor 635).[20]
e.
Wara`
Abu Dzar
Al-Ghifari berkata, bersabda Rasulullah SAW.
من حسن اسلام المرء تركه مالا يعنه
Artinya: Sebagian dari kesempurnaan Islam
seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berarti. (Hadits
dikeluarkan oleh Imam Malik bin Anas didalam Muwatha`-nya jilid 2 halaman 903
dalam bahasan “Kebaikan Akhlaq” di bab “Apa-apa yang datang didalam kebaikan
akhlaq.” At-Turmudzi mencantumkannya di nomor 2318-2319 tentang zuhud di bab
nomor 11 dari hadits Anas bin Malik. Ibnu Majah mencantumkannya di nomor 3976
tentang Fitnah-Fitnah di bab “menjaga lidah supaya tidak jatuh pada perbuatan fitnah”.
At-Turmudzi mengatakan, “Hadits ini adalah Gharib”).[21]
f.
Ridho`
Diriwayatkan dari Al-Abbas bin Abdul Muthalib,
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
ذاق طعم الايمان من رضي بالله ربّا
Artinya: Orang yang ridho Allah sebagai
Tuhannya, akan merasakan nikmatnya iman. (Hadits Riwayat Muslim dalam bab
“iman” nomor 34, Turmudzi nomor 2758, dan Ahmad dalam musnadnya 1/208).
g.
Mahabbah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a yang berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
من أحب لقاء
الله أحب الله لقائه, ومن لم يحب لقاء الله لم يحب الله تعالى لقائه
Artinya: Barangsiapa yang senang bertemu
kepada Allah, maka Allah senang bertemu dengannya. Barangsiapa yang tidak
senang bertemu Allah maka Allah-pun juga tidak senang bertemu dengannya. (Hadits
riwayat Ubadah bin Shamit, dikeluarkan oleh Bukhari 11/308 dalam “Ar-Raqaqq”
bab “orang-orang yang senang bertemu Allah.”).
h.
Ijtihad Para
Sufi
Ijtihad para sufi dimaksudkan untuk menguraikan
pemikiran-pemikiran para sufi mengenai tasawuf. Dan ini dapat digunakan sebagai
sumber hukum ketiga dalam tasawuf. Berikut tokoh-tokoh sufi beserta pemikiran
dan pandangannya dalam kajian tasawuf, diantaranya:
1)
Dzun Nun
Al-Mishri
Namanya Abul Faidh Dzun Nun Tsauban bin Ibrahim
Al-Mishri, wafat pada tahun 245H./859M. ayahnya berasal dari Naubi. Dia seorang
yang sangat terhormat, paling alim, wara`, kharismatik dan sastrawan
dimasanya. Dzun Nun adalah seorang yang kurus berkulit putih kemerahan dan
tidak berjenggot putih. Salah satu mutiara nasihatnya yaitu diantara tanda-tanda
orang yang cinta Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, dalam perilaku, perbuatan,
perintah-perintah dan sunnah-sunnahnya.[22]
Beliau dikenal sebagai sufi yang mengembangkan
teori tentang ma`rifat. Ma`rifat dalam terma sufistik memiliki pengertian yang
berbeda dengan istilah `ilm, yakni sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan
usaha dan proses pembelajaran. Sedangkan ma`rifat dalam terma sufi lebih
merujuk pada pengertian salah satu metode yang bisa ditempuh untuk mencapai
tingkatan spiritual.
Menurutnya, ma`rifat adalah fadl (anugerah)
semata dari Allah. Dan ini hanya bisa dicapai melalui jalan pengetahuan.
Semakin seseorang mengenal Allah-nya, maka akan semakin dekat, khusyu dan
mencintai-Nya. Hakikat ma`rifat bagi Dzun Nun Al-Mishri adalah Al-Haq itu
sendiri. Yakni, cahaya mata hati seorang `arif dengan anugerah dari-Nya sanggup
melihat realitas sebagaimana Al-Haq melihatnya.
Pada tingkatan ma`rifat,seorang`arif akan
mendapati penyingkapan hijab (Kasyf Al-Hijab).Dengan pengetahuan inilah,
segala gerak sang `arif senantiasa dalam kendali dan campur tangan Allah. Ia
menjadi mata, lidah, tangan dan segala macam perbuatan dari Allah.Beliau
menegaskan bahwa, Aku ma`rifat pada Allah-ku sebab Allah-ku, andaikata bukan
karena Allah-ku, niscaya aku tidak akan ma`rifat kepada-Nya.[23]
2)
Abu Yazid
Al-Busthami
Namanya Abu Yazid Thaifur bin Isa Al-Busthami
(188H.-261H./804M.-875M.). Dia tiga bersaudara, dua lainnya Adam Thaifur dan
Ali. Mereka semua ahli zuhud dan ibadah, namun Abu Yazid (Thaifur) adalah yang
paling agung diantara ketiganya. Salah satu mutiara hikmahnya yaitu dia
pernah ditanya, “dengan apakah kamu mencapai ma`rifat ini?” jawabnya, “dengan
perut yang lapar dan tubuh yang jelek.[24]
Al-Busthami adalah orang pertama yang memakai
istilah fana` sebagai kosakata sufistik. Dia mengadopsi teori monisme
dari gnostisisme hindu-budha. Konsep muraqabah (pendekatan spiritual)
yang dipahaminya disejajarkan dengan ajaran samadi (meditation) yang pada
puncaknya mencapai ekstase (fana`) dimana terjadi penyatuan antara “yang
mendekat” (muraqib, yakni sufi) dan “yang didekati” (muraqab, yakni Allah).
Konsep ittihad merupakan pengembangan dari
konsep fana` dan baqa` yang dicetuskannya. Menurutnya, setelah
mencapai ma`rifat, seseorang dapat melanjutkan kepada kekelan (baqa`) dan
akhirnya ittihad. Fana` adalah penyirnaan diri dari sifat keduniawian yang
dilukiskan laksana kematian jasad dan lepasnya roh menuju kepada kekalan
(baqa`) dan dari sini dapat melangkah kepada penyatuan dengan Allah (ittihad).
Pada titik ini kerap terjadi yang diistilahkan dalam dunia sufi sebagai syathahat
atau keadaan tidak sadar karena telah menjadi penyatuan dimana dia seolah
menjadi Allah itu sendiri.[25]
3)
Al-Junaid
Al-Baghdadi
Abu Al-Qasim Al-Junaid bin Muhammad
Al-Nehawandi Al-Baghdadi, wafat pada tahun 297H./910M.[26]
Ia dikenal sebagai tokoh yang mensistematisasikan beberapa kecenderungan
tasawuf dan mencoba mengislamisasi istilah-istilah tasawuf dengan
istilah-istilah dari Al-Qur`an. Ia digelari sayyid al-taifah dan juga tawus
al-ulama` (burung merak para ulama). Dia menjadi figure teladan dalam dunia
ketasawufan.
Kajian menarik dari beliau adalah tentang fana`
(dengan pengembangan yang berbeda dari fana` yang dikembangkan oleh
Al-Busthami), yakni proses peleburan diri sehingga menghilang batas-batas
individual yang ada dalam diri manusia. Doktrin ini ditopang oleh dua konsep
utama, perjanjian atau kontrak azali dan fana`. Manusia telah
tercipta sebelumnya dari ke-fana`an-nya. Dan agar bisa kembali maka
manusia perlu meniadakan dirinya kembali agar suci sebagaimana ketika berada di
alam roh.
Tetapi Junaid menandaskan disini bahwa fana`
bukanlah akhir dari perjalanan spiritual manusia. Fana` hanyalah
sarana menuju baqa`. Jika fana` menimbulkan perasaan bersatu
dengan Allah karena peleburan sifat diri manusia, maka baqa` adalah
perpisahan dari perasaan untuk kembali menjadi hamba Allah, sebab tidak ada
yang lebih baik dan menyenangkan daripada menjadi hamba ditengah-tengah
kehidupan sehari-hari.[27]
4)
Al-Ghazali
Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H. (1058M) di
daerah Thus, salah satu kota di Khurasan yang di warnai oleh perbedaan paham
keagamaan. Masa hidup Al-Ghazali berada pada akhir periode Iklasik (650-1250M.)
yang memasuki masa disintegrasi (1000-1250M.). Dimana masyarakat pada saat itu
sedang mengalami masa kemunduran.[28]
Pemikiran tasawuf Al-Ghazali adalah termasuk
dalam model aliran transendenlisme, yaitu aliran yang masih
mempertahankan sendi-sendi dasar ajaran tauhid dan membedakan adanya dua pola
wujud, yakni wajib al-wujud (Tuhan) dan mumkin al-wujud (Makhluk).
Bagi aliran ini, tingkat yang tertinggi yang dapat di capai oleh seorang hamba
dalam dunia tasawuf adalah ma’rifat kepada Allah SWT dan penghayatan
kepada alam ghaib serta mendapatkan ilmu laduniyah.
Walaupun aliran ini tidak menggunakan istilah Al-insan
Al-kamil,namun gambaran atau ide dasar tentang Al-insan Al-kamil tetap
manjadi dasar ajarannya,yakni dengan adanya sebutan “wali” atau golongan khawwash.
Oleh karena itu, konsep al-insan al-kamil menurut aliran ini adalah
wali Allah, yaitu orang-orang khawwash yang secara langsung telah
mendapat limpahan ilmi ghaib dari Lawh Mahfuzh sehingga ia dapat
berkenalan dengan para malaikat, roh nabi-nabi dan dapat memetik pelajaran dari
mereka, mengetahui suratan nasib yang ada di Lawh Mahfuzh sehingga dapat
mengetahui apa yang akan terjadi dan bahkan ma’rifat kepada Allah.[29]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sumber pokok
tasawuf dalam Islam adalah bermula dari pangkal ajaran agama Islam itu sendiri.
Walaupun sebagian ahli ada yang mengatakan bahwa tasawuf Islam itu timbul sebab
adanya pengaruh dari luar Islam. Dan kata sufi sendiri tidak disebutkan atau
diterangkan dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits. Namun, apabila kita mencari dan
menyelidiki secara seksama pada ayat-ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka banyak
sekali didapati dari ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits itu yang berfungsi sebagai
sumber tasawuf.
Adapun apa saja sumber-sumber kajian ilmu
tasawuf sebagaimana yang diuraikan diatas bahwa Al-Qur`an dan Al-Hadits selalu
mempunyai kedudukan dalam setiap disiplin ilmu keagamaan. Oleh karena itu, bisa
disimpulkan bahwa sumber-sumber tasawuf yaitu:
1.
Al-Qur`an
2.
Al-Hadits
3.
Ijtihad Para Sufi, seperti:
a.
Dzun Nun Al-Mishri
b.
Abu Yazid Al-Busthami
c.
Al-Junaid Al-Baghdadi
d.
Al-Ghazali
e.
Ibn `Arabi
f.
Dan masih banyak lagi yang lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur`an dan
Terjemah. Departemen Agama RI. Edisi Tahun 2002. Jakarta: CV
Daarus Sunnah.
Ali
Ash-Shaabuuniy, Muhammad. 1991. Studi Ilmu Al-Qur`an. Terjemahan oleh
Drs.
H. Aminuddin.
1998. Bandung: Pustaka Setia.
Abul Qasim
Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi. Risalah Qusyairiyah
Sumber Kajian
Ilmu Tasawuf. Terjemahan oleh Umar Faruq. 2007.
Cetakan II.
Jakarta: Pustaka Amani.
Anwar, Rosihon.
2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Fauqi Hajjaj,
Muhammad. Tasawuf Islam dan Akhlak. Terjemahan oleh Kamran
As`At Irsyadi
Fakhri Ghazali. 2011. Jakarta: Bumi Aksara.
Ibnu Pakar,
Suteja. 2013. Tokoh-Tokoh Tasawuf dan Ajarannya. Yogyakarta:
Deepublish.
Labib Mz. 2000.
Memahami Ajaran Tashowuf. Surabaya: CV Cahaya Agency.
Mustofa. 2010. Akhlak
Tasawuf. Cetakan V. Bandung: Pustaka Setia.
Suteja. 2008. Pengantar
Tasawuf Islam Teori dan Praktek. Cirebon: Pangger Press.
Sumarna, Cecep
dan Saefullah, Yusuf. 2004. Pengantar Ilmu Hadits. Bandung:
Pustaka Bani
Quraisy.
Syafe`i,
Rachmat. 2000. Al-Hadits (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum). Bandung:
CV Pustaka
Setia.
[6] Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, 1991, Studi
Ilmu Al-Qur`an, Terjemahan oleh Drs. H. Aminuddin, 1998, Bandung: Pustaka
Setia, hlm. 15
[7] Drs. H. Suteja, M.Ag., 2008, Pengantar Tasawuf
Islam Teori dan Praktek, Cirebon: Pangger Press, hlm. 310-336
[8] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi
An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Terjemahan
oleh Umar Faruq, 2007, Cetakan II, Jakarta: Pustaka Amani, hlm. 116-117
[11] Dr. Muhammad Fauqi Hajjaj, 2011, Tasawuf
Islam dan Akhlak, Terjemahan oleh Hamran As`At Irsyadi dan Fakhri Ghazali,
Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 31
[12] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi
An-Naisaburi, Terjemahan oleh Umar Faruq, Op. Cit., hlm. 147
[15] Drs. Cecep Sumarna, M.Ag. dan Drs. Yusuf
Saefullah, M.Ag., Pengantar Ilmu Hadits, 2004, Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
hlm. 1
[16] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi
An-Naisaburi, Terjemahan oleh Umar Faruq, Op. Cit., hlm. 115
[18] Dr. H. Rachmat Syafe`I, MA., Al-Hadits (Aqidah,
Akhlaq, Sosial dan Hukum), 2000, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm. 59
[19] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi
An-Naisaburi, Terjemahan oleh Umar Faruq, Op. Cit., hlm. 258
[24] Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi
An-Naisaburi, Terjemahan oleh Umar Faruq, Op. Cit., hlm. 283-284
[28] Ibid, hlm. 55
0 komentar: