Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin
ISLAM
MASA KHULAFAUR RASYIDIN
ISLAM MASA KHALIFAH ABU BAKAR
Setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh
siapapun (khatami al-anbiya’ wa al-mursalin), tetapi kedudukan beliau yang
kedua sebagai pimpinan kaum muslimin mesti segera ada gantinya. Orang itulah
yang dinamakan “Khalifah” artinya yang menggantikan Nabi menjadi kepala kaum
muslimin (pimpinan komunitas Islam) dalam memberikan petunjuk ke jalan yang
benar dan melestarikan hukum-hukum Agama Islam.
Dialah yang menegakkan keadilan
yang selalu berdiri diatas kebenaran. Maka setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
pemuka-pemuka Islam segera bermusyawarah untuk mencari pengganti Rasulullah
SAW. Setelah terjadi perdebatan sengit antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin,
akhirnya terpilihlah sahabat Abu Bakar sebagai Khalifah, artinya pengganti
Rasul SAW yang kemudian disingkat menjadi Khalifah atau Amirul Mu’minin.
Keputusan Rasulullah SAW yang tidak menunjuk penggantinya sebelum beliau wafat
dan menyerahkan pada forum musyawarah para sahabat merupakan produk budaya
Islam yang mengajarkan bagaimana cara mengendalikan negara dan pemerintah
secara bijaksana dan demokratis (Yatim,1997:35).
Terpilihnya Abu Bakar sebagai
Khalifah yang pertama dalam ketatanegaraan Islam merupakan salah satu refleksi
dari konsep politik Islam. Abu Bakar menerima jabatan Khalifah pada saat
sejarah Islam dalam keadaan krisis dan gawat. Yaitu timbulnya perpecahan,
munculnya para nabi palsu dan terjadinya berbagai pemberontakan yang mengancam
eksistensi negeri Islam yang masih baru. Memang pengangkatan Abu Bakar
berdasarkan keputusan bersama (musyawarah di balai Tsaqifah Bani Sa’idah) akan
tetapi yang menjadi sumber utama kekacauan ialah wafatnya nabi dianggap sebagai
terputusnya ikatan dengan Islam, bahkan dijadikan persepsi bahwa Islam telah
berakhir.
Abu Bakar bukan hanya dikatakan sebagai Khalifah, namun juga sebagai
penyelamat Islam dari kehancuran karena beliau telah berhasil mengembalikan
ummat Islam yang telah bercerai berai setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Disamping itu beliau juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan Islam. Jadi
dapat disimpulkan bahwa letak peradaban pada masa Abu Bakar adalah dalam
masalah agama (penyelamat dan penegak agama Islam dari kehancuran serta
perluasan wilayah) melalui sistem pemerintahan (kekhalifahan) Islam. Akan
tetapi konsep kekhalifahan dikalangan Syi’ah masih ditentang.
Menurut Syi’ah
kekhalifahan adalah warisan terhadap Ali dan kerabatnya, bukan pemilihan
sebagaimana terjadi pada Abu Bakar. Terlepas dari perbedaan interpretasi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep kekhalifahan adalah produk budaya
dibidang politik yang orisinil dari
peradaban
Islam.Sebab ketika itu tidak ada lembaga manapun yang memakai konsep
kekhalifahan.
Menurut Fachruddin, Abu
Bakar terpilih untuk memimpim kaum Muslimin setelah Rasulullah disebabkan
beberapa hal: 1. Dekat dengan Rasulullah baik dari ilmunya maupun persahabatannya.
2. Sahabat yang sangat dipercaya oleh Rasulullah. 3. Dipercaya oleh rakyat,
sehingga beliau mendapat gelar As–Siddiq, orang yang sangat dipercaya. 4.
Seorang yang dermawan. 5. Abu Bakar adalah sahabat yang diperintah Rasulullah
SAW menjadi Imam Shalat jama’ah. 6. Abu Bakar adalah termasuk orang yang
pertama memeluk Islam (Fachruddin, 1985:19-20).
A. Biografi
Abu
Bakar As-Shidiq adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang mempunyai nama
lengkap Abdullah Abi Quhafah At-Tamimi. Pada zaman pra Islam ia bernama Abu
Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi SAW. menjadi Abdullah. Beliau lahir pada
tahun 573 M, dan wafat pada tanggal 23 Jumadil akhir tahun 13 H bertepatan
dengan bulan Agustus 634 M, dalam usianya 63 tahun, usianya lebih muda dari
Nabi SAW 3 tahun.
Diberi julukan Abu
Bakar atau pelopor pagi hari, karena beliau termasuk orang laki-laki yang masuk
Islam pertama kali. Sedangkan gelar As-Shidiq diperoleh karena beliau
senantiasa membenarkan semua hal yang dibawa Nabi SAW terutama pada saat
peristiwa Isra’ Mi’raj. Setelah masuk Islam, beliau menjadi anggota yang paling
menonjol dalam jamaah Islam setelah Nabi SAW. Beliau terkenal karena keteguhan
pendirian, kekuatan iman, dan kebijakan pendapatnya. Beliau pernah diangkat
sebagai panglima perang oleh Nabi SAW., agar ia mendampingi Nabi untuk bertukar
pendapat atau berunding.
Pekerjaan
pokoknya adalah berniaga, sejak zaman jahiliyah sampai setelah diangkat menjadi
Khalifah. Sehingga pada suatu hari beliau ditegur oleh Umar ketika akan pergi ke pasar seperti
biasanya : “Jika engkau masih sibuk dengan perniagaanmu, siapa yang akan
melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan?”. Jawab Abu Bakar : “Jadi dengan apa
saya mesti memberi makan keluarga saya? “. Lalu diputuskan untuk menggaji
Khalifah dari baitul mal sekedar mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam taraf
yang amat sederhana. Abu Bakar adalah putra dari keluarga bangsawan yang
terhormat di Makkah.
Semasa kecil dia merupakan lambang kesucian dan ketulusan
hati serta kemuliaan akhlaknya, sehingga setiap orang mencintainya. Ketika Nabi
SAW mengajak manusia memeluk agama Islam, Abu Bakar merupakan orang pertama
dari kalangan pemuda yang menanggapi seruan Rasulullah, sehingga Nabi SAW
memberinya gelar “Ash-Siddiq”. Pengabdian Abu Bakar untuk Islam sangatlah
besar.
Ia menyerahkan semua harta bendanya demi kepentingan Islam. Ia selalu
mendampingi Rasulullah dalam mengemban misi Islam sampai Nabi SAW wafat. Waktu
itu sebagian penduduk Arabia telah masuk Islam, sehingga masyarakat Muslim yang
“masih bayi” itu dihadapkan pada wujud krisis konstitusional. Sebab beliau
tidak menunjuk penggantinya,bahkan tidak membentuk dewan majlis dari
garis-garis suku yang ada. Pada akhirnya timbul tiga golongan yang
memperselisihkan tonggak kekhalifahan.
B. Peristiwa
Tsaqifah Bani Sa’idah
Memang
diakui oleh seluruh sejarawan bahwa
Rasulullah yang wafat tahun 11 H, tidak meninggalkan wasiat tentang orang yang
akan penggantikannya. Oleh karena itu, setelah rasulullah SAW wafat para
sahabat segera berkumpul untuk bermusyawarah di suatu tempat yaitu Tsaqifah
Bani Sa’idah guna memilih pengganti Rasulullah (Khalifah) memimpin ummat Islam.
Musyawarah itu secara spontanitas diprakarsai oleh kaum Anshor. Sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka lebih memiliki kesadaran politik dari pada yang lain, dalam
memikirkan siapa pengganti Rasulullah dalam memimpin umat Islam. Dalam
pertemuan itu mereka mengalami kesulitan bahkan hampir terjadi perpecahan
diantara golongan, karena masing-masing kaum mengajukan calon pemimpin dari
golongannya sendiri-sendiri.
Pihak Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubaidah, dengan
alasan mereka yang menolong Nabi ketika keadaan di Makkah genting. Kaum
Muhajirin menginginkan supaya pengganti Nabi SAW dipilih dari kelompok mereka,
sebab muhajirinlah yang telah merasakan pahit getirnya perjuangan dalam Islam sejak awal mula Islam. Sedang dipihak lain terdapat
sekelompok orang yang menghendaki Ali Bin Abi Thalib, karena jasa-jasa dan
kedudukannya selaku menantu Rasulullah SAW. Hingga peristiwa tersebut diketahui
Umar. Ia kemudian pergi ke kediaman nabi dan mengutus seseorang untuk menemui
Abu Bakar.
Kemudian keduanya berangkat dan diperjalanan bertemu dengan Ubaidah
bin Jarroh. Setibanya di balai Bani Sa’idah, mereka mendapatkan dua golongan
besar kaum Anshor dan Muhajirin bersitegang. Dengan tenang Abu Bakar berdiri di tengah-tengah mereka, kemudian berpidato
yang isinya merinci kembali jasa kaum Anshor bagi tujuan Islam.
Disisi lain ia
menekankan pula anugrah dari Allah yang memberi keistimewaan kepada kaum
Muhajirin yang telah mengikuti Muhammad sebagai Nabi dan menerima Islam lebih
awal dan rela hidup menderita bersama Nabi. Tetapi pidato Abu Bakar itu tidak
dapat meredam situasi yang sedang tegang. Kedua kelompok masih tetap pada
pendiriannya. Kemudia Abu Ubaidah mengajak kaum Anshor agar bersikap toleransi,
begitu juga Basyir bin Sa’ad dari Khazraj (Anshor) agar kita tidak
memperpanjang perselisihan ini. Akhirnya situasi dapat sedikit terkendali.
Disela-sela ketegangan itu kaum Anshor masih menyarankan bahwa harus ada dua
kelompok. Hal itu berarti kepecahan kesatuan Islam, akhirnya dengan resiko
apapun Abu Bakar tampil ke depan dan
berkata “Saya akan menyetujui salah seorang yang kalian pilih diantara kedua
orang ini” yakni tidak bisa lebih mengutamakan kami sendiri dari pada anda
dalam hal ini”, situasi menjadi lebih kacau lagi, kemudia Umar berbicara untuk
mendukung Abu Bakar dan mengangkat setia kepadanya.
Dia tidak memerlukan waktu
lama untuk menyakinkan kaum Anshor dan yang lain, bahwa Abu Bakar adalah orang
yang paling patut di Madinah untuk menjadi penerus pertama dari Nabi Muhammad
SAW. Sesudah argumentasi demi argumentasi dilontarkan, musyawarah secara bulat
menunjuk Abu Bakar untuk menjabat Khalifah dengan gelar “Amirul Mu’minin”.
Dengan semangat Islamiyyah terpilihlah Abu Bakar .
Dia adalah orang yang ideal,
karena sejak mula pertama Islam diturunkan menjadi pendamping Nabi, dialah
sahabat yang paling memahami risalah Rasul. Disamping itu beliau juga pernah
menggantikan Rasulullah sebagai imam
pada saat Rasulullah sakit. Setelah mereka sepakat dengan gagasan Umar,
sekelompok demi sekelompok maju kedepan dan bersama-sama membaiat Abu Bakar
sebagai Khalifah.
Baiat tersebut dinamakan baiat tsaqifah karena bertempat di
balai Tsaqifah Bani Sa’idah. Pertemuanpolitik itu
berlagsung hangat, terbuka dan demokratis (Pulungan, 1994:102-105). Pertemua
politik itu merupakan peristiwa sejarah yang penting bagi umat Islam. Sesuatu
yang megikat mereka tetap dalam satu kepemimpinan pemerintahan. Dan terpilihnya
Abu Bakar menjadi Khalifah pertama, menjadi dasar terbentuknya sistem
pemerintahan Khalifah dalam Islam (Hasjmy,1973 :117).
C. Sistem
Politik Islam Masa Khalifah Abu Bakar
Pengangkatan
Abu Bakar sebagai Khalifah (pengganti Nabi) sebagaimana dijelaskan pada peristiwa Tsaqifah Bani
Sa’idah, merupakan bukti bahwa Abu Bakar menjadi Khalifah bukan atas
kehendaknya sendiri, tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam.
Denga
terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah, maka mulailah beliau menjalankan
kekhalifahannya, baik sebagai pemimpin umat maupun sebagai pemimpin pemerintahan.
Adapun sistem politik Islam pada masa Abu Bakar bersifat “sentral”, jadi
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah,
meskipun demikian dalam memutuskan suatu masalah, Abu Bakar selalu mengajak para sahabat untuk
bermusyawarah. Sedang kebijaksanaan politik yang diilakukan Abu Bakar dalam
mengemban kekhalifahannya yaitu:
1. Mengirim pasukan dibawah pimpinan Usamah bin Zaid, untuk
memerangi kaum Romawi sebagai realisasi dari rencana Rasulullah, ketika beliau
masih hidup. Sebenarnya dikalangan sahabat termasuk Umar bin Khatab banyak yang
tidak setuju dengan kebijaksanaan Khalifah ini. Alasan mereka, karena dalam
negeri sendiri pada saat itu timbul gejala kemunafikan dan kemurtadan yang
merambah untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Tetapi Abu Bakar tetap mengirim
pasukan Usamah untuk menyerbu Romawi, sebab menurutnya hal itu merupakan
perintah Nabi SAW. Pengiriman pasukan Usamah ke Romawi di bumi Syam pada saat
itu merupakan langkah politik yang sangat strategis dan membawa dampak positif
bagi pemerintahan Islam, yaitu meskipun negara Islam dalam keadaan tegang akan
tetapi muncul interprestasi dipihak lawan, bahwa kekuatan Islam cukup tangguh.
Sehingga para pemberontak menjadi gentar, disamping itu juga dapat mengalihkan
perhatian umat Islam dari perselisihan yang bersifat intern (Said bin al
Qathani, 1994:166-167).
2. Timbulnya kemunafikan dan kemurtadan. Hal ini disebabkan adanya
anggapan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka segala perjanjian dengan
Nabi menjadi terputus. Adapun orang murtad pada waktu itu ada dua yaitu :
a.
Mereka yang mengaku nabi dan pengikutnya, termasuk di dalamnya orang yang
meninggalkan sholat, zakat dan kembali melakukan kebiasaan jahiliyah.
b. Mereka
membedakan antara sholat dan zakat, tidak mau mengakui kewajiban zakat dan
mengeluarkannya.
Dalam menghadapi kemunafikan dan kemurtadan ini, Abu Bakar
tetap pada prinsipnya yaitu memerangi mereka sampai tuntas.
3. Mengembangkan wilayah
Islam keluar Arab. Ini ditujukan ke Syiria dan Persia. Untuk perluasan Islam ke
Syiria yang dikuasai Romawi (Kaisar Heraklius), Abu Bakar menugaskan 4 panglima
perang yaitu Yazid bin Abu Sufyan ditempatkan di Damaskus, Abu Ubaidah di Homs,
Amir bin Ash di Palestina dan Surahbil bin Hasanah di Yordan.
Usaha tersebut
diperkuat oleh kedatangan Khalid bin Walid dan pasukannya serta Mutsannah bin
Haritsah, yang sebelumnya Khalid telah berhasil mengadakan perluasan ke
beberapa daerah di Irak dan Persia (Misbach dkk., 1994:9). Dalam peperangan melawan Persia disebut
sebagai “pertempuran berantai”. Hal ini karena perlawanan dari Persia yang
beruntun dan membawa banyak korban. Adapun kebijakan di bidang pemerintahan
yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah:
1.
Pemerintahan Berdasarkan Musyawarah
Apabila terjadi suatu perkara, Abu
Bakar selalu mencari hukumnya dalam kitab Allah. Jika beliau tidak
memperolehnya maka beliau mempelajari bagaimana Rasul bertindak dalam suatu
perkara. Dan jika tidak ditemukannya apa
yang dicari, beliaupun mengumpulkan tokoh-tokoh yang terbaik dan mengajak
mereka bermusyawarah. Apapun yang diputuskan mereka setelah pembahasan,
diskusi, dan penelitian, beliaupun menjadikannya sebagai suatu keputusan dan
suatu peraturan.
2.
Amanat Baitul Mal
Para sahabat Nabi beranggapan bahwa
Baitul Mal adalah amanat Allah dan
masyarakat kaum muslimin. Karena itu mereka tidak mengizinkan pemasukan sesuatu kedalamnya dan pengeluaran sesuatu
darinya yang berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’at. Mereka
mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan Baitul Mal untuk mencapai
tujuan-tujuan pribadi.
3. Konsep Pemerintahan
Politik dalam pemerintahan Abu Bakar
telah beliau jelaskan sendiri kepada rakyat banyak dalam sebuah pidatonya :
“Wahai manusia ! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku
bukanlah orang yang terbaik diantara kamu. Maka jikalau aku dapat menunaikan
tugasku dengan baik, maka bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku berlaku
salah, maka luruskanlah ! orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai
aku dapat mengambil hak daripadanya. Sedangkan orang yang kamu lihat lemah, aku
pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan hak kepadanya. Maka hendaklah kamu
taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku
tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidaklah perlu mentaatiku.
4.
Kekuasaan Undang-undang
Abu Bakar tidak pernah menempatkan
diri beliau diatas undang-undang. Beliau juga tidak pernah memberi sanak
kerabatnya suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari undang- undang. Dan mereka
itu dihadapan undang-undang adalah sama seperti rakyat yang lain, baik kaum
Muslim maupun non Muslim.
D. Penyelesaian
Kaum Riddat
Kekhalifahan
Abu Bakar yang begitu singkat sangat disibukkan dengan peperangan. Dalam
pertempuran itu tidak hanya melawan musuh-musuh Islam dari luar, tetapi juga
dari dalam. Hal ini terjadi karena ada sekelompok orang yang memancangkan panji
pemberontakan terhadap negara Islam di Madinah dan meninggalkan Islam (murtad)
setelah Rasulullah wafat. Gerakan riddat (gerakan belot agama), bermula
menjelang Nabi Muhammad jatuh sakit.
Ketika tersiar berita kemangkatan Nabi
Muhammad, maka gerakan belot agama itu meluas di wilayah bagian tengah, wilayah
bagian timur, wilayah bagian selatan sampai ke Madinah Al-Munawarah serta
Makkah Al-Mukaramah itu sudah berada dalam keadaan terkepung.
Kenyataan itu
yang dihadapi Khalifah Abu Bakar. Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan
tiga tokoh yang mengaku dirinya Nabi, guna menyaingi Nabi Muhammad SAW, yaitu:
Musailamah, Thulhah, Aswad Al-Insa. Musailamah berasal dari suku bangsa Bani
Hanifah di Arabia Tengah, Tulaiha seorang kepala suku Bani Asad, Sajah seorang
wanita KRISTEN dari Bani Yarbu yang menikah dengan Musailamah (Afandi dkk,
1995:94-95).
Masing-masing orang tersebut berupaya meluaskan pengikutnya dan
membelakangi agama Islam. Para nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati
orang-orang Islam dengan membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara
keagamaan seperti membolehkan minum-minuman keras, berjudi, mengurangi sholat
lima waktu menjadi tiga, puasa Ramadhan
dihapus, pengubah pembayaran zakat yang wajib menjadi suka rela dan meniadakan
batasan dalam perkawinan.
Dalam gerakannya Aswad dan kawan-kawannya berusaha
menguasai dan mempengaruhi masyarakat Islam, dengan mengerahkan pasukan untuk
masuk ke daerah- daerah. Akhirnya pasukan riddatpun berhasil menyebar
kedaerah-daerah, diantaranya: Bahrain, Oman Mahara dan Hadramaut. Para panglima
kaum riddat semakin gencar melaksanakan misinya. Akan tetapi Khalifah Abu Bakar
tidak tinggal diam, beliau berusaha untuk memadamkan dan menumpas gerakan kaum
riddat. Dengan sigap Khalifah Abu Bakar membentuk sebelas pasukan dan
menyerahkan al-liwak (panji pasukan)
kepada masing- masing pasukan.
Di
samping itu, setiap pasukan dibekali al-mansyurat (pengumuman) yang harus disampaikan pada suku-suku Arab yang
melibatkan dirinya dalam gerakan riddat. Kandungan isinya memanggil kembali
kepada jalan yang benar. Jikalau masih berkeras kepala, maka barulah dihadapi
dengan kekerasan. Gerakan itu dikenal sebagai gerakan murtad dibawah komando
para nabi palsu antara lain, Aswad Insa yang menghimpun serdadu dengan jumlah
besar di Yaman, Musailamah berasal dari suku bangsa Bani Hanifah di Arabia
Tengah, Tulaiha seorang kepala suku Bani Asad, Sajah seorang wanita KRISTEN
dari Bani Yarbu yang menikah dengan Musaylamah (Afandi dkk, 1995:94-95).
Para
nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati orang-orang Islam dengan
membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti membolehkan
minum-minuman keras, berjudi, mengurangi sholat lima waktu menjadi tiga puasa
Ramadhan dihapus, penghibah pembayaran zakat dijadikan suka rela dan meniadakan
batasan dalam pekawinan.
Abu Bakar sebagai seorang Khalifah, tidak mendiamkan
kejadian itu terus berlanjut. Beliau memandang gerakan murtad itu sebagai
bahaya besar, kemudian beliau menghimpun para prajurit Madinah dan membagi
mereka atas sebelas batalian dengan komando masing-masing panglima dan
ditugaskan keberbagai tempat di Arabia.
Abu Bakar menginstruksikan agar
mengajak mereka kembali pada Islam, jika menolak maka harus perangi. Beberapa
dari suku itu tunduk tanpa peperangan, sementara yang lainnya tidak mau
menyerah, bahkan mengobarkan api peperangan. Oleh karena itu pecahlah
peperangan melawan mereka, dalam hal ini Kholid bin Walid yang diberi tugas
untuk menundukan Tulaiha, dalam perang Buzaka berhasil dengan cemerlang.
Sedangkan Musailamah seorang penuntut kenabian yang paling kuat, Abu Bakar
mengirim Ikrimah dan Surabil. Akan tetapi mereka gagal menundukan Musailamah,
kemudia Abu Bakar mengutus Kholid untuk melawan nabi palsu dari Yaman itu.
Dalam pertempuran itu Kholid dapat
mengahacurkan
pasukan Musailamah dan membunuh dalam taman yang berdinding tinggi, sehingga
taman disebut “taman maut” (Afandi dkk, 1995:97). Adapaun nabi palsu yang
lainnya termasuk Tulaihah dan Sajah serta kepala suku yang murtad, kembali
masuk Islam. Dengan demikian, dalam waktu satu tahun semua perang Islam
diberkahi dengan keberhasilan.
Abu Bakar dengan para panglimanya menghancurkan
semua kekuatan pengacau dan kaum murtad. Oleh karena itu, beliau tidak hanya
disebut sebagai Khalifah umat Islam, tetapi juga sebagai penyelamat Islam dari
kekacauan dan kehancuran bahkan telah menjadikan Islam sebagai agama Dunia.
Keberhasilan perang melawan kelompok riddat membuat Islam memperoleh kembali
kesetiaan dari seluruh Jazirah Arabia. Selain itu, menurut Nasir (1994:166)
kemenangan tersebut dapat menunjukkan bahwa:
1. Kebenaran
akan menang;
2. Menunjukkan akan keutamaan kekuatan moral atas kekuatan
material;
3. Dapat menggetarkan musuh Islam dan membuktikan bahwa Islam
mempunyai cukup kekuatan untuk melawan para musuh-musuhnya;
4. Umat Islam
diyakinkan akan keunggulan Islam dan kekuatan moral yang menjadi sifatnya.
Begitulah usaha Khalifah Abu Bakar, dengan perjuangan yang gigih, penuh
kesabaran, kebijakan dan ketegasan, akhirnya Khalifah Abu Bakar berhasil
memberantas kaum riddat, selanjutnya berakhirlah gerakan kaum riddat di belahan
semenanjung Arabia, dan semuanya menyatakan dirinya kembali sebagai pemeluk
agama Islam yang setia.
E. Catatan Simpul
Khalifah
Abu Bakar dalam masa yang singkat telah berhasil memadamkan kerusuhan oleh kaum
riddat yang demikian luasnya dan
memulihkan kembali ketertiban dan keamanan diseluruh semenanjung Arabia.
Selanjutkan membebaskan lembah Mesopotamia yang didiami suku-suku Arab.
Disamping itu, Jasa beliau yang amat besar bagi kepentingan agama Islam adalah
beliau memerintahkan mengumpulkan naskah- naskah setiap ayat-ayat Al-Qur’an
dari simpanan Al-Kuttab, yakni para penulis (sekretaris) yang pernah ditunjuk
oleh Nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya, dan menyimpan keseluruhan naskah di
rumah janda Nabi SAW, yakni Siti Hafshah.
Tidak lebih dari dua tahun, Khalifah
Abu Bakar mampu menegakkan tiang-tiang agama Islam, termasuk diluar jazirah
Arab yang begitu luas. Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar berlangsung hanya 2
tahun 3 bulan 11 hari. Masa tersebut merupakan waktu yang paling singkat bila
dibandingkan dengan kepemimpinan Khalifah-Khalifah penerusnya. Meski demikian
beliau dapat disebut sebagai penyelamat dan penegak agama Allah di muka bumi.
Dengan sikap kebijaksanaannya sebagai kepala negara dan ke-tawadhu’an- nya
kepada Allah serta agamanya, beliau dapat menghancurkan musuh-musuh yang
merongrong agama Islam bahkan dapat memperluas wilayah Islam keluar Arabia.
Adapun kesuksesan yang diraih Khalifah Abu Bakar selama memimpin pemerintahan
Islam dapat dirinci sebagai berikut:
1.
Perhatian Abu Bakar ditujukan untuk melaksanakan keinginan nabi, yang hampir
tidak terlaksana, yaitu mengirimkan suatu ekspedisi dibawah pimpinan Usamah
keperbatasan Syiria. Meskipun hal itu dikecam oleh sahabat-sahabat yang lain,
karena kondisi dalam negara pada saat itu masih labil. Akhirnya pasukan itu
diberangkatkan, dan dalam tempo beberapa hari Usamah kembali dari Syiria dengan
membawa kemenangan yang gemilang.
2.
Keahlian Khalifah Abu Bakar dalam menghancurkan gerakan kaum riddat, sehingga
gerakan tersebut dapat dimusnahkan dan dalam waktu satu tahun kekuasaan Islam
pulih kembali. Setelah peristiwa tersebut solidaritas Islam terpelihara dengan
baik dan kemenangan atas suku yang memberontak memberi jalan bagi perkembangan
Islam. Keberhasilan tersebut juga memberi harapan dan keberanian baru untuk
menghadapi kekuatan Bizantium dan Sasania.
3.
Ketelitian Khalifah Abu Bakar dalam menangani orang-orang yang menolak membayar
zakat. Beliau memutuskan untuk memberantas dan menundukkan kelompok tersebut
dengan serangan yang gencar sehingga sebagian mereka menyerah dan kembali pada ajaran
Islam yang sebenarnya. Dengan demikian Islam dapat diselamatkan dan zakat mulai
mengalir lagi dari dalam maupun dari luar negeri.
4.
Melakukan pengembangan wilayah Islam keluar Arabia. Untuk itu, Abu Bakar
membentuk kekuatan dibawah komando Kholid bin Walid yang dikirim ke Irak dan
Persia. Ekspedisi ini membuahkan hasil yang gemilang. Selanjutnya memusatkan
serangan ke Syiria yang diduduki bangsa Romawi. Hal ini didasarkan secara
ekonomis Syiria merupakan wilayah yang penting bagi Arabia, karena eksistensi
Arabia bergantung pada perdagangan dengan Syiria. Sehingga penaklukan ke
wilayah Syiria penting bagi umat Islam.
Tetapi kemenangan secara mutlak belum
terwujud sampai Abu Bakar meninggal Dunia pada hari Kamis, tanggal 22 Jumadil
Akhir, 13 H atau 23 Agustus 634 M (Nasir, 1994:100-101). Dari penjelasan yang
terurai diatas, dapat disimpulkan bahwasan Khalifah Abu Bakar Al–Shiddiq adalah
seorang pemimpin yang tegas, adil dan
bijaksana. Selama hayat hingga masa-masa menjadi Khalifah, Abu Bakar dapat dijadikan
teladan dalam kesederhanaan,kerendahan hati, kehati-hatian, dan kelemah
lembutan pada saat dia kaya dan memiliki jabatan yang tinggi. Ini terbukti
dengan keberhasilan beliau dalam menghadapi dan mengatasi berbagai kerumitan
yang terjadi pada masa pemerintahannya tersebut.
Beliau tidak mengutamakan pribadi dan sanak
kerabatnya, melainkan mengutamakan kepentingan rakyat dan juga mengutamakan
masyarakat/ demokrasi dalam mengambil suatu keputusan. Akhirnya perlu dipahami
bahwa suatu kehidupan dakwah senantiasa penuh dengan tantangan. Sebagai seorang
Muslim hendaklah menghadapinya dengan tanpa putus asa, penuh kesabaran,
kebijakan dan ketentraman hati, juga memohon kepada-Nya serta lebih mempererat
ukhuwah Islamiyyah, agar tercipta suatu tatanan masyarakat yang aman, damai,
sentosa dan sejahtera dengan persatuan dan kesatuan yang kokoh.
MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB
Umar
bin Khatab adalah keturunan Quraisy dari
suku Bani Ady. Suku Bani Ady terkenal sebagai suku yang terpandang mulia dan
berkedudukan tinggi pada masa Jahiliah. Umar bekerja sebagai saudagar. Beliau
juga sebagai duta penghubung ketika terjadi suatu masalah antara kaumnya dengan
suku Arab lain. Sebelum masuk Islam beliau adalah orang yang paling keras
menentang Islam, tetapi setelah beliau masuk Islam dia pulalah yang paling
depan dalam membela Islam tanpa rasa takut dan gentar (Depag
RI,1987:11-12).
A. Biografi
Nama
lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil Uzza bin Ribaah bin
Abdullah bin Qarth bin Razaah bin Adiy bin Kaab. Ibunya adalah Hantamah binti
Hasyim bin Mughirah bin Abdillah bin Umar bin Mahzum. Ia berasal dari suku
Adiy, suatu suku dalam bangsa Quraisy yang terpandang mulia, megah dan
berkedudukan tinggi. Dia dilahirkan 14
tahun sesudah kelahiran Nabi, tapi ada juga yang berpendapat bahwa ia
dilahirkan 4 tahun sebelum perang Pijar (Solihan, 1991:94).
Sebelum masuk
Islam, dia adalah seorang orator yang ulung, pegulat tangguh, dan selalu
diminta sebagai wakil sukunya bila menghadapi konflik dengan suku Arab yang
lainnya. Terkenal sebagai orang yang sangat pemberani dalam menentang Islam,
punya ketabahan dan kemauan keras, tidak mengenal bingung dan ragu (Syalabi,
1997:236). Ia masuk Islam setelah mendengar ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh
adiknya (Fatimah binti Khattab), padahal ketika itu ia hendak membunuhnya
karena mengikuti ajaran Nabi. Dengan masuknya Umar kedalam Islam, maka terjawablah
doa Nabi yang meminta agar Islam dikuatkan dengan salah satu dari dua Umar
(Umar bin Khattab atau Amr bin Hisyam) dan sebagai suatu kemenangan yang nyata
bagi Islam (Mufradi, 1997:58). Sebelum Khalifah Abu Bakar wafat, beliau telah
menunjuk Umar sebagai pengganti posisinya dengan meminta pendapat dari
tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat seperti Abdurrahman bin Auf,
Utsman, dan Tolhah bin Ubaidillah (Hasan, 1989:38).
Masa pemerintahan Umar bin
Khatab berlangsung selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari tahun 13 H/634M sampai
tahun 23H/644M. Beliau wafat pada usia 64 tahun. Selama masa pemerintahannya
oleh Khalifah Umar dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran Islam dan memperluas
kekuasaan ke seluruh semenanjung Arab (Suaib,1979:190). Ia meninggal pada tahun 644 M karena ditikam
oleh Fairuz (Abu Lukluk), budak Mughirah bin Abu Sufyan dari perang Nahrrawain
yang sebelumnya adalah bangsawan Persia.
Menurut Suaib (1979:211) alasan
pembunuhan politik pertama kali dalam sejarah Islam adalah adanya rasa syu’ubiyah
(fanatisme) yang berlebihan pada bangsa Persia dalam dirinya. Sebelum
meninggal, Umar mengangkat Dewan Presidium untuk memilih Khalifah pengganti
dari salah satu anggotanya. Mereka adalah Usman, Ali, Tholhah, Zubair, Saad bin
Abi Waqash dan Abdurrahman bin Auf. Sedangkan anaknya (Abdullah bin Umar), ikut
dalam dewan tersebut, tapi tidak dapat dipilih, hanya memberi pendapat saja.
Akhirnya, Usmanlah yang terpilih setelah terjadi perdebatan yang sengit antar
anggotanya (Atsir, 1995:459-468 dan Yatim, 1993:38).
B. Ahlul Hall
Wal ‘Aqdi
Secara
etimologi, ahlul hall wal
aqdi adalah lembaga penengah dan
pemberi fatwa. Sedangkan menurut terminologi, adalah wakil-wakil rakyat yang
duduk sebagai anggota majelis syura, yang terdiri dari alim ulama dan kaum cerdik
pandai (cendekiawan) yang menjadi pemimpin-pemimpin rakyat dan dipilih atas
mereka. Dinamakan ahlul hall wal aqdi untuk menekankan wewenang mereka guna
menghapuskan dan membatalkan. Penjelasan tentangnya merupakan deskripsi umum
saja, karena dalam pemerintahan Islam, badan ini belum dapat dilaksanakan
(Rahman,1994 :194).
Anggota dewan ini terpilih karena dua hal yaitu: pertama, mereka yang telah
mengabdi dalam Dunia politik, militer, dan misi Islam, selama 8 sampai dengan 10 tahun.
kedua, orang-orang yang terkemuka dalam hal keluasan wawasan dan dalamnya
pengetahuan tentang yurisprudensi dan Quran (Al Maududi, 1995:261).
Dalam masa
pemerintahannya, Umar telah membentuk lembaga-lembaga yang disebut juga dengan
ahlul hall wal aqdi, di antaranya adalah:
1. Majelis Syura (Diwan Penasihat),
ada tiga bentuk : a. Dewan Penasihat Tinggi, yang terdiri dari para pemuka
sahabat yang terkenal, antara lain Ali, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin
Jabbal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Tolhah dan Zubair. b. Dewan Penasihat
Umum, terdiri dari banyak sahabat (Anshar dan Muhajirin) dan pemuka berbagai
suku, bertugas membahas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum. c.
Dewan antara Penasihat Tinggi dan Umum.Beranggotakan para sahabat (Anshar dan
Muhajirin) yang dipilih, hanya membahas masalah-masalah khusus.
2. Al-Katib
(Sekretaris Negara), di antaranya adalah Abdullah bin Arqam.
3. Nidzamul Maly
(Departemen Keuangan) mengatur masalah keuangan dengan pemasukan dari pajak
bumi, ghanimah, jizyah, fai’ dan lain-lain.
4. Nidzamul Idary (Departemen
Administrasi), bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat, di
antaranya adalah diwanul jund yang bertugas menggaji pasukan perang dan pegawai
pemerintahan.
5. Departemen Kepolisian dan Penjaga yang bertugas memelihara
keamanan dalam negara.
6. Departemen Pendidikan dan lain-lain (Ali Khan,
1978:122-123). Pada masa Umar, badan-badan tersebut belumlah terbentuk secara
resmi, dalam arti secara de jure belum
terbentuk, tapi secara de facto telah dijalankan tugas-tugas badan
tersebut. Meskipun demikian, dalam menjalankan roda pemerintahannya, Umar
senantiasa mengajak musyawarah para sahabatnya (Hasjmy , 1995:61-69).
C. Perluasan
Wilayah
Ketika
para pembangkang di dalam negeri telah dikikis habis oleh Khalifah Abu Bakar
dan era penaklukan militer telah dimulai, maka Umar menganggap bahwa tugas
utamanya adalah mensukseskan ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum
lagi genap satu tahun memerintah, Umar telah menorehkan tinta emas dalam
sejarah perluasan wilayah kekuasaan
Islam. Pada tahun 635 M, Damascus, Ibu kota Syuriah, telah ia tundukkan.
Setahun kemudian seluruh wilayah Syuriah jatuh ke tangan kaum muslimin, setelah
pertempuran hebat di lembah Yarmuk di sebelah timur anak sungai Yordania.
Keberhasilan pasukan Islam dalam penaklukan Syuriah di masa Khalifah Umar tidak
lepas dari rentetan penaklukan pada masa sebelumnya. Khalifah Abu Bakar telah
mengirim pasukan besar dibawah pimpinan Abu Ubaidah Ibn al-Jarrah ke front
Syuriah. Ketika pasukan itu terdesak, Abu Bakar memerintahkan Khalid Ibn
al-Walid yang sedang dikirim untuk memimpin pasukan ke front Irak, untuk
membantu pasukan di Syuriah. Dengan gerakan cepat, Khalid bersama pasukannya
menyeberangi gurun pasir luas ke arah Syuriah. Ia bersama Abu Ubaidah mendesak
pasukan Romawi. Dalam keadaan genting itu, wafatlah Abu Bakar dan diganti oleh
Umar bin al-Khattab. Khalifah yang baru itu mempunyai kebijaksanaan lain.
Khalid yang dipercaya untuk memimpin pasukan di masa Abu Bakar, diberhentikan
oleh Umar dan diganti oleh Abu Ubaidah Ibn al-Jarrah. Hal itu tidak
diberitahukan kepada pasukan hingga selesai perang, dengan maksud supaya tidak
merusak konsentrasi dalam menghadapi musuh. Damascus jatuh ke tangan kaum
muslimin setelah dikepung selama tujuh hari. Pasukan Muslim yang dipimpin oleh
Abu Ubaidah itu melanjutkan penaklukan ke Hamah, Qinisrun, Laziqiyah dan
Aleppo. Surahbil dan ‘Amr bersama pasukannya meneruskan penaklukan atas Baysan
dan Jerussalem di Palestina. Kota suci dan kiblat pertama bagi umat Islam itu
dikepung oleh pasukan Muslim selama empat bulan. Akhirnya kota itu dapat
ditaklukkan dengan syarat harus Khalifah Umar sendiri yang menerima “kunci
kota” itu dari Uskup Agung Shoporonius, karena kekhawatiran mereka terhadap
pasukan Muslim yang akan menghancurkan gereja-gereja (Mufradi, 1997: 54). Dari
Syuriah, laskar kaum muslimin melanjutkan langkah ke Mesir dan membuat
kemenangan-kemenangan di wilayah Afrika Utara. Bangsa Romawi telah menguasai
Mesir sejak tahun 30 SM. Dan menjadikan wilayah subur itu sebagai sumber
pemasok gandum terpenting bagi Romawi. Berbagai macam pajak naik sehingga
menimbulkan kekacauan di negeri yang pernah diperintah oleh raja Fir’aun itu.
‘Amr bin Ash meminta izin Khalifah Umar untuk menyerang wilayah itu, tetapi
Khalifah masih ragu-ragu karena pasukan Islam masih terpencar dibeberapa front
pertempuran. Akhirnya, permintaan itu dikabulkan juga oleh Khalifah dengan
mengirim 4000 tentara ke Mesir untuk membantu ekspedisi itu. Tahun 18 H,
pasukan muslimin mencapai kota Aris dan mendudukinya tanpa perlawanan. Kemudian
menundukkan Poelisium (Al-Farama), pelabuhan di pantai Laut Tengah yang
merupakan pintu gerbang ke Mesir. Satu bulan kota itu dikepung oleh pasukan
kaum muslimin dan dapat ditaklukkan pada tahun 19 H. Satu demi satu kota-kota
di Mesir ditaklukkan oleh pasukan muslimin. Kota Babylonia juga dapat
ditundukkan pada tahun 20 H, setelah tujuh bulan terkepung. Iskandariah (ibu
kota Mesir) dikepung selama empat bulan sebelum ditaklukkan oleh pasukan Islam
di bawah pimpinan Ubaidah Ibn as-Samit yang dikirim oleh Khalifah dari Madinah
sebagai bantuan pasukan ‘Amr bin Ash yang sudah berada di front peperangan
Mesir. Cyrus menandatangani perjanjian damai dengan kaum muslimin.
Dengan
jatuhnya Iskandariah ini, maka sempurnalah penaklukan atas Mesir. Ibu kota
negeri itu dipindahkan ke kota Fusthat yang dibangun oleh Amr bin Ash pada
tahun 20 H. Dengan Syuriah sebagai basis, gerak maju pasukan ke Armenia ,
Mesopotamia bagian utara, Georgia, dan Azerbaijan menjadi terbuka. Demikian juga
dengan serangan-serangan terhadap Asia Kecil yang dilakukan selama
bertahun-tahun. Seperti halnya perang Yarmuk yang menentukan nasib Syuriah,
perang Qadisia pada tahun 637 M, menentukan masa depan Persia.
Khalifah Umar
mengirim pasukan di bawah pimpinan Saad bin Abi Waqash untuk menundukkan kota
itu. Kemenangan yang diraih di daerah itu membuka jalan bagi gerakan maju
tentara Muslim ke dataran Eufrat dan Tigris. Setelah dikepung selama 2 bulan,
Yazdagrid III, raja Persia melarikan diri. Pasukan Islam kemudian mengepung
Nahawan dan menundukkan Ahwaz tahun 22 H. Pada tahun itu pula, seluruh Persia
sempurna berada dalam kekuasaan Islam, sesudah pertempuran sengit di Nahawan.
Isfahan juga ditaklukan.
Demikian juga dengan Jurjan (Georgia) dan Tabristan,
Azerbaijan. Orang-orang Persia yang jumlahnya jauh lebih besar dari pada
tentara Islam, yaitu 6 dibanding 1, menderita kerugian besar. Kaum muslimin
menyebut sukses ini dengan “kemenangan dari segala kemenangan” (fathul
futuh).(Nasution , 1985:58). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kekuasaan Islam pada masa itu
meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, Mesir dan
sebagian besar Persia
D. Pengembangan
Islam Sebagai Kekuatan Politik
Periode
kekhalifahan Umar tidak diragukan lagi merupakan “abad emas” Islam dalam segala
zaman. Khalifah Umar bin Khattab mengikuti langkah-langkah Rasulullah dengan
segenap kemampuannya, terutama pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang
pemimpin biasa, tetapi seorang pemimpin pemerintahan yang professional. Ia
adalah pendiri sesungguhnya dari sistem politik Islam. Ia melaksanakan
hukum-hukum Ilahiyah (syariat) sebagai code (kitab undang-undang) suatu
masyarakat Islam yang baru dibentuk.
Maka tidak heran jika ada yang mengatakan
bahwa beliaulah pendiri daulah islamiyah (tanpa mengabaikan jasa-jasa Khalifah
sebelumnya). Banyak metode yang digunakan Umar dalam melakukan perluasan
wilayah, sehingga musuh mau menerima Islam karena perlakuan adil kaum Muslim.
Di situlah letak kekuatan politik terjadi. Dari usahanya, pasukan kaum Muslim
mendapatkan gaji dari hasil rampasan sesuai dengan hukum Islam. Untuk mengurusi
masalah ini, telah dibentuk Diwanul Jund (Majid, 1978:86). Sedangkan untuk
pegawai biasa, di samping menerima gaji tetap (rawatib), juga menerima
tunjangan (al-itha’).
Khusus untuk Amr bin Ash, Umar menggajinya sebesar 200
dinar mengingat jasanya yang besar dalam ekspansi. Dan untuk Imar bin Yasar,
diberi 60 dinar disamping tunjangan (al-jizyaat) karena hanya sebagai kepala
daerah (al-amil). Dalam rangka desentralisasi kekuasaan, pemimpin pemerintahan
pusat tetap dipegang oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sedangkan di propinsi,
ditunjuk Gubernur (oramg Islam) sebagai pembantu Khalifah untuk menjalankan
roda pemerintahan. Di antaranya adalah :
1. Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur
Syiria, dengan ibukota Damaskus. 2. Nafi’ bin Abu Harits, Gubernur Hijaz,
dengan ibu kota Mekkah. 3. Abu Musa Al Asy’ary, Gubernur Iran, dengan ibu kota
Basrah. 4. Mughirah bin Su’bah, Gubernur Irak, dengan ibu kota Kufah. 5. Amr
bin Ash, Gubernur Mesir, dengan ibu kota Fustat. 6. Alqamah bin Majaz, Gubernur
Palestina, dengan ibu kotai Jerussalem. 7. Umair bin Said, Gubernur jazirah
Mesopotamia, dengan ibu kota Hims. 8. Khalid bin Walid, Gubernur di Syiria
Utara dan Asia Kecil. 9. Khalifah sebagai penguasa pusat di Madinah (Suaib,
1979:185)..
Tentang ghanimah, harta yang didapat dari hasil perang Islam
setelah mendapat kemenangan, dibagi sesuai dengan syariat Islam yang berlaku.
Setelah dipisahkan dari as- salb, ghanimah dimasukkan ke baitul maal. Bahkan
ketika itu, peran diwanul jund, sangat berarti dalam mengelola harta tersebut,
tidak seperti zaman Nabi yang membagi menurut ijtihad beliau (Ridha, 1993:47).
Khalifah Umar bukan saja menciptakan peraturan-peraturan baru, beliau juga
memperbaiki dan mengadakan perbaikan terhadap peraturan-peraturan yang perlu
direvisi dan dirubah. Umpamanya aturan yang telah berjalan tentang sistem
pertanahan, bahwa kaum muslimin diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu
yang didapat dengan berperang. Umar mengubah peraturan ini, tanah-tanah itu
harus tetap dalam tangan pemiliknya semula, tetapi bertalian dengan ini
diadakan pajak tanah (al-kharaj).
Umar jugameninjau
kembali bagian-bagian zakat yang diperuntukkan kepada orang-orang yang dijinaki
hatinya (al-muallafatu qulubuhum) (Syalabi, 1997;263-264). Di samping itu, Umar
juga mengadakan “dinas malam” yang nantinya mengilhami dibentuknya as-syurthah
pada masa kekhalifahan Ali. Disamping itu Nidzamul Qadhi (departemen kehakiman)
telah dibentuk, dengan hakim yang sangat terkenal yaitu Ali bin Abu Thalib.
Dalam masyarakat, yang sebelumnya terdapat penggolongan masyarakat berdasarkan
kasta, setelah Islam datang, tidak ada lagi istilah kasta tersebut (thabaqatus
sya’by). Kedudukan wanita sangat diperhatikan dalam semua aspek kehidupan.
Istana dan makanan Khalifah dikelola sesederhana mungkin. Terhadap golongan
minoritas (Yahudi- Nasrani), diberikan kebebasan menjalankan perintah agamanya.
Tidak ada perbedaan kaya-miskin. Hal ini menunjukkan realisasi ajaran Islam
telah nampak pada masa Umar.
Mengenai ilmu keislaman pada saat itu berkembang
dengan pesat. Para ulama menyebarkan ke kota-kota yang berbeda, baik untuk
mencari ilmu maupun mengajarkannya kepada muslimin yang lainnya. Hal ini sangat
berbeda dengan sebelum Islam datang, dimana penduduk Arab, terutama Badui,
merupakan masyarakat yang terbelakang dalam masalah ilmu pengetahuan. Buta
huruf dan buta ilmu adalah sebuah fenomena yang biasa.
Di samping ilmu
pengetahuan, seni bangunan, baik itu bangunan sipil (imarah madaniyah),
bangunan agama (imarah diniyah), ataupun bangunan militer (imarah harbiyah), mengalami kemajuan
yang cukup pesat pula. Kota-kota gudang ilmu, di antaranya adalah Basrah,
Hijaz, Syam, dan Kuffah seakan menjadi idola ulama dalam menggali keberagaman dan
kedalaman ilmu pengetahuan. Ahli-ahli kebudayaan membagi ilmu Islam menjadi 3
kelompok, yaitu :
1. Al ulumul islamiyah atau al adabul islamiyah atau al ulumun
naqliyah atau al ulumus syariat yang meliputi ilmu-ilmu Quran, hadis,
kebahasaan (lughat), fikih, dan sejarah (tarikh).
2. Al adabul arabiyah atau al
adabul jahiliyah yang meliputi syair dan khitabah (retorika) yang sebelumnya
memang telah ada, tapi mengalami kemajuan pesat pada masa permulaan Islam.
3.
Al ulumul aqliyah yang meliputi psikologi, kedokteran, tehnik, falak, dan
filsafat. Pada saat itu, para ulama berlomba-lomba menyusun berbagai ilmu
pengetahuan karena: a. Mereka mengalami kesulitan memahami Al Qur’an b. Sering
terjadi perkosaan terhadap hukum c. Dibutuhkan dalam istimbath (pengambilan)
hukum d. Kesukaran dalam membaca Al Qur’an. Oleh karena itulah, banyak orang
yang berasumsi bahwa kebangkitan Arab masa itu didorong oleh kebangkitan Islam
dalam menyadari pentingnya ilmu pengetahuan. Apabila ada orang menyebut, “ilmu
pengetahuan Arab”, pada masa permulaan Islam, berarti itu adalah “ilmu
pengetahuan Islam”.
D. Catatan Simpul
Konsep
Khalifah pada zaman Umar masih tetap berjalan melalui proses pemilihan, kendati
Khalifah sebelumnya (Abu Bakar) telah menunjuk Khalifah penerusntya. Hal penting
yang perlu dicatat dari pemerintahan Khalifah Umar diantaranya adalah :
1. Munculnya
Pemerintahan Arab
Berkat
jasa Khalifah Abu Bakar, seluruh jazirah telah berada dibawah pemerintahan
Islam bahkan pernah memasuki wilayah Byzantium Syria tetapi mengalami
kegagalan. Kemudian pada zaman Khalifah Umar, Islam baru bisa dikembangkan ke
wilayah Persia dan Byzantium. Dalam waktu singkat Persia dan Byzantium telah di
kuasai oleh Islam, dan menyusul Mesir yang ketika itu dikuasai oleh Romawi.
Masuknya Islam ke wilayah Persia, Irak
dan Byzantium berarti kemenangan bangsa Arab terhadap bangsa Persia yang sejak
dulu memang terlibat sentimen permusuhan. karena itulah pemerintahan Khalifah
Umar disebut pemerintahan Arab (Ibrahim, 1989:37).
Kemenangan bangsa Arab terhadap bangsa Persia
merupakan pukulan berat bagi Persia, baik secara ekonomi maupun dilihat dari
sudut politik. Sebab ketika itu Persia termasuk bangsa besar sehingga ketika
jatuh ke tangan Arab, mereka kehilangan kedudukan sebagai raja dan seluruh
harta kekayaannya dikuasai oleh pemerintahan Arab. Oleh karena itu, sebagai
puncak kebencian dari orang Persia, mereka mengirim pembunuh bayaran untuk
membunuh Khalifah Umar.
Pada saat usai sholat Subuh, Kholifah Umar dibunuh oleh
pembunuh bayaran bangsa Persia yang bernama
Abu Lu’lu’ah, seorang budak yang dibawa oleh Al–Mughirah dari Irak
(Fachrudin, 1985:22). Pembunuhan yang dilakukan oleh budak dari Persia tersebut
menunjukkan rasa ketidak puasan orang–orang Persia terhadap orang Arab yang
telah menundukkan negara dan kebesaran kekaisaran Persia. Karena sebelum Islam
datang Persia lebih maju dari pada bangsa Arab.
2. Pembangunan
Kota Baru
Khalifah
Umar terkenal sebagai Khalifah yang berani dan dermawan. Oleh karena itu,
setiap beliau berhasil mengusai pusat kerajaan, beliau tidak menempati pusat
kerajaan yang telah ada, akan tetapi ia lebih suka membangun daerah baru yang
jauh dari kota dan cocok untuk peternakan sebagai pusat dari kerajaan baru yang
telah ia taklukkan. Berdasarkan konsep pemikiran tersebut Khalifah Umar
mendirikan kota Basrah pada tahun 16 H, Kufah pada tahun 17 H dan Fustat pada
tahun 19 H sekarang menjadi Kairo Kuno (Hasan, 1967:37-52). Adapun cara
Khalifah Umar dalam mendirikan kota baru adalah pertama membangun Masjid dan
pengadaan air minum baru kemudian kantor pemerintahan. Dari sinilah daerah
tersebut berangsur–angsur menjadi kota dan sebagai pusat kebudayaan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dengan masjid sebagai sentralnya. Hal ini
terbukti sampai sekarang Kufah, Basrah dan Kairo menjadi pusat ilmu dan
kebudayaan Dunia Islam. Oleh karena itu, daerah tersebut banyak didatangi oleh
bangsa lain seperti: Cina dan Bangsa Eropa.
3. Lembaga
Perpajakan
Ketika
wilayah kekuasaan Islam telah meliputi wilayah Persia, Irak dan Syria serta
Mesir sudah barang tentu yang menjadi persoalan adalah pembiayaan , baik yang
menyangkut biaya rutin pemerintah maupun biaya tentara yang terus berjuang
menyebarkan Islam ke wilayah tetangga
lainnya. Oleh karena itu, dalam kontek ini Ibnu Khadim mengatakan bahwa institusi
perpajakan merupakan kebutuhan bagi kekuasaan raja yang
mengatur pemasukan dan pengeluaran (Hasan, 1989:39).
Sebenarnya konsep perpajakan secara dasar
berawal dari keinginan Umar untuk mengatur kekayaan untuk kepentingan rakyat.
Kemudian secara tehnis beliau banyak memperoleh masukan dari orang bekas
kerajaan Persia, sebab ketika itu Raja Persia telah mengenal konsep perpajakan
yang disebut sijil, yaitu daftar seluruh pendapatan dan pengeluaran diserahkan
dengan teliti kepada negara. Berdasarkan konsep inilah Umar menugaskan stafnya
untuk mendaftar pembukuan dan menyusun kategori pembayaran pajak.
MASA
KHALIFAH USTMAN BIN AFFAN
Diantara
Khulafaurrasyidin adalah Ustman Ibnu
Affan (Khalifah ketiga) yang memerintah umat Islam paling lama dibandingkan ketiga
Khalifah lainnya. Ia memerintah selama 12 tahun. Dalam pemerintahannya, sejarah
mencatat telah banyak kemajuan dalam berbagai aspek yang dicapai untuk umat
Islam.
Akan tetapi juga tidak sedikit polemik yang terjadi di akhir
pemerintahannya. Pada masa Khalifah Ustman,
konsep kekhalifaan sudah mulai mundur, dalam arti interest politik
disekitar Khalifah mulai banyak diwarnai oleh dinamika kepentingan suku dan
perbedaan interpretasi konsep kepemimpinan dalam Islam. Ketika itu sebenarnya
Umar telah memilih jalan demokratis dalam menentukan penggantinya.
Akan tetapi
beliau berada dalam pada posisi dilematis, ia diminta oleh sebagian sahabat
untuk menunjukkan penggantinya. Maka jalan keluar yang ditempuh Khalifah Umar
adalah memilih formatur 6 orangyang terdiri dari: Ustman bin Affan, Ali Ibnu
Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Ibnu Awwam, Sa’ad Ibnu Abi Waqqas dan Abdurrahman
Ibnu Auf (Syalaby, 1982:267). Kemudian formatur sepakat memilih Ustman sebagai Khalifah. Terpilihnya Ustman sebagai Khalifah ternyata melahirkan
perpecahan dikalangan pemerintahan Islam.
Pangkal masalahnya sebenarnya berasal
dari persaingan kesukuan antara bani Umayyah dengan bani Hasyim atau Alawiyah
yang memang bersaing sejak zaman pra Islam. Oleh karena itu, ketika Ustman terpilih masyarakat menjadi dua golongan,
yaitu golongan pengikut Bani Ummayyah, pendukung Ustman dan golongan Bani Hasyim pendukung Ali.
Perpecahan itu semakin memuncak dipenghujung pemerintahan Ustman, yang menjadi
simbol perpecahan kelompok elite yang menyebabkan disintegrasi masyarakat Islam
pada masa berikutnya.
A. Biografi
Nama
lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay al-Quraisyi. Nabi sangat
mengaguminya karena ia adalah orang yang sederhana, shaleh dan dermawan. Ia
dikenal dengan sebutan Abu Abdullah. Ia dilahirkan pada tahun 573 M di Makkah
dari pasangan suami isteri Affan dan Arwa. Beliau merupakan salah satu
keturunan dari keluarga besar Bani Umayyah suku Quraisyi. Sejak kecil, ia
dikenal dengan kecerdasan, kejujuran dan keshalehannya sehingga Rasulullah SAW
sangat mengaguminya. Oleh karena itu, ia memberikan kesempatan untuk menikahi
dua putri Nabi secara
berurutan, yaitu setelah putri Nabi yang satu meninggal Dunia
(Muhammadunnasir,1981:137-138).
Ustman bin Affan masuk Islam pada usia 34
tahun. Berawal dari kedekatannya dengan
Abu Bakar, beliau dengan sepenuh hati masuk Islam bersama sahabatnya Thalhah
bin Ubaidillah. Meskipun masuk Islamnya
mendapat tantangan dari pamannya yang bernama Hakim, ia tetap pada
pendiriannya. Karena pilihan agamanya tersebut, Hakim sempat menyiksa Ustman
bin Affan dengan siksaan yang amat pedih. Siksaan terus berlangsung hingga
datang seruan Nabi Muhammad SAW agar orang-orang Islam berhijrah ke Habsyi
(Ahmad,1984:33).
Di kalangan bangsa Arab
ia tergolong konglomerat, tetapi
perilakunya sederhana. Selama tinggal di Madinah, ia memperlihatkan komitmen
sosialnya yang tinggi pada Islam. Seluruh hidupnya diabdikan untuk syiar agama
Islam dan seluruh kekayaannya didermakan untuk kepentingan umat Islam. Ia menyumbangkan 950 ekor unta dan 50 ekor
kuda serta 1000 dirham dalam perang Tabuk, Juga membeli mata air dari orang
Romawi dengan harga 20.000 dirham guna diwakafkan bagi kepentingan umat Islam
(Mufradi,1997:58-59).
Selama pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab,
Ustman menjadi pejabat yang amat dipercaya yaitu sebagai anggota dewan inti
yang selalu diminta pendapatnya tentang masalah-masalah kenegaraan, misalnya
masalah pengangkatan Umar sebagai pengganti Abu Bakar.
Ustman bin Affan menjabat
Khalifah pada usia 70 tahun hingga usia
82 tahun. Adalah Khalifah yang paling
lama memerintah dibanding ketiga Khalifah lainnya. Ia memerintah Dunia Islam
selama 12 tahun (24–36 H/644–656 M). Dalam pemerintahannya, banyak kemajuan yang telah dicapainya, disamping
tidak sedikit pula polemik dan kesan negatif
yang terjadi di akhir pemerintahannya.
Secara dramatik bahkan muncul
pendapat dan argumen bahwa Khalifah Ustman melakukan penyimpangan terhadap
ajaran Islam, sihingga ia dianggap tidak layak menyandang gelar Khalifah
ar-Rasyidin. Sebab selama menjadi Khalifah, ia diasumsikan banyak melakukan
nepotisme dan prilaku menyimpang lainnya.
B. Proses Kekhalifahan Ustman bin Affan
Pada
zaman kekhalifahan Umar bin Khattab,
tepatnya ketika beliau sakit dibentuklah dewan musyawarah yang terdiri dari Ali
bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalha bin Ubaidillah,
Zubair bin Awwam dan Abdur Rahman bin Auf. Salah seorang putra Umar, Abdullah
ditambahkan pada komisi di atas tetapi hanya punya hak pilih dan tidak berhak
dipilih (Ali Mufrodi,1997:57).
Dewan
tersebut dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wal Aqdi dengan tugas pokok
menentukan siapa yang layak menjadi penerus Khalifah Umar bin Khattab dalam
memerintah umat Islam. Suksesi pemilihan Khalifah ini dimaksudkan untuk
menyatukan kembali kesatuan umat Islam yang pada saat itu menunjukkan adanya
indikasi disintegrasi. Sahabat-sahabat yang tergabung dalam dewan, posisinya seimbang tidak ada yang lebih menonjol
sehingga cukup sulit untuk menetapkan salah seorang dari mereka sebagai
pengganti Umar. Tidaklah heran bila dalam sidang terjadi tarik ulur pendapat
yang sangat alot, walau pada akhirnya, mereka memutuskan Ustman bin Affan
sebagai Khalifah setelah Umar nin Khattab. Diantara kelima calon hanya Tholhah
yang sedang tidak berada di Madinah ketika terjadi pemilihan. Abdurahman Ibn
Auf mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan musyawarah pemilihan Khalifah
pengganti Umar. Ia meminta pendapat masing-masing nominasi. Saat itu, Zubair
dan Ali mendukung Ustman.
SedangkanUstman sendiri mendukung Ali,
tetapi Ali menyatakan dukungannya terhadap Ustman. Kemudian Abdurahman bin Auf
mengumpulkan pendapat-pendapat sahabat besar lainnya.
Akhirnya suara mayoritas
menghendaki dan mendukung Ustman. Lalu ia dinyatakan resmi sebagai Khalifah
melalui sumpah, dan baiat seluruh umat
Islam. Pemilihan itu berlangsung pada
bulan Dzul Hijjah tahun 23 H atau 644 M dan dilantik pada awal Muharram 24 H
atau 644 M. Ketika Tholhah kembali ke Madinah Ustman memintanya menduduki jabatannya, tetapi
Tholhah menolaknya seraya menyampaikan baiatnya. Demikian proses pemilihan
Khalifah Ustman bin Affan berdasarkan
suara mayoritas (Ali Mufrodi, 1997:121-122).
Dalam sejarahnya kemudian, tarik
ulur perbedaan pendapat tersebut mengandung banyak interpretasi. Misalnya,
dikatakan bahwa dalam pemilihan Khalifah Ustman ditemui beberapa kecurangan,
dan sebenarnya yang pantas menduduki kursi
Khalifah setelah umar adalah Ali bin Abi Thalib. Keberhasilan Ustman bin
Affan menjadi Khalifah ditentukan oleh peran lima tokoh yaitu Umar bin Khattab,
Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam.
Mereka ini masuk Islam
secara kolektif atas pengaruh Abu Bakar as-Shiddiq. Dengan demikian, bila dewan
itu dipetakan dapat ditemukan dua
kekuatan yang bersaing, yaitu poros Abu Bakar dan Umar yang pro Ustman dengan poros
Ali. Kini penganut Syi’ah berpendapat bahwa terbentuknya dewan musyawarah dengan 6
anggota tersebut merupakan “taktik politik” pro Ustman yang ingin agar Ustman
menjadi Khalifah (Syari’ati, 1989:119-120).
Pendapat ini sangat menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, bila
dihadapkan pada pertanyaan: sebenarnya dewan tersebut mewakili siapa, dan apa
dasar representasinya menentukan 6 anggota ?.
C. Perluasan
Wilayah
Setelah
Khalifah Umar bin Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat daerah-daerah yang
membelot terhadap pemerintah Islam. Pembelotan tersebut ditimbulkan oleh
pendukung-pendukung pemerintahan yang lama atau dengan perkataan lain pamong
praja dari pemerintahan lama (pemerintahan sebelum daerah itu masuk ke daerah
kekuasaan Islam) ingin hendak mengembalikan kekuasaannya. Sebagaimana yang
dilakukan oleh kaisar Yazdigard yang berusaha menghasut kembali masyarakat
Persia agar melakukan perlawanan terhadap penguasa Islam.
Akan tetapi dengan
kekuatannya, pemerintahan Islam berhasil memusnahkan gerakan pemberontakan
sekaligus melanjutkan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya, sehingga
beberapa kota besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna, Balkh dan Turkistan jatuh
menjadi wilayah kekuasaan Islam. Adapun
daerah-daerah lain yang melakukan pembelotan terhadap pemerintahan Islam adalah
Khurosan dan Iskandariyah. Khalifah Utsman mengutus Sa’ad bin al-Ash bersama
Khuzaifah Ibnu al-Yamaan serta beberapa sahabat Nabi lainnya pergi ke negeri
Khurosan dan sampai di Thabristan dan terjadi peperangan hebat, sehingga
penduduk mengaku kalah dan meminta damai.
Tahun 30 H/ 650 M pasukan Muslim
berhasil menguasai Khurazan. Adapun tentang Iskandariyah, bermula dari
kedatangan kaisar Konstan II dari Roma Timur atau Bizantium yang menyerang
Iskandariyah dengan mendadak, sehingga pasukan Islam tidak dapat menguasai
serangan. Panglima Abdullah bin Abi Sarroh yang menjadi wali di daerah tersebut
meminta pada Khalifah Utsman untuk mengangkat kembali panglima Amru bin ‘Ash
yang telah diberhentikan untuk menangani masalah di Iskandariyah.
Abdullah bin
Abi Sarroh memandang panglima Amru bin ‘Ash lebih cakapdalam memimpin
perang dan namanya sangat disegani oleh pikak lawan. Permohonan tersebut
dikabulkan, setelah itu terjadilah perpecahan dan menyebabkan tewasnya panglima
di pihak lawan. Selain itu, Khalifah Ustman bin Affan juga mengutus Salman
Robiah Al-Baini untuk berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak kerjasama
penduduk Armenia, bagi yang menentang dan memerangi terpaksa dipatahkan dan
kaum muslimin dapat menguasai Armenia. Perluasan Islam memasuki Tunisia (Afrika
Utara) dipimpin oleh Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Zarrah. Tunisia sebelum
kedatangan pasukan Islam sudah lama dikuasai Romawi.
Tidak hanya itu saja pada
saat Syiria bergubernurkan Muawiyah, ia berhasil menguasai Asia kecil dan
Cyprus (Depag,1988:26). Dimasa pemerintahan Utsman, negeri-negeri yang telah
masuk ke dalam kekuasaan Islam antara lain: Barqoh, Tripoli Barat, sebagian
Selatan negeri Nubah, Armenia dan beberapa bagian Thabaristan bahkan tentara
Islam telah melampaui sungai Jihun (Amu Daria), negeri Balkh (Baktria), Hara,
Kabul dan Gzaznah di Turkistan.
Jadi Enam tahun pertama pemerintahan Ustman bin
Affan ditandai dengan perluasan kekuasaan Islam. Perluasan dan perkembangan
Islam pada masa pemerintahannya telah sampai pada seluruh daerah Persia,
Tebristan, Azerbizan dan Armenia selanjutnya meluas pada Asia kecil dan negeri
Cyprus. Atas perlindungan pasukan Islam, masyarakat Asia kecil dan Cyprus
bersedia menyerahkan upeti sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya pada masa kekuasaan Romawi atas wilayah tersebut
(Ali K,1997:122-123).
D. Pembangunan
Angkatan Laut
Pembangunan
angkatan laut bermula dari adanya rencana
Khalifah Ustman untuk mengirim pasukan ke Afrika, Mesir, Cyprus dan
Konstatinopel Cyprus. Untuk sampai ke daerah tersebut harus melalui lautan.
Oleh karena itu atas dasar usul Gubernur
di daerah, Ustman pun menyetujui
pembentukan armada laut yang dilengkapi dengan personil dan sarana yang memadai
(Ali K, 1997:98).
Pada saat itu, Mu’awiyah, Gubernur di Syiria harus menghadapi
serangan-serangan Angkatan Laut Romawi di daerah-daerah pesisir provinsinya.
Untuk itu, ia mengajukan permohonan kepada Khalifah Utsman untuk membangun
angkatan laut dan dikabulkan oleh Khalifah. Sejak itu Muawiyah berhasil
menyerbu Romawi.
Mengenai pembangunan armada itu sendiri, Muawiyah tidaklah
membutuhkan tenaga asing sepenuhnya, karena bangsa Kopti, begitupun juga
penduduk pantai Levant yang berdarah Punikia itu, ramai-ramai menyediakan
dirinya untuk membuat dan memperkuat armada tersebut. Itulah pembangunan armada
yang pertama dalam sejarah Dunia Islam. Selain itu, Keberangkatan pasukan ke
Cyprus yang melalui lautan, juga mendesak ummat Islam agar membangun armada
angkatan laut. Pada saat itu, pasukan di pimpin oleh Abdullah bin Qusay
Al-Harisy yang ditunjuk sebagai Amirul Bahr atau panglima Angkatan Laut.
Istilah ini kemudian diganti menjadi Admiral atau Laksamana. Ketika sampai di
Amuria dan Cyprus pasukan Islam mendapat perlawanan yang sengit, tetapi
semuanya dapat diatasi hingga sampai di kota Konstatinopel dapat dikuasai pula.
Di samping itu, serangan yang dilakukan oleh bangsa Romawi ke Mesir melalui laut
juga memaksa ummat Islam agar segara mendirikan angkatan laut. Bahkan pada
tahun 646 M, bangsa Romawi telah menduduki Alexandria dengan penyerangan dari
laut. Penyerangan itu mengakibatkan jatuhya Mesir ke tangan kekuasan bangsa
Romawi. Atas perintah Khalifah Ustman, Amr bin Ash dapat mengalahkan bala
tentara bangsa Romawi dengan armada laut yang besar pada tahun 651 M di Mesir
(Misbach,1984:10-11).
Berawal dari sinilah Khalifah Ustman bin Affan perlu
diingat sebagai Khalifah pertamakali yang
mempunyai angkatan laut yang cukup tangguh dan dapat membahayakan kekuatan
lawan.
E. Pendewanan
Mushaf Ustmani
Penyebaran
Islam bertambah luas dan para Qori‘ pun tersebar di berbagai daerah, sehinga
perbedaan bacaan pun terjadi yang diakibatkan berbedanya qiro‘at dari qori‘
yang sampai pada mereka. Sebagian orang Muslim merasa puas karena perbedaan
tersebut disandarkan pada Rasullullah SAW. Tetapi keadaan demikian bukan
berarti tidak menimbulkan keraguan kepada generasi berikutnya yang tidak secara
langsung bertemu Rasullullah. Ketika terjadi perang di Armenia dan Azarbaijan
dengan penduduk Irak, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat tersebut
adalah Hudzaifah bin Aliaman.
Ia melihat banyak perbedaan dalam cara membaca
Al-Qur‘an. Sebagian bacaan itu tercampur dengan kesalahan tetapi masing-masing
berbekal dan mempertahankan bacaannya. Bahkan mereka saling mengkafirkan.
Melihat hal tersebut beliau melaporkannya kepada Khalifah Ustman. Para sahabat
amat khawatir kalau perbedaan tersebut akan membawa perpecahan dan penyimpangan
pada kaum muslimin. Mereka sepakat menyalin
lembaran pertama yang telah di lakukan oleh Khalifah Abu Bakar
yang disimpan oleh istri Rasulullah, Siti Hafsah dan menyatukan umat Islam dengan satu bacaan
yang tetap pada satu huruf (Khalil al-Qathan, 1992:192). Selanjutnya
Ustman mengirim surat pada Hafsah yang
isinya kirimkanlah pada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur‘an, kami
akan menyalinnya dalam bentuk mushaf dan setelah selesai akan kami kembalikan
kepada anda. Kemudian Hafsah mengirimkannya kepada Ustman. Ustman memerintahkan para sahabat yang antara lain:
Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Zubair, Sa‘ad Ibn Al-‘Ash dan Abdurahman Ibnu
Harist Ibn Hisyam, untuk menyalin mushaf yang telah dipinjam. Khalifah
Ustman berpesan kepada kaum Quraisy bila
anda berbeda pendapat tentang hal Al-Qur‘an maka tulislah dengan ucapan lisan
Quraisy karena Al-Qur‘an diturunkan di kaum Quraisy. Setelah mereka menyalin ke
dalam beberapa mushaf Khalifah Ustman
mengembalikan lembaran mushaf asli kepada Hafsah.
Selanjutnya ia
menyebarkan mushaf yang yang telah di salinnya ke seluruh daerah dan
memerintahkan agar semua bentuk lembaran mushaf yang lain dibakar
(At-Tibyan,1984:96). Al-Mushaf ditulis lima buah, empat buah dikirimkan ke
daerah-daerah Islam supaya disalin kembali dan supaya dipedomani, satu buah
disimpan di Madinah untuk Khalifah Ustman
sendiri dan mushaf ini disebut mushaf Al-Imam dan dikenal dengan mushaf
Ustmani (Depag, 1987:29).
Jadi langkah pengumpulan mushaf ini merupakan salah
satu langkah strategis yang dilakukan Khalifah Ustman bin Affan yakni dengan
meneruskan jejak Khalifah pendahulunya untuk menyusun dan mengkodifikasikan ayat-ayat
al-Qur an dalam sebuah mushaf. Karena selama pemerintahan Ustman, banyak sekali
bacaan dan versi al-Qur’an di berbagai wilayah kekuasaan Islam yang disesuaikan
dengan bahasa daerah masing- masing. Dengan dibantu oleh Zaid bin Tsabit dan
sahabat-sahabat yang lain, Khalifah berusaha menghimpun kembali ayat-ayat
al-Qur an yang outentik berdasarkan salinan Kitab Suci yang terdapat pada Siti
Hafsah, salah seorang isteri Nabi yang telah dicek kembali oleh para ahli dan
huffadz dari berbagai kabilah yang sebelumnya telah dikumpulkan
(Hasjmy,1994:133).
Keinginan Khalifah
Ustman agar kitab al-Qur’an tidak mempunyai banyak versi bacaan dan bentuknya
tercapai setelah kitab yang berdasarkan pada dialek masing-masing
kabilah semua
dibakar, dan yang tersisa hanyalah mushaf yang telah disesuaikan dengan naskah
al-Qur’an aslinya. Hal tersebut sesuai dengan keinginan Nabi Muhammad SAW yang
menghendaki adanya penyusunan al-Qur’an secara standar (Ahmad, 1984:37-38).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motif pengumpulan mushaf oleh Khalifah
Abu Bakar dan Khalifah Ustman berbeda. Pengumpulam mushaf yang dilakukan oleh
Khalifah Abu Bakar dikarenakan adanya kekhawatiran akan hilangnya Al-Qur‘an
karena banyak huffadz yang meninggal karena peperangan, sedangkan motif Khalifah
Ustman karena banyaknya perbedaan bacaan yang dikhawatirkan timbul perbedaan
(Said al- Qathani, 1994:118).
F. Konflik dan
Kemelut Politik Islam
Pemerintahan
Ustman berlangsung selama 12 tahun. Pada
masa awal pemerintahannya, beliau berhasil memerintahan Islam dengan baik
sehingga Islam mengalami kemajuan dan kemakmuran dengan pesat. Namun pada paruh
terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tak puas dan kecewa umat Islam
terhadapnya.
Khalifah Ustman adalah pemimpin yang sangat sederhana, berhati
lembut dan sangat shaleh, sehingga kepemimpinan beliau dimanfaatkan oleh sanak
saudaranya dari keluarga besar Bani Umayah untuk menjadi pemimpin di
daerah-daerah. Oleh karena itu, orang-orang menuduh Khalifah Ustman melakukan
nepotisme, dengan mengatakan bahwa beliau menguntungkan sanak saudaranya Bani
Umayyah, dengan jabatan tinggi dan kekayaannya.
Mereka juga menuduh
pejabat-pejabat Umayyah suka menindas dan menyalahkan harta baitul maal.
Disamping itu Khalifah Utsman dituduh sebagai orang yang boros mengeluarkan
belanja, dan kebanyakan diberikan kepada kaum kerabatnya sehingga hampir
semuanya menjadi orang kaya. Dalam kenyataannya, menurut Mufradi (1997:62) satu
persatu kepemimpinan di daerah-daerah kekuasaan Islam diduduki oleh keluarga
Khalifah Ustman. Adapun pejabat- pejabat yang diangkat Ustman antara lain: 1. Abdullah bin Sa‘ad (saudara
susuan Ustman) sebagai wali Mesir menggantikan Amru bin Ash. 2. Abdullah bin
Amir bin Khuraiz sebagai wali Basrah menggantikan Abu Musa Al-Asyari. 3. Walid
bin Uqbah bin Abi Muis (saudara susuan Ustman) sebagai wali Kufah menggantikan
Sa‘ad bin Abi Waqos. 4. Marwan bin Hakam (keluarga Ustman ) sebagai sekretaris
Khalifah Ustman. Pengangkatan pejabat di kalangan keluarga oleh Khalifah Ustman
telah menimbulkan protes keras di daerah dan menganggap Ustman telah melakukan
nepotisme. Menurut Ali (1997:125), protes orang dengan tuduhan nepotisme
tidaklah beralasan karena pribadi Ustman
itu bersih. Pengangkatan kerabat oleh Ustman bukan tanpa pertimbangan.
Hal ini ditunjukkan oleh jasa yang dibuat oleh Abdullah bin Sa‘ad dalam melawan
pasukan Romawi di Afrika Utara dan juga
keberhasilannya dalam mendirikan angkatan laut. Ini menunjukkan Abdullah bin
Sa’ad adalah orang yang cerdas dan cakap, sehingga pantas menggantikan Amr ibn
‘Ash yang sudah lanjut usia. Hal lain ditunjukkan ketika diketahui Walid bin
Uqbah melakukan pelanggaran berupa mabuk-mabukkan, ia dihukum cambuk dan
diganti oleh Sarad bin Ash. Hal tersebut tidak akan dilakukan oleh Ustman,
kalau beliau hanya menginginkan
kerabatnya duduk di pemerintahan. Situasi politik di akhir masa pemerintahan
Ustman benar-benar semakin mencekam
bahkan usaha-usaha yang bertujuan baik untuk kamaslahatan umat disalahfahami
dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Misalnya kodifikasi al-Qur’an dengan
tujuan supaya tidak terjadi kesimpangsiuran telah mengundang kecaman melebihi
dari apa yang tidak diduga. Lawan-lawan politiknya menuduh Ustman bahwa ia sama sekali tidak punya otoritas
untuk menetapkan edisi al-Qur’an yang ia bukukan. Mereka mendakwa Ustman secara
tidak benar telah menggunakan kekuasaan keagamaan yang tidak dimilikinya
(Mufradi, 1997:62). Tentang tuduhan
pemborosan uang negara antara lain pembangunan rumah mewah lengkap dengan
peralatan untuk Ustman, istrinya dan anak-anaknya ditolak keras oleh Ustman.
Demikian pula terhadap tuduhan keji tentang pemborosan dan korupsi uang negara
untuk dibagi-bagikan pada saudaranya. Tuduhan lain terhadap Ustman yaitu
mengambil harta baitul maal adalah tidak benar, karena beliau dan keluarga
hanya makan dari hasil gajinya saja. Semua tuduhan tersebut di bantah oleh
Ustman sendiri: “Ketika kendali pemerintahan dipercaya kepadaku, aku adalah
pemilik unta dan kambing paling besar di Arab. Sekarang aku tidak mempunyai
kambing atau unta lagi, kecuali dua ekor unta untuk menunaikan haji. Demi Allah
tidak ada kota yang aku kenakan pajak di luar kemampuan penduduknya sehingga
aku dapat disalahkan. Dan apapun yang telah aku ambil dari rakyat aku gunakan
untuk kesejahteraan mereka sendiri (Mahmudunnasir, 1981:140). Penyebab utama dari semua protes terhadap
Khalifah Ustman adalah diangkatnya Marwan ibnu Hakam, karena pada dasarnya
dialah yang menjalankan semua roda pemerintahan, sedangkan Ustman hanya menyandang
gelar Khalifah. Rasa tidak puas memuncak ketika pemberontak dari Kufah dan
Basrah bertemu dan bergabung dengan pemberontak dari Mesir. Wakil-wakil mereka
menuntut diangkatnya Muhammad Ibnu Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir. Tuntutan
dikabulkan dan mereka kembali. Akan tetapi di tengah perjalanan mereka
menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus yang isinya bahwa wakil-wakil
itu harus dibunuh ketika sampai di Mesir. Yang menulis surat tersebut menurut
mereka adalah Marwan ibn Hakam. Mereka meminta Khalifah Ustman menyerahkan
Marwan, tetapi ditolak oleh Khalifah.
Ali bin Abi Tholib mencoba mendamaikan
tapi pemberontak berhasil mengepung rumah Ustman dan membunuh Khalifah yang tua
itu ketika membaca al-Qur’an pada 35 H/17 Juni 656 M. Pembunuhan ini
menimbulkan berbagai gejolak pada tahun-tahun berikutnya, sehingga bermula dari
kejadian ini dikenal sebutan al-bab al-maftukh (terbukanya pintu bagi perang
saudara).
Menurut ahli sejarah berkebangsaan Jerman Mr. Welhausen “Pembunuhan
Ustman yang bermotif politik itu lebih berpengaruh terhadap lembaran sejarah
Islam dibandingkan dengan sejarah-sejarah Islam yang lainnya. Kesatuan umat
Islam yang baru terbentuk oleh dua
Khalifah pendahulunya mulai sirna dan keruwetan muncul di tengah-tengah umat
Islam.
Selanjutnya masyarakat Muslim terpecah menjadi dua golongan yaitu
Umaiyah dan Hasyimiyah. Golongan Umaiyah menuntut pembalasan atas darah Ustman
sepanjang pemerintahan Ali hingga terbentuknya Dinasti Umaiyah”. Ibnu Saba’,
nama lengkapnya Abdullah bin Saba’, adalah seorang Yahudi dari Yaman yang masuk
Islam. Ia merupakan provokator yang berada di balik pemberontakan terhadap
Khalifah Ustman bin Affan. Ibnu Saba’ melakukan semuanya itu didasarkan
motivasi dirinya untuk meruntuhkan dasar-dasar Islam yang telah dipegang teguh
oleh umat Islam. Niatnya masuk Islam hanyalah sebagai kedok belaka untuk
merongrong kewibawaan pemerintahan Khalifah Ustman, sehingga muncullah
kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan Islam di antaranya adalah
Fustat (Kairo), Kufah, Basrah, dan Madinah (Ali, 1995:129).
Selain
faktor dari luar tersebut (provokasi dari Ibnu Saba’), dalam internal
kekhalifahan Ustman bin Affan terdapat konfrontasi lama yang mencuat kembali.
Permasalahan tersebut semata-mata berupa persaingan yang di antara Bani Hasyim
dan Bani Umayyah. Sedangkan Ustman sendiri merupakan salah satu anggota dari
keluarga besar Bani Umayyah. Pada konteks sejarahnya, Bani Hasyim sejak dahulu
berada di atas Bani Umayyah terutama pada masalah-masalah perpolitikan
orang-orang Quraisy (Ahmad, 1984:33).
Lemahnya karakter kepemimpinan Ustman menjadikan kekuatan dan
kekuasaanya semakin terancam. Artinya, pribadi Ustman bin Affan yang sederhana
dan berhati lembut membuat para pemberontak lebih leluasa dalam melakukan
provokasi dan kerusuhan di wilayah kekuasaan Islam. Sikap sederhana dan lemah
lembut dalam ilmu politik sebenarnya kurang relevan diterapkan, apalagi pada
saat itu kondisi pemerintahan dalam saat-saat kritis. Dan lagi-lagi pada
beberapa kasus, Ustman bin Affan begitu mudah memaafkan orang lain, meskipun
pada kenyataannya orang tersebut adalah termasuk kelompok yang memerangi dan
sangat tidak suka dengan beliau.
G. Catatan
Simpul
Khalifah
Utsman adalah orang yang berhati mulia, sabar dan dermawan terutama untuk
kepentingan jihad Islam. Usaha Khalifah Utsman dalam meluaskan wilayah Islam
sangatlah banyak, diantaranya merebut daerah Iskandariyah dan Khurosan sehingga
muncullah suatu usaha untuk membuat armada laut. Hal lain yang berhasil
dilakukan oleh Khalifah Ustman dan sangat bermanfaat bagi Umat sepanjang masa adalah
menyusun Mushaf al-Quran yang dikumpulkannya dari istri Nabi Muhammad SAW yaitu
Siti Hafsah.
MASA KHALIFAH ALI
BIN ABI THALIB
A.
Biografi
Khalifah
Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin
keempat yang dikenal sebagai orang
yang alim, cerdas dan taat beragama. Beliau juga saudara sepupu Nabi SAW (anak paman Nabi, Abu Thalib), yang
jadi menantu Nabi SAW, suami dari putri Rasulullah yang bernama Fathimah. Fathimah adalah
satu-satunya putri Rasulullah yang ada serta mempunyai keturunan. Dari pihak Fathimah
inilah Rasulullah mempunyai keturunan sampai sekarang. Khalifah Ali bin Abi
Thalib merupakan orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak
. Nabi Muhammad SAW,
semenjak kecil diasuh oleh kakeknya
Abdul Muthalib, kemudian setelah kakeknya
meninggal di asuh oleh pamannya Abu
Thalib. Karena hasrat hendak menolong
dan membalas jasa kepada
pamannya, maka Ali di asuh Nabi SAW dan
di didik. Pengetahuannya dalam agama Islam
amat luas. Karena dekatnya dengan Rasulullah, beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi. Keberaniannya juga masyhur dan hampir di seluruh
peperangan yang dipimpin Rasulullah, Ali
senantiasa berada di barisan muka.
Ketika Abu
Bakar menjadi Khalifah, beliau selalu mengajak Ali untuk
memusyawarahkan masalah-masalah penting. Begitu pula Umar bin
Khathab tidak mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa
musyawarah dengan Ali. Utsmanpun pada masa permulaan jabatannya dalam banyak perkara selalu mengajak Ali dalam permusyawaratan. Demikian
pula, Ali juga tampil membela Utsman
ketika berhadapan dengan pemberontak (Pulungan, 1997:40).
B. Pembaiatan
Khalifah Ali bin Abi Thalib
Dalam
pemilihan Khalifah terdapat perbedaan pendapat antara
pemilihan Abu bakar, Utsman dan
Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua pemilihan
Khalifah terdahulu (Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Ustman ibn Affan),
meskipun mula-mula terdapat sejumlah
orang yang menentang, tetapi setelah
calon terpilih dan diputuskan
menjadi Khalifah, semua orang menerimanya dan ikut
berbaiat serta menyatakan kesetiaannya.
Namun lain halnya ketika pemilihannya
Ali bin Abi Thalib, justru sebaliknya. Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan,
masyarakat beramai-ramai datang dan
membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai
Khalifah. Beliau diangkat melalui pemilihan dan pertemuan terbuka. Akan tetapi
suasana pada saat itu sedang kacau, karena hanya ada beberapa tokoh senior
masyarakat Islam yang tinggal di Madinah. Sehingga keabsahan pengangkatan Ali
bin Abi Thalib ditolak oleh sebagian masyarakat termasuk Mu’awiyah bin Abi
Sufyan. Meskipun hal itu terjadi, Ali
masih menjadi Khalifah
dalam pemerintahan Islam. Pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali bin
Abi Thalib sebagai Khalifah di karenakan beberapa hal yaitu bahwa orang yang
tidak menyukai Ali diangkat menjadi
Khalifah, bukanlah rakyat umum yang terbanyak. Akan tetapi golongan kecil
(keluarga Umaiyyah) yaitu keluarga yang selama ini telah hidup bergelimang
harta selama pemerintahan Khalifah Ustman.
Mereka menentang Ali karena khawatir
kekayaan dan kesenangan mereka akan
hilang lenyap karena keadilan yang akan dijalankan oleh Ali. Adapun rakyat
terbanyak, mereka menantikan kepemimpinan Ali dan menyambutnya dengan tangan
terbuka. Beliau akan dijadikan tempat berlindung melepaskan diri dari
penderitaan yang mereka alami (Syalaby, 1997:283).
C. Permasalahan
Masa Ali bin Abi Thalib
Tidak
berfungsinya konsep kekhalifahan pada masa Ali ibn Abi Thalib, pertama
disebabkan karena pembunuhan terhadap Khalifah Ustman masih misterius, tidak
diketahui siapa pembunuhnya. Karena itu ada dugaan bahwa yang membunuh adalah
kelompok Ali. Keadaan ini oleh sebagian pendapat dipolitisir untuk mempertajam
pertentangan kesukuan antara Bani Hasyim (Ali) dengan Bani Umayyah (Ustman).
Kedua, elite pemerintahan khususnya dari kalangan Gubenur Syiria tidak
menginginkan Ali tampil sebagai Khalifah. Sebab Ali yang alim dan zuhud itu
sudah barang tentu tidak suka melihat gubenurnya yang berorientasi pada
kemewahan Dunia. Dengan kata lain munculnya Ali sebagai Khalifah akan merugikan
orang elite Islam yang cinta pada kedudukan dan kekuasaan. Sedangkan rakyat
memimpikan kualitas kepemimpinan seperti pada zaman Khalifah sebelumnya.
Berdasarkan skenario inilah muncul konsep pemboikotan terhadap Ali sebagai
Khalifah.
Pemerintahan Ali adalah pemerintahan yang mencoba mendasarkan pada
dasar-dasar hukum agama Islam. Hal tersebut terlihat ketika Ali hendak
mengembalikan umat kepada kehidupan seperti zaman Rasulullah, dimana
orang-orang bekerja dan berjihad semata- mata karena Allah. Disamping itu fakta sejarah juga menunjukkan adanya klaim
bahwa Ali adalah seorang pemuda yang cerdas, berani dan mempunyai pengetahuan
agama yang dalam, hal ini juga diakui Rasulullah lewat Hadist beliau yang berbunyi:
“aku adalah bagaikan kota ilmu dan Ali adalah pintunya” Dengan pemahaman yang
dalam tentang agama Islam maka langkah pertama yang ia lakukan setelah menjabat
menjadi Khalifah, antara lain yaitu mengganti seluruh Gubernur/wali-wali daerah
yang dulu diangkat Ustman secara nepotisme dan mencabut kembali segala
fasilitas yang diberikan Ustman pada familinya.
Karena hal tersebut
bertentangan dengan ajaran agama yang memerintahkan agar berlaku adil kepada
siapa saja. Sementara itu sejak awal berlangsungnya proses pemilihan,
pembai’atan, sampai pada saat Ali menjabat sebagai Khalifah ia terus saja
dihadapkan pada suasana politik yang rumit karena banyaknya rongrongan dari
berbagai pihak yang bermaksud menjatuhkan kekhalifahan Ali.
Adapun alasan
pihak-pihak yang merongrong kekhalifahan Ali adalah: 1. Sebagian kaum muslimin
memandang bahwa menyerahkan kursi Khalifah kepada Ali berarti penyerahannya
turun-temurun kepada Bani Hasyim. 2.
Jika pemerintahan dipegang Ali maka dikhawatirkan tipe kepemimpinan Ali akan
sama dengan tipe kepemimpinan Umar Ibn Khatab yang terkenal jujur, keras dan
disiplin. Sehingga orang-orang yang pada masa Ustman merasakan kesenangan hidup
enggan untuk melepas kesenangan tersebut (Syalaby, 1997:282) .
Selain adanya
pihak-pihak yang tidak menyukainya, Ali juga direpotkan dengan gencarnya
desakan yang menuntut penuntasan tragedi pembunuhan Ustman, yang ternyata
mereka tidak sekedar mendesak bahkan akhirnya mereka menyatakan perang dengan
Ali dan merongrongnya selama Ali belum mengabulkan tuntutannya. Berdasarkan
hal-hal tersebut diatas maka banyak orang-orang yang tidak menyukai Ali. Akan
tetapi tidak ada orang yang ingin diangkat sebagai Khalifah, karena Ali masih
ada. Maka setelah memperhatikan situasi yang sulit pada waktu itu dapatlah
diambil kesimpulam bahwa pembaiatan Ali sebagai Khalifah tidaklah dilakukan
kaum Muslim dengan sepenuh hati, terutama bani Umayyah, yang akhirnya mereka
mempelopori orang- orang agar tidak menyetujui Ali.
D.
Kebijaksanaan Politik Ali bin Abi Thalib
Menurut
Thabani yang dikutip oleh Syalaby (1982:284-296) setelah Ali dibaiat menjadi Khalifah, ia
mengeluarkan dua kebijaksanaan politik yang sangat radikal yaitu: 1. Memecat
kepala daerah angkatan Ustman dan menggantikan dengan gubenur baru. 2.
Mengambil kembali tanah yang dibagi–bagikan Ustman kepada famili–familinya dan
kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah. Menanggapi kebijakan yang dilakukan okleh
Ali tersebut, ada yang berpendapat bahwa kebijaksanaan Ali itu terlalu radikal
dan kurang persuasive, sehingga menimbulkan perlawanan politik dari gubenur
khususnya gubenur Syiria (Bani Ummayyah) yang tidak mau tunduk pada Khalifah
Ali, terbukti ia menolak kehadiran gubenur yang baru diangkat Ali.
Penulis
memandang bahwa tindakan politik Ali yang radikal itu kendati strategis tapi
tidak taktis, sebab pada masa Khalifah Ustman konflik etnis antara Bani
Ummayyah dan Bani Hasyim sudah ada, terbukti ketika Ustman terbunuh secara
misterius Bani Ummayyah mengeksploitasi tuduhan pada Ali, karena didasari Bani
Umayyah yang memang ambisi menjadi Khalifah. Semestinya gerakan radikal Ali
untuk mengusir elite Bani Umayyah dilakukan secara bertahap, sebab walau
bagaimanapun elite baru yang telah lama berkuasa seperti Muawiyah sulit
ditundukkan, sedangkan Ali yang mengandalkan idealisme dan dukungan masyarakat
bawah beberapa kelompok tua terlalu intelektual tapi kurang pengalaman dalam
menyelesaikan konflik dalam pemerintahan, sehingga dengan demikian yang muncul
dalam pemerintahan bukan integrasi
tetapi disintegrasi yang ditandai dengan lahirnya perang saudara yang pertama
kali dalam Islam, yakni perang jamal.
E. Perang Jamal
Selama
masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada sedikitpun
dalam pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah menduduki Khalifah, Ali
memecat Gubernur yang diangkat oleh Khalifah Ustman. Beliau yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena keteledoran mereka. Selain itu
beliau juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan oleh Ustman kepada penduduk
dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara. Dan mememakai kembali
sistem distrtibusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam. Sebagaimana pernah
diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khatthab (Hasan, 1989:82). Menyikapi berbagai
kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi Ali, kemudian pemerintahannya digoncangkan
oleh pemberontakan-pemberontakan Syadzali,1993:27).
Diantaranya adalah
pemberontakan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang merupakan
keluarga Usman sendiri dengan alasan: 1. Ali harus bertanggung jawab atas
terbunuhnya Khalifah Ustman. 2. Wilayah Islam telah meluas dan timbul
komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru. Oleh karena itu hak untuk
menentukan pengisian jabatan tidak lagi merupakan hak pemimpin yang berada di
Madinah saja.
Namun karena situasi politik yang gawat pada waktu itu sehingga
permintaan mereka merupakan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi dalam waktu
dekat. Seperti yang telah ditulis para sejarawan suasana politik pada saat itu
memanas dikarenakan adanya rongrongan dari berbagai pihak, terutama pihak-pihak
yang tidak menyetujui dan mengakui Ali menjabat sebagai Khalifah keempat.
Melihat keadaan sedemikian rumit, maka hal pertama yang memerlukan penanganan
serius yang dilakukan Ali adalah memulihkan, mengatur dan menguatkan kembali
posisinya sebagai Khalifah dan berusaha mengatasi segala kekacauan yang terjadi
(Mahmudunnasir,1984:145).
Setelah itu baru melakukan pengusutan atas pembunuhan
Ustman. Namun sejak tahun 35 H/656 M, tahun pengangkatan Ali sebagai Khalifah
sampai tahun 36 H/657 M, Ali tidak juga memperlihatkan sikap yang pasti untuk
menegakkan hukum syariat Islam terhadap para pembunuh Ustman. Sehingga Siti
Aisyah bergabung dengan Tolhah dan Zubair menggerakkan kabilah-kabilah Arab untuk menuntut balas atas kematian
Ustman. Setelah dirasa mempunyai kekuatan yang besar Siti Aisyah dan pasukannya
memutuskan menyerang pasukan Ali di Kufah, yang sebetulnya pasukan Ali
dipersiapkan untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan di Syiria.
Ali
sebenarnya ingin menghindari peperangan. Beliau mengirim surat kepada Thalhah
dan Zubair agar mereka mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara
damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat antara
keduanya pecah, yang selanjutnya dikenal dengan “Perang Jamal”.
Pertempuran
tersebut dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair. Pertempuran inilah yang
terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang memperoleh kemenangan
pada perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali lebih berpengalaman
dibanding pasukan Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah mengalami kekalahan, Aisyah
tetap dihormati oleh Ali dan pengikutnya sebagai Ummul Mu’minin. Bahkan setelah
pertempuran usai, Khalifah Ali mendirikan perkemahan khusus untuk Aisyah. Dan
keesokan harinya Aisyah dipersilahkan pulang kembali ke Madinah yang dikawal
oleh saudaranya sendiri, Muhammad bin Abi Bakar. Demikianlah sejarah terjadinya
perang jamal yang merupakan perang pertama antara sesama umat Islam dalam
sejarah Islam.
F. Perang
Shiffin
Kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang dilakukan Ali mengakibatkan perlawanan dari Gubernur di Damaskus,
Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa
kehilangan kedudukan dan kejayaan. Selain itu, Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan
keluarga dekat Ustman, seperti halnya Aisyah, mereka menuntut agar Ali
mengadili pembunuh Ustman. Bahkan mereka menuduh Ali turut campur dalam
pembunuhan Ustman.
Selain itu mereka tidak mengakui kekhalifahan Ali
(Nasution,1986:14). Hal ini bisa dilihat dari situasi kota Damaskus pada saat
itu. Mereka menggantung jubah Ustman yang berlumuran darah bersama potongan
jari janda almarhum dimimbar masjid. Sehingga hal itu menjadi tontonan bagi
rombongan yang berkunjung. Dengan adanya peristiwa tersebut pihak umum
berpendapat bahwa Khalifah Ali yang bertanggung jawab atas pembunuhan Ustman.
Pada akhir Dzulhijjah 36 H/657 M, Khalifah Ali dengan pasukan gabungan menuju
ke Syiria utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate,
namun arus sungai tersebut telah dikuasai oleh pihak Mu’awiyyah dan pihak
Muawiyyah tidak mengijinkan pihak Ali memakai air sungai tersebut. Awalnya
Khalifah Ali mengirim utusan pada Mu’awiyah agar arus sungai bisa digunakan
oleh kedua pihak, namun Mu’awiyah menolak. Akhirnya Khalifah Ali mengirim
tentaranya dibawah pimpinan panglima Asytar al Nahki dan dia berhasil merebut
arus sungai tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasai pihak Ali, mereka ini
tetap mengijinkan tentara Mu’awiyah memenuhi kebutuhan airnya. Setelah sengketa
tersebut selesai maka pihak Ali mendirikan garis pertahanan didataran siffin,
dan Khalifah Ali masih berharap dapat mencapai penyelesaian dengan cara damai.
Beliau mengirim utusan dibawah pimpinan panglima Basyir Ibn Amru untuk
melangsungkan perundingan dengan pihak Mu’awiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658
M mereka mencapai persetujuan yakni menghentikan perundingan untuk sementara
dan masing-masing pihak akan memberi jawaban pada akhir bulan Muharram.
Sebenarnya hal ini sangat merugikan Khalifah Ali karena akan mengurangi
semangat tempur tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar kekuatannya. Namun
sebagai Khalifah ia terikat oleh ketetapan firman Allah surat al-hujurat ayat 9
dan surat Nisa’ ayat 59. Dengan mengenali prinsip-prinsip hukum Islam itu maka
dapat di fahami mengapa Khalifah Ali menempuh jalan damai dahulu. Jawaban
terakhir dari pihak Mu’awiyah menolak untuk mengangkat bai’at Ali dan
sebaliknya menuntut Ali mengangkat bai’at terhadap dirinya. Maka bulan saffar
37H/685 M terjadilah perang siffin dengan kekuatan 95 000 orang dari pihak Ali
dan 85 000 orang dari pihak Mu’awiyah. Pada saat perang, Imar Ibn Yasir (orang
pertama yang masuk Islam di kota Makkah) tewas. Tewasnya tokoh yang sangat
dikultuskan ini membangkitklan semangat tempur yang tak terkirakan pada pihak
pasukan Ali, sehingga banyak korban pada pihak Mu’awiyah dan panglima Asytar al
Nahki berhasil menebas pemegang panji- panji perang pihak Mu’awiyah dan
merebutnya.
Bila panji perang jatuh pada pihak lawan maka akan melumpuhkan
semangat tempur. Pada saat terdesak itulah pihak Mu’awiyah, Amru Ibn Ash
memerintahkan mengangkat al-mushaf pada ujung tombak dan berseru marilah kita
bertahkim kepada kitabullah. Namun pada saat itu Khalifah Ali memerintahkan
untuk tetap berperang karena beliau tahu itu hanya tipu muslihat musuh.
Tapi
sebagian besar tentaranya berhenti berperang dan berkata jikalau mereka telah
meminta bertahkim kepada kitabullah apakah pantas untuk tidak menerimanya,
bahkan diantara panglima pasukannya Mus’ar Ibn Fuka al Tamimi mengancam: “Hai
Ali , mari berserah kepada kitabullah jikalau anda menolak maka kami akan
berbuat terhadap anda seperti apa yang kami perbuat pada Usman”
(Suaib,1979:496).
Akhirnya Khalifah Ali terpaksa tunduk karena beliau
menghadapi orang-orang sendiri. Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang
ini 35.000 orang dari pihak Ali dan 45.000 orang dari pihak Mu’awiyah.
Peperangan ini diakhiri dengan takhkim (arbitrase). Akan tetapi hal itu tidak
dapat menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi
tiga golongan (Yatim, 1998:41). Diantara
ketiga golongan itu adalah golongan Ali, pengikut Mu’awiyah dan Khawarij
(orang-orang yang keluar dari golongan Ali). Akibatnya, diujung masa
pemerintahan Ali, Umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik.
G. Perang
Nahrawan
Setelah
terjadi tahkim sebagian tentara Ali tidak terima dengan sikap Khalifah yang
menerima arbitrase karena itulah mereka keluar dari pihak Ali yang selanjutnya
dikenal dengan nama Khawarij. Pihak Khawarij berkesimpulan bahwa:
1. Mu’awiyah
dan Amru bin Ash beserta pengikutnya adalah kelompok kufur karena telah
mempermainkan nama Allah dan kitab Allah dalam perang siffin, maka mereka wajib
di basmi.
2. Ali dan pihak-pihak yang mendukung terbentuknya majlis tahkim
adalah ragu terhadap kebenaran yang telah diperjuangkan , padahal banyak korban
yang jatuh untuk membelanya. Untuk itu Ali telah melakukan dosa besar.
3. Dan
yang membenarkan pembentukan majlis tahkim adalah mengembangkan bid’ah dan
membasmi kaum bid’ah adalah kewajiban setiap Muslim.
4. Pemuka kelompok ini
adalah Abdullah Ibn Wahhab al Rasibi. Sebenarnya Khalifah Ali tidak ingin
memerangi kelompok Khawarij tapi karena kelompok ini keterlaluan dalam bersikap
diantaranya membunuh keluarga shahabat Abdullah Ibn Habbab dengan sadis sekali
hanya karena menolak untuk menyatakan ke empat Khalifah sepeningggal nabi
adalah kufur, selain itu mereka juga membunuh utusan yang diutus oleh Khalifah
Ali.
5. Khalifah Ali menggerakkan pasukannya dan kedua pasukan bertemu pada
suatu tempat bernama Nahrawan, terletak dipinggir sungai tigris (al dajlah).
Sebelum perang diumumkan, Khalifah Ali masih punya harapan untuk menyadarkan
kaum Khawarij. Dan dia memberikan amnesti bersyarat yang berbunyi: barang siapa
pulang kembakli ke Kufah, akan memperoleh jaminan keamanan. Sejarah mencatat
setelah itu 500 orang diantara mereka ber-iktijal sebagian pulang ke Kufah dan
sebagian lagi pindah ke pihak Ali sehingga kelompok Khawarij tinggal 1.800
orang (Mufradi,1997:66).
Dengan begitu pecahlah perang Nahrawan, korban
berjatuhan dari pihak Ali karena keberanian kelompok Khawarij sangatlah
terkenal, walaupun demikian kemenangan berada dipihak Ali dan tokoh/pemuka
Khawarij, Mus’ar al Tamimi, Abdullah Ibn Wahab tewas dalam peperangan ini.
Golongan Khawarij ( orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib)
yang bermarkas di Nahrawain benar-benar merepotkan Ali sehingga memberikan
kesempatan pada pihak Mu’awayah untuk memperkuat dan memperluas kekuasannya
sampai mampu merebut Mesir. Akibatnya sangat fatal pada pihak Ali. Tentara Ali
semakin lemah, sementara kekuatan Mua’wiyah bertambah besar, keberhasilan
Mu’awiyah mengambil posisi Mesir berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan
suplai ekonomi dari pihak Ali.
H. Pengangkatan
Hasan Ibn Ali dan ‘Am al-jama’ah
Kepemimpinan
Ali bin Abi Thalib tidak pernah
mengalami keadaan stabil. Tak ubahnya beliau sebagai seorang yang menambal kain
usang, jangankan menjadi baik justru sebaliknya bertambah sobek dan rusak. Pada
saat Ali bin Abi Thalib bersiap-siap hendak mengirim bala tentaranya sekali
lagi untuk memerangi Mu’awiyah, muncullah suatu komplotan untuk mengakhiri
hidup Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ‘Amr bin al ‘Ash yang
dianggapnya penipu pada peristiwa takhkim (arbitrase).
Mereka adalah dari golongan Khawarij yang mengutus
Abdur Rahman bin Muljam ke Kufah untuk membunuh Khalifah Ali, Barak bin
Abdillah untuk membunuh Mu’awiyah di Syam dan ‘Amr bin Bakr al Tamimi untuk
membunuh ‘Amr bin al ‘Ash di Mesir (Syalaby, 1971:306). Akan tetapi ketiga
pembunuh itu hanyalah Ibnu Muljam yang berhasil menjalankan misinya yaitu
membunuh Khalifah Ali pada tanggal 20 Ramadlan 40 H(660 M).
Kemudian Ibnu
Muljam berhasil ditangkap dan akhirnya dibunuh juga. Dengan berpulangnya Ali
bin Abi Thalib ke rahmatullah kedudukannya
sebagai Khalifah digantikan dan dijabat oleh anaknya yaitu Hasan Ibnu Ali bin
Abi Thalib selama beberapa bulan. Namun karena Hasan ternyata lemah sementara
Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertambah kuat, maka Hasan bin Ali membuat perjanjian
damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu
kepemimpinan politik dibawah pimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Pada tahun 41 H
(661 M) merupakan tahun persatuan, yang dikenal dalam sejarah sebagai tahun
jama’ah (‘Am al Jama’ah). Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan
masa khulafa’ al rasyidin dan dimulailah kekuasaan Bani Umaiyyah dalam sejarah
politik Islam (Yatim, 1998:41). Hasan Ibn Ali adalah putra sulung Ali bin Abi
Thalib ra. Ia diangkat beramai-ramai sebagai Khalifah oleh orang-orang Kufah
setelah ayahnya wafat.
Orang-orang yang setia pada Ali turut berpartisipasi
dalam pemilihan Hasan dan juga menerimanya sebagai Khalifah yang baru. Tidak
ada bukti yang menyatakan pertentangan terhadap penobatan Hasan. Sedangkan
pemilihan Hasan sebagai Khalifah dilakukan secara spontan oleh sebagian besar
rakyat Irak. Adapun alasan penunjukan
Hasan sebagai Khalifah adalah: 1. Pada saat itu hampir semua sahabat istimewa
Rasulullah dikalangan kaum muhajirin telah meninggal, demikian juga anggota elit
terkemuka dalam masyarakat Islam telah wafat. 2. Rakyat Makkah dan Madinah
tidak akan menerima Mu’awiyah menjadi pemimpin mereka. Karena bapaknya, Abu
sofyan dianggap telah menentang Rasulullah semasa hidupnya (Jafri,
1995:184-185).
Dengan
demikian dapat dipastikan bahwa Hasan memperoleh dukungan yang besar dari
rakyatnya, karena pada waktu itu yang menjadi rival dari Hasan adalah Mu’awiyah
putra Abu sufyan dan Hindun yang mempunyai reputasi buruk dimata rakyat Irak.
Selanjutnya antara keduanya terjadi ketegangan yang mereka lakukan dengan cara
korespondensi. Salah satu surat Hasan
yang penting yang di tujukan kepada Mu’awiyah mengatakan bahwa: “dirinya lebih
berhak atas Khalifah ketimbang Mu’awiyah dimata Allah dan semua insan yang
mengetahui”. Dan jawaban Mu’awiyyah intinya adalah: Mu’awiyah tidak mengingkari
kedudukan tinggi Hasan dalam hubungannya dengan Rasulullah dan kedudukannnya
dalam Islam. Tetapi ia mengklaim bahwa
Hasan bukan kriteria pemimpin masyarakat. Bahwa persoalan kepemimpinan adalah
kepentingan negara dan masyarakat, sehingga perlu pemisahan yang jelas antara
prinsip politik dan religius. Itulah jawaban dari Mu’awiyah yang mengandung
gagasan pembentukan pemisahan antara kepemimpinan negara dan agama. Pimpinan
negara hanya mengurusi pemerintahan sedangkan pimpinan agama khusus mengurusi
masalah-masalah agama. Sehingga pada waktunya, masyarakat Muslim menempatkan
kepemimpinan religius dan totalitas masyarakat (jama’ah) sebagai penjaga agama
dan eksponen al-quran dan hadist, yang masih dalam otoritas negara sebagai pengikat
(Jafri, 1995:191-193).
Adapun
mengenai proses pengunduran diri Hasan sebagai Khalifah dan menyerahkannya pada
Mu’awiyah terdapat versi yang berbeda. Pengunduran diri Hasan menurut Thabari
dalam Jafri (1995:211-212) menyebutkan: 1. Bahwa Khalifah akan dikembalikan
kepada Hasan setelah Muawiyah mati. 2. Bahwa Hasan akan menerima lima juta
dirham tiap tahun dari kantong negara. 3. Bahwa Hasan akan menerima pendapatan
tahunan dari Darabjirk. 4. Bahwa rakyat akan dijamin untuk saling damai.
Kemudian
Muawiyah menyetujui syarat-syarat Hasan tersebut dan meminta Hasan
menuliskannya sendiri pada blanko kosong. Lalu Hasan menjawab: mengenai uang,
Mu’awiyah tak dapat hanya menyerahkan persoalan padaku, karena masalah itun
merupakan masalah Muslim (masyarakat). Sedangkan masalah Khalifah dia tak
tertarik lagi. Berikut ini syarat damai Hasan bin Ali kepada Muawiyah: 1. Bahwa
Mu’awiyah harus memerintah menurut kitab Allah, sunnah rasulullah dan perangai
khulafaur rasyidin. 2. Bahwa Muawiyah untuk selanjutnya akan menyerahkan
jabatan Khalifah kepada syura kaum muslimin. 3. Bahwa rakyat akan dibiarkan
damai di bumi Allah. 4. Bahwa para sahabat dan pengikut Ali akan di jamin aman
dan damai. Ini adalah persetujuan dan perjanjian sesuai yang di buat dengan
nama Allah. 5. Bahwa tidak ada gangguan secara rahasia atau terbuka akan
ditimpakan kepada Hasan bin Ali
atau saudaranya Husain ataupun terhadap seorang dari keluarga rasulullah.
Demikian
perjanjian penyerahan kekhalifahan dibuat. Namun pengunduran diri Hasan tidak
disenangi para pendukungnya yang telah mendukung dirinya dan ayahnya
sebelumnya, terlebih lagi karena kebencian mereka atas dominasi Syiria. Adapun
sebab umum pengunduran diri Hasan didorong karena sifat cinta damai, tidak
menyetujui politik dan perselisihan dan hasrat menghindari tumpah darah lebih
banyak.
I. Catatan
Simpul
Pembaiatan Ali sebagai Khalifah sebenarnya merupakan
simbol ketidak mapanan konsep Khalifah sebagai instrumen legitimasi
kepemimpinan Islam. Dalam arti lembaga musyawarah untuk memilih pemimpin yang
disebut lembaga kekhalifahan belum
diakui oleh para elite politik itu sendiri. Sehingga kekhalifahan Ali dapat diguncang oleh kelompok opposisi
yang berambisi menjadi Khalifah atau Amirul Mukminin.
Ketika Ali menjadi
Khalifah ada dua kelompok oposisi yang menentang kekhalifahan Ali, yaitu
kelompok oposisi yang dipimpin oleh Abdullah Ibnu Zubair ( anak angkat Siti
Aisyah ) dan kelompok oposisi yang dipimpin oleh gubenur Syria, yaitu Muawiyah
Ibnu Sufyan. Kelompok oposisi pimpinan Abdullah Ibnu Zubair melahirkan perang
yang populer dengan sebutan perang Jamal, karena dalam perang tersebut
terlibat Siti Aisyah dengan mengendarai
unta yang berdiri dipihak oposisi.
Mengapa Aisyah dalam perang tersebut berada
dipihak oposisi. Hal tersebut semata–mata karena kuatnya exploitasi Abdullah
Ibnu Zubair atas ambisinya untuk menjadi Khalifah setelah Ali terguling. Yang
secara kebetulan Aisyah pada saat itu sedang menaruh kecurigaan pada kelompok
Ali tentang siapa yang membunuh Khalifah Ustman.
Kondisi yang demikian inilah
dimanfaatkan oleh Abdullah bin Zubair. Kelompok oposisi pimpinan Mu’awiyah,
gubenur Syiria melahirkan peperangan yang terkenal dengan sebutan Perang
Shiffin. Perang tersebut diakhiri dengan genjatan senjata, mengangkat Mushaf
Al–Qur’an. Peperangan ini terjadi tidak disebabkan oleh interest politik
pribadi Mu’awiyah, tetapi juga disebabkan oleh konflik etnis yang bersifat
laten zaman sebelum Islam, yaitu antara Bani Ummayyah dan Bani Hasyim.
Sebenarnya Ali telah berusaha menghindari terjadinya peperangan. Akan tetapi
pendukung Ali sendiri tanpa instruksi beliau, memulainya sehingga pecahlah
perang yang sangat merugikan integrasi Islam itu. Kekalahan Ali dalam diplomasi
perang tersebut, menyebabkan Dunia Islam diperintah berdasarkan sistem
monarchi, yaitu suksesi kepemimpinan yang berdasarkan turun- temurun. Disamping
itu, kekalahan Ali dalam perangan tersebut, menyebabkan lahirnya golongan
Syi’ah, dengan doktrin, bahwa hanya Ali dan keturunannyalah yang berhak menjadi
Khalifah.
0 komentar: