Hadist Hak Kewajiban Suami Istri
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Suami dan istri apabila telah menikah, maka antara
keduanya memiliki hak dan kewajiban masing-masing dan dalam pemenuhannya
haruslah seimbang antara suami dan isteri. Namun dalam
pelaksanaannya,banyak sekali ketimpangan yang terjadi dalam pemenuhan hak dan
kewajiban antara suami dan isteri, dimana budaya patriarkhi yang
masih mendominasi dunia membuat kesetaraan dalam pemenuhan hak dan kewajiban
antara suami dan istri belum dapat terpenuhi dalam arti yang seimbang. Masih
tetap saja terjadi ketidakseimbangan antara keduanya.
Bukan
menjadi rahasia umum,jika dalam rumah tangga,seorang istri diperlakukan tidak
seimbang dalam hak nya.Dan sebaliknya banyak kaum perempuan yang sangat
tersiksa karena harus menaati kewajibannya yang merupakan hak suami.Hal ini
dimungkinkan kesalahan dalam memahami dan terlanjur budaya telah membentuk maind set itu,
sehingga pemenuhan akan hak isteri kurang diperhatikan.
Dari
sinilah penulis mengambil judul tersebut, dan menurut hemat penulis hal
tersebut adalah hal yang sangat krusial dimana saat ini banyak perempuan yang
tidak hanya berada di wilayah domestik seperti hanya mengurus rumah tangga,namun
zaman sekarang sudah banyak perempuan yang turut berkecimpung di dalam
masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
Kesempatan yang lalu, telah
diangkat mengenai kewajiban istri di web Muslim.Or.Id tercinta ini. Saat ini,
giliran suami pun harus mengetahui kewajibannya. Apa saja kewajiban suami,
berkaitan dengan berbuat baik pada istri dan kewajiban nafkah, akan diulas
secara sederhana dalam tulisan kali ini. Moga dengan mengetahui hal ini pasutri
semakin lekat kecintaannya, tidak penuh ego dan semoga hubungan mesta tetap
langgeng.
Pertama: Bergaul dengan istri
dengan cara yang ma’ruf (baik)
Yang dimaksud di sini adalah
bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak menangguhkan hak istri padahal
mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria di hadapan istri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19).
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي
عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baik kalian adalah yan berbuat baik kepada
keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang paling berbuat baik pada
keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu
Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata
mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada istri
kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat
baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.”
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)
Berbuat ma’ruf adalah kalimat
yang sifatnya umum, tercakup di dalamnya seluruh hak istri. Nah, setelah ini akan kami
utarakan berbagai bentuk berbuat baik kepada istri. Penjelasan ini diperinci
satu demi satu agar lebih diperhatikan para suami.
Kedua: Memberi nafkah, pakaian
dan tempat tinggal dengan baik
Yang dimaksud nafkah adalah
harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana,
pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban
suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.
Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah:
233).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi
nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan
cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa
bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah
sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan
hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
فَاتَّقُوا
اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ
يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ
فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kepada Allah pada
(penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya
telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan
mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh
permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika
mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti.
Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian
dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi
radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ –
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan.
Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-,
dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak
menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di
rumah” (HR. Abu Daud no. 2142.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
shahih).
Dari Aisyah, sesungguhnya
Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami
yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi
kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى
مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu
dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Lalu berapa besar nafkah yang
menjadi kewajiban suami?
Disebutkan dalam ayat,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ
سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq:
7).
عَلَى
الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
“Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang
miskin menurut kemampuannya (pula)” (QS. Al Baqarah: 236).
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun,
خُذِى
مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah
dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar
sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Dalil-dalil di atas
menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:
1. Mencukupi istri dan anak dengan
baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
2. Dilihat dari kemampuan suami,
apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.
Termasuk dalam hal nafkah
adalah untuk urusan pakaian dan tempat tinggal bagi istri. Patokannya adalah
dua hal yang disebutkan di atas. Mencari nafkah bagi suami
adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena itu,
bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini. Masih ada beberapa hal terkait kewajiban suami yang belum dibahas.
Insya Allah akan berlanjut pada tulisan berikutnya.
Pasutri pasti selalu
menginginkan keluarganya terus tentram dan langgeng. Namun kadang yang terjadi
di tengah-tengah pernikahan adalah pertengkaran dan perselisihan. Ini boleh
jadi karena tidak mengetahui manakah yang menjadi hak atau kewajiban dari
masing-masing pasutri. Oleh karena itu, mengetahui kewajiban suami atau
kewajiban istri sangatlah penting. Sehingga istri atau suami masing-masing
mengetahui manakah tugas yang mesti ia emban dalam rumah tangga. Kali ini
rumaysho.com akan mengulas bahasan kewajiban istri. Namun jangan khawatir,
untuk kewajiban suami masih tetap ada setelah bahasan untuk istri selesai. Allahumma yassir wa
a’in.
C. Keagungan Hak Suami
Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya
dijelaskan dalam ayat berikut ini,
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)
Hak suami yang menjadi
kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ
كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ
يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ
الْحَقِّ
“Seandainya
aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan
memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan
begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no.
1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada
suami termasuk sebab yang menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ
خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ
لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika
seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di
bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina)
dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki
sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191
dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata,
وليس
على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج
“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan
seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada
suami adalah semulia itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak
suami yang harus ia tunaikan.
Berikut adalah rincian
mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:
Pertama: Mentaati perintah
suami
Istri yang taat pada suami,
senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ
قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ
فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika
dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami
pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR.
An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan shahih)
Begitu pula tempat seorang
wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya,
apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan
menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ
زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ
إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا
هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya
kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah
di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah
surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At
Tarhib no. 1933)
Namun ketaatan istri pada
suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab,
berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau
bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh
ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
لاَ
طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang
ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan
Muslim no. 1840)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,
لاَ
طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat
kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131. Sanad
hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kedua: Berdiam di rumah dan
tidaklah keluar kecuali dengan izin suami
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Seorang istri tidak boleh
keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk
mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun
untuk keperluan shalat di
masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah
kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah
suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
Ketiga: Taat pada suami ketika
diajak ke ranjang
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا
الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas
si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan
dengan lafazh,
وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى
عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى
عَنْهَا
“Demi Dzat
yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke
tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit
(penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no.
1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada
uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di
atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan,
seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi
hal ini.
Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah
kecuali dengan izin suami
فَاتَّقُوا
اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ
وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ
يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ
“Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita
(istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah
dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak
kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak
kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ
فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ
أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه
“Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa
(sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan
orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan
sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah
pahalanya”. (HR. Bukhari no. 5195
dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh Ibnu Hibban
disebutkan hadits dari Abu Hurairah,
لاَ
تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun
untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin
suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata
Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Hadits di atas dipahami jika
tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika
seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka
tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)
Kelima: Tidak berpuasa sunnah
ketika suami ada kecuali dengan izin suami
Para fuqoha telah
sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa
sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari
Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ
لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa
sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh lainnya
disebutkan,
لاَ
تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
“Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa
Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin
suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An
Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai
dengan syarat Bukhari dan Muslim”)
Ulama Syafi’iyah mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan
izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas dimaksudkan untuk puasa
tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan
dalam hadits di atas
adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7:
115)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini
adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah
wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk
menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. … Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang
dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul
Bari, 9: 295)
Dalam Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanitamenjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya
tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas
fuqoha. Ulama Hanafiyah enganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram
jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya
tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa
‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan
tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada
dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti
puasa senin kamis), (2) puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk
melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah
qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.
D. Jika Suami Tidak Di Tempat
Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin
melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang
bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul Bari, 9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu pula
ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di tempat.
E. Hikmah Mengapa Harus Dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan
hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah.
Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib
tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul
Bari, 9/296)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas
adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh,
pen) bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda
karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang menjadi kewajiban seorang suami jdalam
masa iddah (talak raj’i) yaitu memberikan tempat tinggal dan nafkah kepada
istrinya. Dan jika dia punya seorang anak maka dia juga berkewajiban membiayai
anaknya. Sedangkan yang menjadi hak dan kewajiban seorang istri dalam masa
iddah ialah:
1. Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara
terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal
mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran.
2. Dilarang keluar rumah menurut
jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi’i apabila tidak ada keperluan mendesak,
seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Alasan yang digunakan
ialah surah ath-Talaq ayat 1 yang artinya “janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji
dan terang. Larangan ini jg
dikuatkan dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.
3. Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama
menjalani masa iddah.
4. Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang
hamil, berhak mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang
ditinggal mati suaminya tenru tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta
waris, namun berhak untuk tetap tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya
masa iddah.
5. Wanita tersebut wajib berihdad (iddah
wanita yang ditinggal mati suaminya) yaitu tidak mempergunakan alat-alat
kosmetik untuk mempercantik diri selama empt bulan sepuluh hari.
6. Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta
waris dari suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak
berhak mendapatkanya.
B. Saran
Kami sadar bahwa apa yang ada ditangan pembaca saat
ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami senantiasa mengharapkan uluran
tangan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makala ini dikemudian hari. Kami hanya berharap bahwa makala ini mampu menjadi
sebuah referensi yang ideal dalam hal pengkajian tentang Iddah Dalam Perspektif Islam (Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam
Masa Idda) . Terkhusus dalam
menyelesaikan dilema-dilema yang sering muncul dalam kalangan masyarakat awam
mengenai masalah iddah khususnya mengenai hak
dan kewajiban suami istri dalam masa iddah.
Mengingat bahwa penyelesaian masalah yang belum ada dasar
hukumnya bagi masyarakat awam merupakan hal yang lazim di telinga mereka,
tentunya untuk mengamalkannya memerlukan pemahaman yang cukup memadai agar
dalam pelaksanaannya kita tidak lagi mengalami kekeliruan, karena apabila kita
keliru dalam menafsirkan, niscaya dalam pelaksanakaannya tidak sempurnah.
Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini dapat memudahkan kita, khususnya dalam
proses pengamalannya.
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid sabiq, Fikih Sunnah 7,Bandung
PT.Alma’rif .2006
Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan, Hukum
Kewarasan, Hukum Perwakafan. fokusmedia Bandung,2005.
Prof.H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Di
Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat Dan Hukum Islam,cv.mandar
maju.bandung 1990.
Cahyadi takariawan dkk, Keakhwatan 3 bersama
tarbiyah mempersiapkan tegaknya rumah tangga islami,intermedia,solo.2004
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempaun dalam
Islam, terjemahan Farid Wajidi, Bandung, LSPPA, 1994
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
1983).
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah
Kebahagiaan
keluarga tidak akan tercukupi tanpa tercukupinya nafkah. Nafkah merupakan
kebutuhan pokok bagi kehidupan keluarga. Kabahagiaan keluarga sulit dicapai
tanpa terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Ketiga hal tersebut
merupakan sarana mutlak bagi kehidupan manusia, terlebih lagi bagi suami istri.[1]
Nafkah
menjadi hak dari berbagai hak istri atas suaminya sejak mendirikan kehidupan
rumah tangga. Oleh karena itu, syariat Islam menetapkan, baik istri kaya maupun
fakir dari teks-teks al-Qur’an yang memberi kesaksian tentang hak itu perkataan
Allah Yang Maha Benar:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ
Firman
Allah SWT:
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِٱلْمَعْرُوف….
“…Dan bagi (para) suami berkewajiban menanggung makan
dan sandang bagi para istri dengan cara yang ma’ruf (baik)…” (QS. Al-Baqarah : 233).
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu (QS.
Ath-Talaq : 6).
Dalam
hadis riwayat Muslim juga disebutkan bahwa:
“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Dinar yang enagkau sedekahkan di jalan Allah, dinar yang engkau sedekahkan
untuk budak perempuan, dinar yang enagkau sedekahkan untuk orang miskin, dinar
yang engkau sedekahkan untuk keluargamu, yang lebih utama pahalanya adalah
sedekah yang engkau berikan untuk keluargamu”.[3]
Ayat-ayat
Al-Qur’an dan hadis di atas kiranya sudah mencerminkan tanggung jawab dan
kewajiban suami terhadap istri dan juga anak-anaknya. Akan tetapi, dewasa ini
banyak fenomena yang terjadi justru sebaliknya, suami yang berpangku
tangan di rumah sedangkan istrinya yang sibuk mencari kerja. Bagaimanapun juga,
mencari nafkah berupa sandang, pangan, dan papan menjadi tanggung jawab suami
yang utama, kalaupun istri yang mencari nafkah menurut saya sudah pengecualian
karena alasan-alsan tertentu yang sangat darurat.
Melihat
hal tersebut, penulis berusaha menjelaskan tentang bagaimana hak istri atas
suami (kewajiban suami terhadap istri dan juga anak-anak) dalam Islam.
Bagaimana Islam memandang kewajiban suami yang begitu berat dalam menghidupi
rumah tangga dan apa saja batasan nafkah yang harus dicari oleh suami. Semoga
kita lebih mengetahui tentang hal tersebut dengan makalah ini.
1. 2. Rumusan Masalah
A. Apa nash
hadis tentang hak istri atas suami?
B. Bagaimana takhrij dan tahqiq hadis
tersebut?
C. Bagaimana
penjelasan matan dari hadis tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
1. 1. Teks Hadis
حَدَّثَنَا
مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ
الْبَاهِلِيُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا
حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ
وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا
تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ قَالَ أَبُو دَاوُد وَلَا تُقَبِّحْ أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ اللَّهُ
(ABU DAUD
– 1830) : “Telah menceritakan kepada kami Musa bin
Isma’Il, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah mengabarkan kepada kami
Abu Qaza’ah Al Bahali, dari Hakim bin Mu’awiyah Al Qusyairi dari ayahnya, ia
berkata; aku katakan; wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang
diantara kami atasnya? Beliau berkata: “Engkau memberinya makan apabila engkau
makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul
wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan
jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah.” Abu Daud berkata; dan
janganlah engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian) dengan
mengatakan; semoga Allah memburukkan wajahmu.”[4]
1. 2. Takhrij Hadis
ر ق م
|
المصدر
|
البا ب
|
الكتاب
|
رقم الحديث
|
1.
|
أحمد
|
حديث بهز بن حكيم عن أبيه عن جده رضي
|
مسند أحمد
|
19171[5]
|
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ
أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِيُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَنْ
أَبِيهِ قَالَ
أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقُلْتُ مَا أَتَيْتُكَ حَتَّى حَلَفْتُ عَدَدَ أَصَابِعِي هَذِهِ أَنْ
لَا آتِيَكَ أَرَانَا عَفَّانُ وَطَبَّقَ كَفَّيْهِ فَبِالَّذِي بَعَثَكَ
بِالْحَقِّ مَا الَّذِي بَعَثَكَ بِهِ قَالَ الْإِسْلَامُ قَالَ وَمَا
الْإِسْلَامُ قَالَ أَنْ يُسْلِمَ قَلْبُكَ لِلَّهِ تَعَالَى وَأَنْ تُوَجِّهَ
وَجْهَكَ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَتُصَلِّيَ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ
وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ أَخَوَانِ نَصِيرَانِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ مِنْ أَحَدٍ تَوْبَةً أَشْرَكَ بَعْدَ إِسْلَامِهِ قُلْتُ مَا حَقُّ
زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ تُطْعِمُهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوهَا إِذَا
اكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي
الْبَيْتِ قَالَ تُحْشَرُونَ هَاهُنَا وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى نَحْوِ الشَّامِ
مُشَاةً وَرُكْبَانًا وَعَلَى وُجُوهِكُمْ تُعْرَضُونَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى وَعَلَى
أَفْوَاهِكُمْ الْفِدَامُ وَأَوَّلُ مَا يُعْرِبُ عَنْ أَحَدِكُمْ فَخِذُهُ
وَقَالَ مَا مِنْ مَوْلًى يَأْتِي مَوْلًى لَهُ فَيَسْأَلُهُ مِنْ فَضْلٍ عِنْدَهُ
فَيَمْنَعُهُ إِلَّا جَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ شُجَاعًا يَنْهَسُهُ
قَبْلَ الْقَضَاءِ قَالَ عَفَّانُ يَعْنِي بِالْمَوْلَى ابْنَ عَمِّهِ قَالَ
وَقَالَ إِنَّ رَجُلًا مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَغَسَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَالًا
وَوَلَدًا حَتَّى ذَهَبَ عَصْرٌ وَجَاءَ آخَرُ فَلَمَّا احْتُضِرَ قَالَ
لِوَلَدِهِ أَيَّ أَبٍ كُنْتُ لَكُمْ قَالُوا خَيْرَ أَبٍ فَقَالَ هَلْ أَنْتُمْ
مُطِيعِيَّ وَإِلَّا أَخَذْتُ مَالِي مِنْكُمْ انْظُرُوا إِذَا أَنَا مُتُّ أَنْ
تُحَرِّقُونِي حَتَّى تَدَعُونِي حُمَمًا ثُمَّ اهْرُسُونِي بِالْمِهْرَاسِ
وَأَدَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ حِذَاءَ رُكْبَتَيْهِ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَعَلُوا وَاللَّهِ
وَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ هَكَذَا
ثُمَّ اذْرُونِي فِي يَوْمٍ رَاحٍ لَعَلِّي أَضِلُّ اللَّهَ تَعَالَى كَذَا قَالَ
عَفَّانُ قَالَ أَبِي وَقَالَ مُهَنَّا أَبُو شِبْلٍ عَنْ حَمَّادٍ أَضِلُّ
اللَّهَ فَفَعَلُوا وَاللَّهِ ذَاكَ فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ فِي قَبْضَةِ اللَّهِ
تَعَالَى فَقَالَ يَا ابْنَ آدَمَ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا فَعَلْتَهُ قَالَ مِنْ
مَخَافَتِكَ قَالَ فَتَلَافَاهُ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا
(AHMAD –
19171) : Telah menceritakan kepada kami ‘Affan, telah menceritakan kepada
kami Hammad bin Salamah, telah mengabarkan pada kami Abu Qar’ah Al Bahili dari
Hakim bin Mu’awiyah dari Ayahnya ia berkata; Aku datang kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku berkata; “Tidaklah aku datang kepadamu
kecuali aku telah bersumpah dengan beberapa jariku ini bahwa aku tidak akan
datang kepadamu -‘Affan memperlihatkan dan menengadahkan telapaknya- Demi dzat
yang mengutusmu dengan kebenaran, dengan apakah kamu di utus?.” Beliau
menjawab: “Dengan Islam.” Mu’awiyah bertanya; “Apakah Islam itu?.” Beliau
menjawab: “Hendaknya engkau serahkan jiwamu sepenuhnya hanya pada Allah Ta’ala
dan engkau menghadapkan wajahmu hanya kepada Allah saja, engkau mengerjakan
shalat, menunaikan zakat, itulah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan Allah
Azza Wa Jalla tidak akan menerima taubat seorang hamba yang menyekutukan-Nya
setelah ia masuk Islam.” Aku bertanya; “Lalu apa hak istri terhadap kita
(suami)?.” Beliau menjawab: “Engkau memberinya makan apabila engkau makan,
memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan
menjelekkannya dan jangan memisahkan tempat tidur kecuali dalam satu rumah.”
Beliau melanjutkan: “Kalian akan dikumpulkan di sana, (seraya menunjukkan
tangannya ke arah Syam) dalam keadaan berjalan kaki dan berkendaraan, wajah
kalian akan ditampakkan semua dihadapan Allah, mulut-mulut kalian akan dikunci
dan yang pertama kali akan berkomentar adalah paha (kaki-kaki) kalian.” Beliau
melanjutkan lagi: “Dan siapa saja dari seorang budak yang meminta kelebihan
dari harta tuannya, namun tuannya tidak memberinya, melainkan Allah Ta’ala akan
menjadikan untuknya seekor ular besar bernama Syuja’, dan Ular itu akan
menghancurkannya sebelum diputuskannya perkara.” ‘Affan seorang budak milik
anak pamannya berkata; “Sesungguhnya sebelum kalian ada seseorang yang Allah
Ta’ala karuniai harta dan anak-anak, hingga zaman berganti dengan generasi
setelahnya. Sewaktu ayahnya hendak meninggal, ia berkata kepada anaknya; “Buat
kalian, ayah macam apakah aku ini? Mereka berkata; ‘Ayah adalah orang yang
terbaik!.’ Dia berkata lagi; ‘Apakah kalian akan mentaatiku?, kalau tidak, maka
aku akan mengambil semua hartaku dari kalian!.’ ‘Lihatlah oleh kalian, jika
nanti aku telah meninggal dunia, maka bakarlah aku hingga diriku menjadi
arang.’ Kemudian tumbuklah (arangku) hingga halus dengan alat penumbuk
-Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil mendemontrasikan dengan
memutar-mutar dengan kedua tangannya sejajar kedua lututnya- Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda: “Kemudian mereka melakukan wasiat
ayahnya.” Demi Allah Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempraktekkan
dengan tangannya seperti ini, – ‘Kemudian tebarkanlah (abuku) pada hari yang
anginya kencang, supaya Allah Ta’ala tidak dapat menemukanku.’ -demikianlah
yang di katakan ‘Affan, Ayahku berkata; dan Muhanna Abu Syibl mengatakan dari
Hammad dengan redaksi -supaya diriku tidak dapat di temukan Allah- lalu
anak-anaknya melaksanakan perintah ayahnya, demi Allah, ternyata dirinya telah
berdiri tegak dalam genggaman Allah Ta’ala. Maka Allah bertanya kepadanya:
‘Wahai anak Adam, apa yang membuatmu melakukan hal ini (membakar diri)?.’
Lak-laki itu menjawab; ‘Ya Rabb-ku, karena aku takut kepada-Mu!.’ Maka Allah
Ta’ala pun mengampuni perbuatannya.”[6]
1. 3. Tahqiq Hadis
Hadis
tersebut berkualitas hasan shahih, hal ini berdasarkan tahqiq yang dilakukan
oleh Al-Albani.
الراوي: معاوية القشيري المحدث: الألباني – المصدر: صحيح
أبي داود – الصفحة أو الرقم: 2143
خلاصة حكم المحدث: حسن صحيح[7]
خلاصة حكم المحدث: حسن صحيح[7]
Skema
Jalur Sanad
1. Penjelasan
Matan Hadis
Al-Qur’an
telah menentukan hak-hak yang dapat diterima oleh seseorang istri
atas suaminya. Batasan yang pertama adalah bahwa dia mempunyai hak dan
kewajiban yang seimbang dengan apa yang didapatkan oleh suaminya, atas dasar
firman Allah:
4 £`çlm;ur ã@÷WÏB “Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_u‘yŠ 3 ª!$#ur ͕tã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.
Al-Baqarah : 228)
Nash
al-Qur’an di atas sangat jelas menunjukkan bahwa hak-hak dan
kewajiban-kewajiban suami dan istri betul-betul seimbang. Maka bagi seorang
suami hendaknya memberikan hak-hak istrinya sesuai dan seimbang dengan
kewajiban-kewajibannya, tanpa ada perlakuan berat sebelah si antara mereka
karena ada perbedaan jenis kelamin.[9]
Syariat
Islam telah menetapkan bahwa seorang suami wajib memberikan jaminan dari segi
material kepada wanita yang telah ia pilih menjadi istrinya.
Islam pun
telah mengkategorikan nafkah sebagai salah satu hak istrinya, baik sang istri
itu orang kayamaupun orang miskin. Hal ini didasarkan pada beberapa nas
Al-Qur’an al-Karim dan sunah Nabi SAW, yang menjadi dasar pendapat berbagau
madzhab fikih.[10]
Dalam
keluarga, sandang, pangan, dan papan menjadi tanggung jawab suami. Suami adalah
pemimpin bagi istrinya sekaligus bertanggung jawab memenuhi nafkah keluarganya.
Karena kaum lelaki telah diberi beberapa kelebihan oleh Allah SWT, sebagaimana
difirmankan Allah dalam al-Qur’an:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% ’n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@Òsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4’n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4
“Kaum lelaki adalah pemimpin yang bertanggung jawab
atas kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum
lelaki) atas sebagian yang lain (kaum perempuan) dan karena mereka
manafkahkan sebagian dari hartanya…” (QS.
An-Nisa : 34).
Al-Qur’an
Surat An-Nisa ayat 34 di atas menunjukkan bahwa nafkah keluarga adalah menjadi
kewajiban dan tanggunga jawab suami. Karena itu, suami harus menyadari
kewajiban dan tanggung jawabnya yang satu ini.[11]
Selain
itu, di antara nas yang menjadi dasar hukum persoaln ini ialah firman Allah
SWT:
…. لِيُنفِقْ
ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya…” (QS. Ath-Thalaq:7)
Adapun
dalil dari sunah Nabi SAW adalah sabda beliau pada saat Haji Wada’:
“ Ketahuilah hendaknya kalian memperlakukan kaum
wanita dengan baik, karena sesungguhnya mereka adalah tawanan bagi kalian.
Kalian tidak memiliki hak dari mereka selain itu. Kecuali, jika mereka
jelas-jelas melakukan kekejian. Apabila mereka melakukan kekejian,
tinggalkanlah mereka dan tidurlah secara terpisah. Pukullah mereka dengan
pukulan yang tidak mencederai mereka. Jika mereka taat dan patuh kepada kalian,
janganlah kalian menghalang-halangi jalan mereka. Ketahuilah, kalian mempunyai
hak atas istri kalian, dan istri kalian juga memiliki hak atas kalian. Hak
kalian atas mereka ialah bahwa kalian boleh melarang mereka untuk tidak
memasukkan siapa pun yang tidak kalian sukai, dan tidak mengijinkan orang-orang
yang tidak kamu senangi untuk memasuki rumah kalian. Ketahuilah, hak mereka
atas kalian ialah memberikan pakaian dan makanan yang baik kepada mereka.[12]
Nafkah
keluarga menyangkut nafkah istri, anak-anak, pembantu rumah tangga (kalau ada)
dan semua orang yang menjadi tanggungannya. Orang tua dan saudara-saudaranya
yang tidak mampu menanggung nafkah, secara hukum menjadi tanggung jawab kepala
keluarga yang bersangkutan.
Suami
hendaknya berusaha sekuat tenaga agar dapat menjadi nafkah keluarga dengan
nafkah yang halal dan diperoleh dengan jalan yang diridhai Allah SWT. Suami
tidak pantas berpangku tangan dan juga tidak selayaknya berlaku kikir terhadap
orang-orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Ia harus memberikan nafkah
keluarga secara ikhlas karena mengharap ridha Allah dan demi kebahagiaan
keluarganya.
1. 1. Macam-macam Nafkah Keluarga
2. a. Sandang dan Pangan
Kebutuhan
sandang dan pangan, termasuk di dalmnya kebutuhan suami itu sendiri, menjadi
tanggung jawab suami. Hal ini difirmankan oleh Allah SWT:
.. .. وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوف….
“…Dan bagi (para) suami berkewajiban menanggung makan
dan sandang bagi para istri dengan cara yang ma’ruf (baik)…” (QS. Al-Baqarah : 233).[13]
Makanan
sebagai sumber energi manusia merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi.
Secara lahiriah, manusia tak akan hidup tanpa makanan. Ia bisa bekerja dengan
baik, bisa beribadah dan melakukan aktifitas lainnya, apabila perutnya terisi
makanan yang cukup.
Demikian
halnya dengan pakaian. Ia menjadi sarana pokok untuk melindungi tubuh, menutup
aurat dan kelengkapan beribadah menghadap Tuhan.
1. b. Papan (Rumah Tempat Tinggal)
Rumah,
sebagai tempat tinggal keluarga, juga menjadi kewajiban suami. Suami
bertanggung jawab atas tersedianya papan (rumah) bagi keluarganya. Hal ini
diperintahkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
…. أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم
“Tempatkanlah istri-istri kalian di mana kalian
bertempat tinggal…” (QS.
Ath-Talaq : 6).
Papan
merupakan sarana mutlak tempat bertemunya suami dan istri, sebagai tempat
istirahat melepaskan lelah, tempat mengasuh anak-anak dan seterusnya.[14]
1. c. Biaya Pendidikan Anak
Termasuk
nafkah keluarga yang harus dipenuhi oleh para suami ialah biaya pendidikan
anak. Hal ini diisyaratkan dalam Al-Qur’an:
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka…” (QS.
At-Tahrim : 6).
Agar
keluarga terhindar dari api siksaan neraka, mereka perlu memahami ilmu-ilmu
yang berkenaan dengannya. Untuk memahami ilmu-ilmu tersebut, mereka harus
belajar di lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai. Dan untuk belajar di
lembaga-lembaga pendidikan, terutama pada zaman sekarang ini, diperlukan biaya yang
cukup.
Dengan
demikian, biaya pendidikan anak-anak juga termasuk nafkah keluarga yang mesti
dipenuhi suami.
1. 2. Kadar Nafkah Keluarga
2. a. Kadar Nafkah Disesuaikan dengan
Kemampuan Suami
Dalam hal
nafkah keluarga, istri dituntut untuk tidak membebani suami di luar
kemampuannya. Suami hanya berkewajiban memberikan nafkah sesuai dengan
kemampuannya. Hal ini bisa dipahami dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadis berikut:
“…Dan bagi (para) suami berkewajiban menanggung makan
dan sandang bagi para istri dengan cara yang ma’ruf (baik). Seseorang tidak
dibebani tanggung jawab melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS.
Al-Baqarah : 233).[15]
Rasulullah
SAW bersabda:
“… Hendaklah kamu memberi makan kepadanya (istri)
apabila kamu makan dan berilah pakaian istrimu apabila kamu berpakaian…” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
1. b. Tidak Kikir dan Tidak
Berlebihan
Sifat
kikir dan berlebihan merupakan sifat tercela dalam Islam. Allah SWT
memerintahkan agar membelanjakan harta scara sederhana atau sedang-sedang,
tidak perlu berlebih-lebihan dan juga berlaku kikir. Hal ini difirmankan dalam
Al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya)
tidak berlebihan dan tidak kikir, tetapi di tengah-tengah antara keduanya” (QS. Al-Furqan : 67)
Dalam
ayat lain juga difirmanakan:
“Dan berikanlah hak para keluarga dekat, fakir miskin
dan orang yang dalm perjalanan tanpa memberikannya secara berlebih-lebihan
(boros). Sesungguhnya para pemboros itu adalah kawan syaitan, sedangkan syaitan
teramat ingkar kepada Tuhannya” (QS.
Al-Isra : 26-27)
Berlaku
kikir dalam memberikan nafkah keluarga sangat dikecam oleh Rasulullah SAW,
sebagaimana disabdakan dalam hadis:
“Seseorang akan berdosa bila menahan hartanya dari
orang yang menjadi tanggungannya” (HR.
Muslim dan Abu Daud).
“Seburuk-buruk suami adalah yang kikir dalam
memberikan nafkah kepada keluarganya” (HR.
Ath-Thabari)
Karena
itu, suami hendaknya sedang-sedang dalam memberikan nafkah kepada keluarganya.
Hal ini disabdakan oleh Rasulullah SAW:
“…dan tidak akan pelit, orang yang sedang-sedang dalam
membelanjakan hartanya”.(HR.
Ath-Thabari).
1. 3. Mengutamakan Nafkah Keluarga
Suami
yang baik senantiasa melakukan yang terbaik bagi keluarganya. Ia berbuat demi
kebahagiaan istri dan anak-anaknya. Ia senantiasa mengutamakan nafkah keluarga
dalam membelanjakan hartanya di atas kepentngan-kepentingan lainnya.
Suami
hendaknya pandai-pandai membelanjakan hartanya, mana yang lebih penting, itulah
yang didahulukan. Membelanjakan harta untuk shadaqah di jalan Allah adalah hal
yang utama, tetapi jika tidak mampu janganlah dipaksakan. Jangan sampai
tindakannnya justru melupakan nafkah keluarga. Hal ini dijelaskan Rasulullah
SAW:
“Satu dinar kamu infaqkan di jalan Allah, satu dinar
kamu infaqkan untuk memerdekakan seorang budak, satu dinar kamu shadaqahkan
kepada orang miskin dan satu dinar kamu nafkahkan kepada keluargamu. Pahala
yang paling besar diantara semuanya adalah yang kamu nafkahkan kepada
keluargamu. (HR.
Muslim).[16]
Berdasarkan
hadis tersebut, tidak ada alasan bagi suami untuk mengutamakan infaq-infaq di
jalan Allah namun mengabaikan nafkah keluarganya sendiri.
Rasulullah
SAW juga memberikan penjelasan tentang urutan memberikan nafkah, sebagaimana
disebutkan dalam hadisnya yang berbunyi:
“Pernah seseorang menghadap Rasulullah SAW seraya
bertanya: Ya Rasulullah, aku memiliki uang satu dinar (sebaiknya dibelanjakan
kepada siapa?). jawab Rasulullah SAW: Belanjakanlah untuk kepentingan dirimu
sendiri! Orang itu bertanya: Jika orang itu punya satu dinar lagi? Jawab
Rasulullah: Belanjakanlah untuk kepentingan anak-anakmu! Orang itu bertanya
lagi: jika aku punya satu dinar lagi? Jawabnya: Belanjakanlah untuk kepentingan
istrimu! Tanyanya lagi: jika aku punya satu dinar lagi? Jawabnya: Belanjakanlah
untuk kepentingan pembantumu! Tanyanya lagi: Jika aku punya satu dinar lagi?
Jawabnya: Kamu sendiri lebih mengetahui!” (HR. Abu Daud).
Berdasarkan
hadis tersebut jelaslah bahwa urutan membelanjakan harta adalah mengutamakan
diri sendiri beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, baru kemudian untuk
kepentingan lainnya.
1. 4. Memberikan Nafkah Keluarga
dengan Tulus Ikhlas
Suami
yang baik senantiasa ikhlas dalam melakukan segala sesuatunya, apalagi dalam
hal memberikan nafkah kepada keluarganya sendiri. Pemberian yang ikhlas,
tentunya melegakan bagi penerimanya. Istri akan merasa lega dan bahagia, jika
suami memberikan nafkahnya dengan tulus ikhlas. Nafkahnya diberikan seraya
mengharap keridhaan Allah SWT selaku pemberi rizqi.[17]
Rasulullah
SAW bersabda:
“Sesungguhnya kamu tidaklah menafkahkan harta yang
semata-mata karena mengharap ridha Allah, melainkan kamu akan diberi pahala
hingga sesuap makanan yang masuk ke mulut istrimu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Betapa
besarnya pahala yang bakal diterima oleh suami jika dia mmeberikan nafkah
kepada keluarganya dengan niat yang ikhlas, semata-mata mengharap ridha Allah
SWT. Ia akan diberi pahala sampai setiap suap makanan yang masuk ke mulut istri
dan anak-anaknya. Di dunia ini ia akan mmeperoleh kebahagiaan bersama istri dan
anak-anaknya, dan di akhirat akan memperoleh kenikmatan syurga.
Rasulullah
SAW menjelaskan, bahwa nafkah yang diberikan kepada keluarganya sendiri dengan
tulus ikhlas adalah termasuk amal shadaqah. Hal ini disebutkan dalan hadis:
“Apabila suami memberikan nafkah kepada istrinya
secara ikhlas, maka nafkah itu menjadi shadaqah” (HR. Bukhari).
1. 5. Memberikan Nafkah yang Halal
2. a. Nafkah adalah Pangkal Baik
Buruknya Peribadatan Keluarga
Makanan
yang kita makan akan menumbuhkan sel-sel baru dan menggantikan sel-sel lama
yang telah rusak. Dari sari-sari makanan akan menjadi unsur-unsur darah, otak,
daging, tulang balulang dan organ-organ tubuh lainnya. Darah yang terbentuk
dari sari makanan yang haram, akan mengalir ke seluruh tubuh, sehingga seluruh
organ tubuh akan dialiri dengan makanan yang haram. Hatinya dialiri darah haram,
hati diliputi darah haram dan seluruh organ tubuh kita pun menjadi tubuh yang
haram.
Selain
itu, mungkinkah anak-anak yang lahir dari tubuh yang haram, dibesarkan dengan
makanan yang haram, dipakaikan pakaian yang haram dan pendidikannya dibiayai
dengan biaya yang haram, mereka akan tumbuh dewasa menjadi anak yang shalih dan
shalihah?
Semua itu
harus kita pikirkan secara serius! Sebuah peribahsa mengatakan: “Akibat setitik
nila, rusaklah suus sebelanga”. Akibat setitik rizqi yang haram, jika sampai
mencampuri nafkah yang halal, akan haramlah keseluruhan rizqinya.
Sebaliknya,
dengan nafkah yang halal, makanan yang dibelinya pun halal, pakaiannya halal,
perlengkapan ibadahnya halal, perabot rumah tangganya halal, biaya pendidikan
anak-anaknya halal. Semua yang diperoleh dengan nafkah halal, akan menjadi
barang-barang yang halal pula.
Selanjutnya
kita bisa beribadah dengan secara khusyu’, semua anggota keluarga bisa
beribadah dengan baik, anak-anak bisa belajar dengan baik, bisa berpikir dengan
jernih, bisa merasakan betapa besar keagungan Allah, betapa besar nikmat Allah
yang dianugerahkan kepada kita, bisa mensyukuri Nikmat dst.
Dengan
nafkah yang halal, akhirnya kebahagiaan hidup di dunia lebih dapat diharapkan
dan kebahagiaan hidup di akhirat pun lebih dapat kita yakini akan diperolehnya.
Alangkah bahagianya, sebuah keluarga dihidupi nafkah yang halal.[18]
Allah SWT
hanya memerintahkan kepada kita agar memakan makanan yang halal dan baik,
sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an:
“ Dan makanlah makanan yang halal dan baik dari rizqi
yang telah Allah anugerahkan kepada kalian…” (QS. Al-Maidah : 88).
1. b. Mencari Nafkah yang Halal
adalah Amal yang Paling Afdhal
Alangkah
bahagianya seseorang yang dapat bekerja mencari nafkah yang halal dan diridhai
oleh Tuhannya. Sehingga pekerjaan yang bertujuan untuk kepentingan dunianya pun
termasuk amal yang paling afdhal. Rasulullah SAW bersabda:
“Amal yang paling afdhal di muka bumi ini ada tiga
yaitu: menuntut ilmu, memperjuangkan agama Allah (jihad) dan mencari nafkah
yang halal”. (Al
Hadis).[19]
Akhirnya
suami hendaknya benar-benar memegangi sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
“(Wahai para suami), bertakwalah kepada Allah dalam
memperlakukan para perempuan. Sesungguhnya kalian mengambil mereka (sebagai
istri) berdasarkan amanat Allah, kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat
Allah. Dan kewajibanmu adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan
baik” (HR. Muslim).[20]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat disimpulkan hadis tentang hak istri atas suami
diriwayatkan oleh Abu Daud yaitu hadis no. 1830 dalam Kitab Nikah, Bab Hak
Istri atas Suami. Setahu penulis yang mengeluarkan hadis ini selain Abu Daud
adalah Ahmad yaitu hadis no. 19171, Kitab Musnad Penduduk Bashrah, Bab Hadits
Bahz bin Hakim dari Ayahnya dari Kakeknya Radliyallahu ta’ala ‘anhuma.
Barangkali ini kekurangan dari penulis karena belum menemukan takhrij lain dari
hadis ini. Ketika hadis ini di tahqiq oleh Al-Albani, kualitas hadis ini adalah
hasan shahih.
Berdasarkan
referensi lain, khususnya buku “Membimbing Istri Mendampingi Suami” karya Fuad
Kauma dan Nipan dapat dipahami bahwa dalam keluarga, sandang, pangan, dan papan
menjadi tanggung jawab suami. Suami adalah pemimpin bagi istrinya sekaligus
bertanggung jawab memenuhi nafkah keluarganya sebagaimana sebagaimana
difirmankan Allah dalam Surah An-Nisa : 34.
Kadar
nafkah keluarga seharusnya disesuaikan dengan kemampuan suami serta suami tidak
kikir dan berlebihan dalam membelanjakan karena sifat tersebut sangat dicela
oleh Islam. Suami hendaknya tulus ikhlas dalam memberikan nafkah karena
berdasarkan hadis Imam Muslim bahwa apabila suami memberikan nafkah secara
tulus ikhlas maka nafkah itu menjadi shadaqah.
Selain
itu suami juga harus memberi nafkah yang halal karena nafkah adalah pangkal
baik buruknya peribadatan keluarga. Dengan nafkah yang halal, kebahagiaan hidup
di dunia lebih dapat diharapkan dan kehidupan di akhirat pun lebih dapat kita
yakini akan diperolehnya. Mencari nafkah yang halal adalah amal yang paling
afdhal dimana hal ini sudah diterangkan dalam hadis
DAFTAR PUSTAKA
Kauma,
Fuad, dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami,
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997.
Musa,
Kamil, Suami Istri Islami, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997.
Shabbagh,Mahmud
Al, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1993.
Subki,
Ali Yusuf As, Fiqih Keluarga, Jakarta : Amzah,
2010.
Maktabah
Syamilah
Lidwa
Pustaka
[1] Fuad
Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi
Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 80
[2] Ali
Yusuf As-Subkhi, Fiqih Keluarga, Jakarta: Amzah,
2010, hlm. 183
[3] Ali
Yusuf As-Subkhi, Fiqih Keluarga, Jakarta: Amzah,
2010, hlm. 186
[4] Lidwa
Pustaka
[5] Maktabah
Syamilah
[6] Lidwa
Pustaka
[7] http://bicarathtl.forumms.net/t243-20-konflik-lazim-dalam-keluarga-4-20-1-tabiat-suami-yang-memukul-isterinya-bah-3
[8] Lidwa
Pustaka
[9] Mahmud
al-Shabbagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menuju Islam,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993, hlm. 128-129
[10] Kamil
Musa, Suami-Istri Islami, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997,
hlm. 28
[11] Fuad
Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi
Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 80
[12] Kamil
Musa, Suami-Istri Islami, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997,
hlm. 29
[13] Fuad
Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi
Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 81
[14] Fuad
Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi
Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 82
[15] Fuad
Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi
Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 84
[16] Fuad
Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi
Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 86
[17] Fuad
Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi
Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 87
[18] Fuad
Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi
Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 91
[19] Fuad
Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi
Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 92
[20] Fuad
Kauma dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi
Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 93
Share this:
0 komentar: