Siyasah (Politik Islam)
SIYASAH ( POLITIK ISLAM )
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah Materi
Pembelajaran Fiqih MTs dan MA
Dosen pengampu : Izzah Ulya Qadam, M.
Pd. I.
B5-LK Semester Ganjil
Disusun oleh :
1. Latif
Muafiroh (1510120055)
2.
Muhammad Annas (1510120061)
3.
Tri Novianto
(1510120052)
4. Khoerul Muarif (1510120051)
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
TAHUN
AKADEMIK 2016/2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di kalangan umat islam ada yang berpendapat bahwa
Islam adalah agama yang komprehensif. Di dalamnya terdapat sistem politik dan
ketatanegaraan, sistem ekonomi, sistem sosial dan sebagainya. Misalnya Rasyid
Ridha, Hasan Al-Banna dan Al-Maududi meyakini bahwa ”Islam adalah agama yang
serba lengkap”. Di dalam ajarannya antara lain terdapat sistem ketatanegaraan
atau politik.
Untuk melakukan kajian tentang fiqih
Siyasah secara luas dan mendalam dalam hubungannya sebagai ilmu untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul seiring perkembangan zaman,
tentunya harus memahami secara benar tentang konsep dasar fiqih siyasah dari
berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan di dalam
makalah ini tentang Fiqih Siyasah.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana definini siyâsah syar’iyah ?
2. Apa saja ruang lingkup siyasah syar’iyah ?
3. Bagaimana dasar dan prinsip-prinsip siyasah
syar’iyah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Siyasah
Syar’iyah ( Politik Islam )
Fiqh siyasah
di dalam Islam lebih dikenal dengan siyasah syar’iyah, yang kemudian
populer di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan politik Islam. Istilah
politik berasal dari kata politics ( bahasa inggris) yang bermakna
mengatur, strategi, cara, dan jalan untuk meraih kekuasaan. Secara bahasa siyasah
berasal dari kata sa-sa yang berarti mengatur, mengurus, memerintah,
memimpin, mengarahkan dan mengendalikan sesuatu.
Secara
sederhana siyasah syar’iyah diartikan sebagai ketentuan kebijaksanaan
pengurusan masalah kenegaraan yang berdasarkan syariat. siyasah syar’iyah
ialah Pengelolaan masalah-masalah umum bagi pemerintah islam yang menjamin
terciptanya kemaslahatan dan terhindarnya kemudharatan dari masyarakat
islam,dengan tidak bertentangan dengan ketentuan syariat islam dan
prinsip-prinsip umumnya, meskipun tidak sejalan dengen pendapat para ulama
mujtahid.
Definisi ini
lebih dipertegas oleh Abdurrahman taj yang merumuskan siyasah syar’iyah
sebagai hukum-hukum yang mengatur kepentingan Negara, mengorganisasi
permasalahan umat sesuai dengan jiwa (semangat) syariat dan dasar-dasarnya yang
universal demi terciptanya tujuan-tujuan kemasyarakatan, walaupun
pengaturan tersebut tidak ditegaskan baik oleh Al-Qur’an maupun al-sunah.[1]
Bahansi merumuskan bahwa siyasah syar’iyah adalah pengaturan
kemaslahatan umat manusia sesuai dengan tuntutan syara’. Sementara para fuqaha,
mendefinisikan siyasah syar’iyah sebagai kewenangan penguasa/pemerintah
untuk melakukan kebijakan-kebijakan politik yang mengacu kepada kemaslahatan
melalui peraturan yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama, walaupun
tidak terdapat dalil yang khusus untuk hal itu.
Dengan
menganalisis definisi-definisi yang di kemukakan para ahli di atas dapat
ditemukan hakikat siyasah syar’iyah, yaitu:
1.
Bahwa siyasah
syar’iyah berhubungan dengan pengurusan dan pengaturan kehidupan manusia.
2.
Bahwa
pengurusan dan pengaturan ini dilakukan oleh pemegang kekuasaan (ulil-amry)
3.
Tujuan
pengaturan tersebut adalah untuk menciptakan kemaslahatan dan menolak
kemudharatan.
4.
Pengaturan
tersebut tidak boleh bertentangan dengan syariat islam.
B. Ruang Lingkup Siyasah Syar’iyah
Dalam fiqh, siyasah
syar’iyah memiliki 4 bagian antara lain:
1. Siyasah Dusturiyah
Siyasah
Dusturiyah merupakan hal yang mengatur atau
kebijakan yang diambil oleh kepala negara atau pemerintah dalam mengatur
warga negaranya. Hal ini berarti Siyasah Dusturiyah adalah kajian terpenting
dalam suatu negara, karena hal ini menyangkut hal-hal yang mendasar dari suatu
negara. Yaitu keharmonisan antara warga negara dengan kepala negaranya.
Sehingga secara pengertian umum Siyasah Dusturiyah adalah keputusan
kepala negara dalam mengambil keputusan atau undang-undang bagi kemaslahatan
umat.
Siyasah
Dusturiyah mencakup aspek kehidupan yang lebih
kompleks, seperti :
a. Persolaan Imamah, hak dan kewajiban.
b. Persoalan Rakyat, status dan hak-haknya.
c. Persoalan Bai’at (Mubaya ‘ah)
d. Persoalan perwakilan dan Ahlul
Halli Wal Aqdi.
e. Persoalan Wuzaroh (Kementerian)
dan Perbandinganya.
2. Siyasah Maliyah
Arti
kata Maliyah bermakna harta benda, kekayaan, dan harta. Oleh karena itu Siyasah
Maliyah secara umum yaitu pemerintahan yang mengatur mengenai keuangan
negara. Siyasah Maliyah adalah hal-hal yang berhubungan dengan
pengurusan keuangan negara berkaitan dengan kas negara, pajak serta Baitul
Mal juga pendapatan negara yang berdasarkan pada syari’at islam.
Siyasah
Maliyah memiliki dasar-dasar sebagai berikut :
a. Keadilan sosial
b. Tanggung jawab sosial yang kokoh
c. Hak milik
d. Zakat
3. Siyasah Dauliyah
Dauliyah
bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang, serta kekuasaan.
Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan kepala negara
untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, masalah teritorial,
nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga
negara asing. Siyasah Dauliyah lebih mengarah kepada pengaturan masalah
kenegaraan yang bersifat luar negeri, serta kedaulatan negara. Mengingat
kedaulatan sangat penting untuk mendapatkan pengakuan dari negara lain.
Dasar-dasar Siyasah Dauliyah adalah sebagai berikut :
Dasar-dasar Siyasah Dauliyah adalah sebagai berikut :
a. Kesatuan umat manusia
b. Keadilan (Al-‘adalah)
c. Persamaan ( Al-Musawah )
d. Kehormatan Manusia ( Karomah
Insaniyah )
e. Toleransi ( Tasamun )[2]
Apabila
Siyasah Dauliyah ini dilaksanakan dengan sangat baik bukan tidak mungkin
hubungan internasional suatu negara akan berjalan baik dalam segala aspek baik
politik, ekonomi, kebudayaan dan kemasyarakatan.
4. Siyasah Harbiyah
Secara
Kamus Harbiyah adalah perang, keadaan darurat atau genting. Sedangkan
makna Siyasah Harbiyah adalah wewenang atau kekuasaan serta peraturan
pemerintah dalam keadaan perang atau darurat. Dalam kajian Fiqh Siyasahnya, Siyasah
Harbiyah adalah pemerintah atau kepala negara mengatur dan mengurusi hal-hal
dan masalah yang berkaitan dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak
dan jaminan keamanan perang, perlakuan tawanan perang, harta rampasan perang,
dan masalah perdamaian.
Konsekuensi
dari asas bahwa hubungan Internasional dalam Islam adalah perdamaian saling
membantu dalam kebaikan, maka:
a. Perang tidak dilakukan kecuali dalam
keadaan darurat. Sesuai dengan persyaratan darurat hanya di lakukan seperlunya.
b. Orang yang tidak ikut berperang tidak
boleh diperlakukan sebagai musuh.
c. Segera menghentikan perang apabila salah
satu pihak cenderung kepada damai.
d. Memperlakukan tawanan perang dengan cara
manusiawi.
Berdasarkan
bagian-bagian Siyasah yang di kemukakan oleh Pulungan di
atas, apabila sebuah negara telah memutuskan peraturan undang-undang yang
berdampak pada kesejahteraan masyarakatnya, dapat mengatur keuangan negara
dengan benar, menciptakan atau menjaga hubungan internasional dengan baik,
serta mengindari negara tersebut dari keadaan perang maka bisa dikatakan negara
tersebut sudah merealisasikan Politik Islam.[3]
C. Dasar dan Prinsip-prinsip Siyasah Syar’iyah
Dasar-dasar dalam siyasah syar’iyah
ialah :
1. Hakimiyyah Ilahiyyah
Hakimiyyah atau memberikan kuasa pengadilandan
kedaulatan hukum tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah hak mutlak
Allah. Dalam firman-Nya :
“Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhakdisembah) melainkan Dia,
bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, danbagi-Nyalah segala
penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (Al-Qasas: 70 )
2.
Risalah
Risalah bererti bahawa
kerasulan beberapa orang lelaki di
kalangan manusia sejak Nabi Adam hingga kepada Nabi Muhammad s.a.w adalah suatu asas yang penting dalam sistem politik Islam. Melalui landasan risalah inilah maka para rasul mewakili kekuasaan tertinggi
Allahdalam bidang perundangan dalam kehidupan manusia. Para rasul
meyampaikan,mentafsir dan menterjemahkan segala wahyu Allah dengan ucapan dan
perbuatan.
Dalam sistem politik Islam, Allah telah memerintahkan agar manusia menerima segala perintah dan larangan
Rasulullahs.a.w. Manusia diwajibkan tunduk kepada perintah-oerintah Rasulullah
s.a.w dantidak mengambil selain daripada Rasulullah s.a.w untuk menjadi hakim
dalamsegala perselisihan yang terjadi di antara mereka.
3. Khilafah
Khilafah bererti perwakilan. Kedudukan manusia di
atas muka bumiini adlah sebagai wakil Allah. Oleh itu, dengan kekuasaanyang
telah diamanahkanini, maka manusia hendaklah melaksanakan undang-undang Allah
dalam batas yangditetapkan. Di atas landasan ini, maka manusia bukanlah
penguasa atau pemiliktetapi hanyalah khalifah atau wakilAllah yang
menjadi Pemilik yang sebenar.
Seseorang khalifah hanya menjadi khalifah yang sah selama
mana iabenar-benar mengikuti hukum-hukum Allah. Ia menuntun agar tugas
khalifahdipegang oleh orang-orang yang memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Terdiri dari pada orang-orang yang
benar-benar boleh menerima dan mendukung prinsip=prinsiptanggngjawab yang
terangkum dalam pengertian kkhilafah
b. Tidak terdiri daripada orang-orang zalim,
fasiq, fajir dan lalai terhadap Allah sertabertindak melanggar batas-batas yang
ditetapkan olehNya
c. Terdiri dari pada orang-orang yang
berilmu, berakal sihat, memiliki kecerdasan, kearifanserta kemampuan intelek
dan fizikal
d. Terdiri dari pada orang-orang yang amanah
sehingga dapt dipikulkan tanggungjawab kepadamereka dengan yakin dan
tanpa keraguan.
Sedangkan prinsip-prinsip dalam siyasah syar’iyah ialah :
1.
Musyawarah
musyawarah yang paling utama adalah berkenaan dengan pemilihan ketua negara
dan orang-orang yang akan menjawab tugas-tugas utama dalam pentadbiran ummah. musyawarah
yang kedua adalah berkenaan dengan penentuan jalan dan cara pelaksanaan
undang-undang yang telah dimaktubkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. musyawarah
yang seterusnya ialah berkenaan dengan jalan-jalan bagi menentukan
perkara-perkara baru yang timbul di kalangan ummah melalui proses ijtihad.
2.
Keadilan
Prinsip ini adalah berkaitan dengan keadilan sosial yang dijamin oleh
sistem sosial dan sistem ekonomi Islam. Dalam pelaksanaannya yang luas, prinsip
keadilan yang terkandung dalam sistem politik Islam meliputi dan merangkumi
segala jenis perhubungan yang berlaku dalam kehidupan manusia, termasuk
keadilan di antara rakyat dan pemerintah, di antara dua pihak yang bersebgketa
di hadapan pihak pengadilan, di antara pasangan suami isteri dan di antara ibu
bapa dan anak-anaknya.kewajiban berlaku adil dan menjauhi perbuatan zalim
adalah di antara prinsip utama dalam sistem sosial Islam, maka menjadi peranan
utama sistem politik Islam untuk memelihara prinsip tersebut. Pemeliharaan
terhadap keadilan merupakan prinsip nilai-nilai sosial yang utama kerana
dengannya dapat dikukuhkan kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
3.
Kebebasan
Kebebasan yang diipelihara oleh sistem siyasah/ politik Islam ialah
kebebasan yang makruf dan kebajikanyang sesuai dengan Al–Qur’an dan
Hadist.Menegakkan prinsip kebebasan yang sebenarnya adalah tujuan terpenting
bagi sistem politik dan pemerintahan Islam serta menjadi prinsip-prinsip utama
bagi undang-undang perlembagaan negara Islam.
4.
Persamaan
Persamaan di sini terdiri daripada persamaan dalam mendapatkan dan menuntut
hak, persamaan dalam memikul tanggung jawab menurut peringkat-peringkat yang
ditetapkan oleh undang-undang perlembagaan dan persamaan berada di bawah kuat
kuasa undang-undang.[4]
KAJIAN KONTEMPORER
1.
Money Politics
Hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksaan Kekayaan
Pejabat Negara (KPKPN), banyak pejabat kita disemua lembaga negara maupun
perusahaan pemerintah, yang kekayaannya berasal dari “hibah”, untuk menghindari
kesan bahwa kekayaan tersebut didapat dengan cara melanggar hukum.[5]
Sementara itu, kita juga melihat semakin maraknya praktek apa yang disebut money politics, yakni sebuah hibah atau
pemberian (berupa uang atau materi lainnya) yang dilakukan oleh seseorang kepada
pihak lain dalam rangka meraih jabatan atau tender proyek tertentu. Bagaimana pandangan syariat Islam terhadap
tindakan money poitics?
Jawaban:
Money
politics sebagai pemberian (berupa uang atau denda
lainnya) untuk mempengaruhi dan atau menyelewengkan keputusan yang adil dan
obyektif. Dalam pandangan syariat Islam hal itu merupakan suap (risywah) yang dilaknat oleh Allah, baik
yang memberi (rasyi) ataupun yang menerima (murtasyi), maupun yang menjadi perantara
(raaisy).[6]
Pendapat para ulama
tentang sesuatu yang yang diberikan para penguasa kepada para tokoh masyarakat,
pejabat, hakim, penguasa pemerintahan, dan mereka yang mengemban tanggung jawab
urusan kaum muslimin, bisa jadi merupakan suap atau hadiah. Adapun suap
hukumnya haram. Pemberian tersebut wajib dikembalikan pada pemiliknya dan tidak boleh
dimasukkan ke dalam kas negara kecuali pemiliknya tidak diketahui sehingga
seperti status barang hilang, menurut sebagian fuqaha mutaakhirin, maka harta
tersebut boleh disimpan di kas negara. [7]
Dalam Munas Alim
Ulama’ dan Konbes NU 2012 ditegaskan bahwa money
politics itu haram, sehingga masyarakat harus menjauhinya.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian memakan harta-harta diantara kalian dengan cara yang bathil” [QS. Al-Baqarah: 188].
Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian memakan harta-harta diantara kalian dengan cara yang bathil” [QS. Al-Baqarah: 188].
Imam al Qurthubi
mengatakan, “Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta
sebagian yang lainya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa “barangsiapa yang
mengambil harta orang lain bukan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya
ia telah memakannya dengan cara yang bathil. Diantara bentuk memakan dengan
cara yang bathil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara
kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah
menjadi halal dengan putusan hakim” (al Jami’LiAhkamil Qur’an juz II hal 711).
2. Memilih Wanita sebagai
Pemimpin
Peran Perempuan dalam Politik
Dalam mayoritas ahli fiqh konservatif, peran
politik dalam arti amar ma’ruf nahi
munkar antara kaum laki-laki dan perempuan memang diakui sebagai memiliki
hak dan kewajiban yang sama. Akan tetapi, dalam arti politik praktis yang di
dalamnya diperlukan pengambilan keputusan yang mengikat menyangkut masyarakat
luas, seperti pengambilan keputusan dalam peradilan, lembaga legislatif,
menurut kebanyakan ulama, tidak dapat diberlakukan sacara sama.[8]
Fatwa yang dikeluarkan oleh Universitas
al-Azhar menyebutkan:
“Syari’at Islam melarang kaum perempuan
menduduki jabatan yang meliputi kekuasaan-kekuasaan umum (public). Yang
dimaksud kekuasaan umum dalam fatwa di atas adalah kekuasaan memutuskan atau
memaksa dalam urusan-urusan kemasyarakatan, seperti kekuasaan kehakiman, dan
kekuasaan melaksanakan undang-undang.”[9]
a.
Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan tertinggi dan termasuk dalam wilayah kekuasaan publik.
Kekuasaan ini bersifat memaksa. Para ahli fiqh menyebutkan beberapa persyaratan
yang disepakati, yaitu: beragama Islam, berakal, dewasa, merdeka, adil, dan
memahami hukum-hukum syari’at. Sementara persyaratan jenis kelamin
diperdebatkan. Ada tiga pandangan ulama mengenai syarat yang terakhir ini.
Pertama, Malik bin Anas,
asy-Syafi’I, dan Ahmad bin Habal menyatakan bahwa jabatan ini haruslah
diserahkan kepada laki-laki dan tidak boleh perempuan. Menurut mereka seorang
hakim disamping harus menghadiri siding-sidang terbuka, yang di dalamnya
terdapat kaum laki-laki, ia juga harus memiliki kecerdasan akal yang prima.
Padahal menurut mereka kecerdasan perempuan berada di bawah kecerdasan
laki-laki.[10]
Selain itu perempuan akan berhadapan dengan laki-laki. Kehadiran seperti ini
akan menimbulkan fitnah (gangguan).
Argumen lain
yang dikemukakan golongan ini adalah fakta sejarah. Nabi dan khulafaur
rasyidin, dan penguasa-penguasa Islam sesudahnya, tidak pernah memberikan
kekuasaan kepada perempuan. Sejarah Islam tidak pernah membuktikan ada
perempuan pada jabatan ini.
Pendapat kedua
dikemukakan mazhab Hanafi dan Ibn Hazm azh-Zhahari. Mereka mengatakan bahwa
laki-laki bukanlah syarat mutlak untuk kekuasaan kehakiman. Perempuan boleh
saja, ia hanya diperbolehkan mengadili perkara-perkara di luar pidana berat (hudud dan qishas). Alasan mereka karena
perempuan juga dibenarkan menjadi saksi untuk perkara-perkara tadi. Selain itu,
hakim bukanlah penguasa. Tugasnya hanya melaksanakan dan menyampaikan hukum
agama, fungsinya sama seperti mufti (pemberi fatwa hukum). Selain itu, golongan
ini juga menolak hadits mengenai kepemimpinan negara sebagai dasar hukum untuk
fungsi yudikatif.[11]
Ibn Hazm menambahkan bahwa Umar bin Khatab pernah memerintahkan perempuan
sebagai bendahara pasar.
Pendapat ketiga,
menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi hakim untuk menangani berbagai
perkara. Selain itu, laki-laki juga bukan syarat bagi kekuasaan kehakiman.
Inilah pendapat Ibn Jarir ath Thabari dan Hasan al-Bashri. Bagi mereka, jika
perempuan bisa menjadi mufti, adalah logis jika perempuan bisa menjadi hakim.
Akan tetapi pendapat ketiga ini ditolak oleh al-Mawardi. Menurutnya, pendapat
Ibn Jarir tersebut telah menyimpang dari konsensus ulama. Selain itu juga
berlawanan dengan teks al-Qur’an yaitu pada QS. An-Nisa: 34.[12]
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ….
Artinya : “Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…”[13]
b.
Kekuasaan Legislatif
Kaum wanita
sekarang mulai terpengaruh dengan kebudayaan barat dan para penganut aliran
barat dalam mas’alah kaum wanita, lalu mereka mengajukan tuntutan agar supaya
wanita itu diberi hak yang sama dengan hak laki-laki dibidang politik dan
akhirnya muncullah hak memilih dan dipilh, untuk ikut serta duduk dalam Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).[14]
Sebenarnya
wanita itu mencapai hak memilih dan dipih, ini bukanlah dengan kemauan yang
murni dari suatu bangsa yang merdeka tetapi sebenarnya kaum wanita mencapai
hak-haknya itu dalam suasana mendungnya kehidupan di DPR itu, dan terjadinya
perubahan besar-besaran dalam bidang ketenteraman, dan mungkin juga berasal
dari ketentuan sesorang yang memerintah secara diktator.
c. Deskontruksi Fiqh Presiden Perempuan
Sampai saat ini belum diketahui adanya
penadapat para ahli fiqh terkemuka yang membenarkan perempuan menjabat sebagai
kepala negara. Sementara Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa laki-laki sebagai
syarat bagi seorang Imam (presiden) adalah sudah merupakan kesepakatan (ijma’)
para ulama ahli fiqh. Pada kesempatan lain ia juga mengatakan:
“Tidak sah
perempuan menduduki jabatan al-Imamah al-Uzhma (kepala Negara) dan Gubernur.
Nabi Saw, Khulafa ar-Rasyidin, dan penguasa sesudah Islam juga tidak pernah
mengangkat perempuan menjadi hakim dan gubernur.[15]
Argument untuk
seluruh persoalan yang terkait dengan peran perempuan di atas, pertama-tama
mengacu pada QS. An Nisa: 34. Sebagai contoh, ar Razi mengatakan bahwa
kelebihan yang dimiliki laki-laki meliputi dua hal: ilmu pengetahuan dan kemampuan
fisik.[16]
Ath-Thabathaba’I berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah
karena laki-laki memiliki kemampuan berfikir yang tinggi, melahirkan
keberanian, kekuatan, dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Sementara
perempuan lebih sensitive dan emosional. Realitas sosial membuktikan bahwa
telah banyak perempuan yang bisa melakukan tugas-tugas yang selama ini dianggap
hanya bisa dilakukan dan sekaligus dimonopoli kaum laki-laki.[17]
Kalau begitu,
bagaimana kita menyikapi QS.an Nisa’: 34 diatas. Berangkat dari wacana
pemikiran fiqh sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan ini maka ayat ini
harus dipahami secara sosiologis dan kontekstual.[18]
3. Foto Calon Bupati di Cover
al-Quran
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang
wajib di muliakan, sehingga segala aktivfitas yang bersinggung dengan Al-Qur’an
diperlukan adab dan etika dalam membawa, meletakkan, membaca, bahkan
menyentuhnya sekalipun. Namun akhir-akhir ini ada beberapa fenomena janggal
mengenai kitab suci kita, seperti beberapa waktu lalu ada calon bupati yang
menggunakan Al-Qur’an sebagai media publikasi dengan memasang fotonya di sampul
luar Al-Qur’an dan membagikannya pada masyarakat. Apakah dibenarkan perilaku salah satu calon bupati
yang memasang fotonya di sampul mushaf Al-Qur’an?
Jawaban :
Al-Qur’an kalamullah,
mukjizat terbesar sepanjang sejarah kenabian, sekaligus penuntun umat
Islam. Tingginya derajat yang dimiliki Al-Qur’an menuntut untuk selalu dijaga
dari hal-hal yang bersifat meremehkan atau menghinanya. Bahkan dapat berdampak
pada kekufuran ketika tidak menjaganya dari hal-hal yang bersifat menghina,
karena merupakan tindakan pelecahan terhadap agama.
فِي
صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ. مَرْفُوعَةٍ
مُطَهَّرَةٍ. بِأَيْدِي سَفَرَةٍ
.كِرَامٍ بَرَرَةٍ
Artinya : “Di
dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan
para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.” (QS. ‘Abasa:
13-16).[19]
Kemuliaan Al-Qur’an menuntut kita selalu
menjaga etika dalam menyentuhnya. Sebagaimana para malaikat dalam menyentuhnya
sebelum kita, kita dituntut untuk berada dalam keadaan suci.
فِي
كِتَابٍ مَكْنُونٍ .لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ.
Artinya : “Pada
Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang
yang disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 78-79).[20]
Pada dasarnya suatu perbuatan dapat dianggap
meremahkan dipandang dari berbagai sudut. Diantaranya, melalui tanda-tanda yang
menganggap hal yang dilakukan tergolong meremahkan, seperti, meletakkannya
ditempat yang menjijikkan atau menjalarkan kaki kedepannya. Selain itu juga
memandang kondisi fisik seseorang, seperti, seseorang kehilangan tangan
kanannya tidak dianggap meremahkan Al-Qur’an ketika menulisnya dengan tangan
kiri. Namun jika sesorang yang tidak cacat fisik menulisnya dengan tangan kiri
maka hal ini tergolong tindakan yang meremahkan Al-Qur’an.
Seperti dalam permasalahan di atas seorang
calon bupati yang memasang fotonya dibagian sampul Al-Qur’an, tindakan tersebut
dapat dihukumi tergantung pada apakah hal itu termasuk hal yang melecehkan
Al-Qur’an atau tidak. Diperbolehkan selama tidak ada unsur penghinaan terhadap
Al-Qur’an.[21]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Siyasah
syar’iyah ialah Pengelolaan masalah-masalah umum bagi
pemerintah islam yang menjamin terciptanya kemaslahatan dan terhindarnya
kemudharatan dari masyarakat islam,dengan tidak bertentangan dengan ketentuan
syariat islam dan prinsip-prinsip umumnya, meskipun tidak sejalan dengen
pendapat para ulama mujtahid. Ruang
lingkup Siyasah syar’iyah ada 4 bagian yaitu Siyasah
Dusturiyah, Siyasah Maliyah, Siyasah Dauliyah, Siyasah Harbiyah.
Dasar-dasar Siyasah
syar’iyah yaitu :
1.
Hakimiyyah Ilahiyyah
2.
Risalah
3. Khilafah
Prinsip-prinsip Siyasah
syar’iyah yaitu :
1.
Musyawarah
2.
Keadilan
3.
Kebebasan
4.
Persamaan
B. Saran
Demikian
makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat bagi penyusun
khususnya dan pembaca umumnya. Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kata kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman taj, Al-siyasah al-Syar’iyah wa
al-Fiqh al-Islami, (mesir:mathba’ah Dar al-Ta’lif,1993.
Ali Anwar Yusuf. Wawasan Islam. CV Pustaka Setia: Bandung.
2002.
Hasbi ash-Shiddiqy. pengantar siyasah
syari’iyah. Madah: Yogjakarta.2004.
Abul A’la Al-Maududi,. Hukum dan
Konstitusi Sistem Politik Islam. Mizan: Bandung.1995.
Djamaluddin Miri, Ahkamul Fuqaha
(Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes
Nahdlatul Ulama (1926-2004), (Surabaya: Khalista, 2007).
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana
Agama dan Gende), (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2001).
Mustafa A Sibary, Wanita: diantara Hukum Islam dan
Perundang-Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972).
http://www.jejakislam.com/2013/12/pasang-foto-di-al-quran.html diakses pada hari Selasa, 12 april 2016 di
STAIN Kudus jam 12.06 WIB.
[1] Abdurrahman
taj, Al-siyasah al-Syar’iyah wa al-Fiqh al-Islami, (mesir:mathba’ah
Dar al-Ta’lif,1993, hlm. 10.
[2] Ali Anwar Yusuf. Wawasan
Islam. CV Pustaka Setia: Bandung. 2002, hlm.143-150.
[5] Djamaluddin Miri, Ahkamul Fuqaha (Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004),
(Surabaya: Khalista, 2007), hlm. 694-695.
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm. 696.
[8]
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Refleksi
Kiai atas Wacana Agama dan Gende), (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2001),
hlm. 188.
[9] Ibid., hlm. 189.
[10] Ibid., hlm. 190.
[11] Ibid., hlm. 191.
[12] Ibid., hlm. 192.
[13] Al-Qur’an dan terjemah…, hlm. 84.
[14] Mustafa A Sibary, Wanita:
diantara Hukum Islam dan Perundang-Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1972), hlm. 221.
[15]
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan……,
hlm. 195.
[16] Ibid., hlm. 196.
[17] Ibid., hlm. 197.
[18] Ibid., hlm. 198.
[19] Al-Qur’an dan Terjemah…, hlm. 585.
[20] Ibid., hlm. 537.
[21] http://www.jejakislam.com/2013/12/pasang-foto-di-al-quran.html diakses pada hari Selasa, 12
april 2016 di STAIN Kudus jam 12.06 WIB.
0 komentar: