Pengertian Hadist Dan Sejarahnya
PENGERTIAN HADITS, ULUMUL HADITS DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA
MAKALAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen pengampu : Hj. Istianah, MA
B-ELK Semester Genap
Disusun Oleh Kelompok 1:
1.
M. Jamaluddin (1510120060)
2.
Muhammad Annas (1510120061)
3.
Diah Susanti (1510120059)
4.
Niswati (1510120071)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM (PAI)
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Hadits merupakan sumber kedua dalam islam
setelah Al-qur’an dan selalu menempati posisi yang sangat penting dalam kajian
islam. Mengingat penulisan hadits dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad
SAW wafat, maka banyak terjadi silang pendapat terhadap keabsahan sebuah
hadits. Adanya hadits-hadits palsu mendorong diadakannya kondifikasi sebagai
upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan. Olehkarena itu kita disini
akan membahas pengertian hadits dan bagaimana berkembangnya hadist, agar kita
tidak tertipu oleh hadits palsu.
Kita ketahui bahwasanya
hadist merupakan sumber sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an.
Keberadaan hadist disamping telah mewarnai masyarakat dalam kehidupan juga
telah menjadi bahasan kajian yang menarik. Hadist mengandung makna dan ajaran
serta memperjelas kandungan al-Qur’an dan lain sebagainya. Para peneliti dan
ahli hadist telah berhasil mendokumentasikan hadist baik kepada kalangan
masyarakat, akademis, penelitian hadist tersebut telah membuka peluang untuk
mewujudkannya suatu kajian disiplin Islam, yaitu bidang study Ulumul Hadist.
Maka dalam makalah ini, penulis menyajikan tentang “PENGERTIAN HADIST, ULUMUL
HADIST DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA”, semoga makalah sederhana ini dapat
bermanfaat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian hadits?
2.
Apa pengertian ulumul hadits?
3.
Bagaimana sejarah perkembangan hadits?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui apa itu pengertian hadits
2.
Untuk mengetahui apa itu pengertian ulumul hadits
3.
Untuk mengetahui sejarah perkembangan hadist.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hadits
Menurut bahasa hadits atau al-hadits berarti:
a. Al-jadid yang artinya yang baru, lawan dari al-qodim yang artinya lama
b. Al-qariib yang artinya yang dekat, yang belum lama lagi terjadi, seperti
kata-kata
حديث العهد فى الاسلام “dia
orang yang baru memeluk agama islam”
c. Al-khabar yang berarti berita/khabar, seperti yang dikemukakan oleh salah
satu ayat al-qur’an, seperti QS. Al-Thur (52): 34
فلياء توا بحديث مثله ان كانوا صدقين (الطور:
34)
"maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang
sepertinya (al-qur’an), jika mereka orang-orang yang benar”.[1]
Dikemukakan oleh hadits:
يوشك احدكم ان يقول هذا كتاب الله ما وجدنا فيه
من حلال استحللناه وما وجدنا فيه من حرام حرمناه الا من باغه عني حديث فكذب به فقد
كذب به ثلاثة, الله ورسوله والذي حدث به
"hampir-hampir ada seorang diantara kamu yang akan
mengatakan “inilah kitab Allah” apa yang halal di dalamnya kamihalalkan dan apa
yang haram di dalamnya kami haramkan. Ketauhilah barang siapa yang sampai
kepadanya suatu hadits dariku kemudian ia mendustakannya, berarti ia telah
mendustakan tiga pihak, yakni Allah, Rasul, dan orang yang menyampaikan hadits
tersebut”.[2]
Menurut istilah terdapat beberapa pendapat tentang pengertian hadits,
yaitu:
1) Ulama hadits menyatakan bahwa
“hadits adalah segala ucapan, perbuatan, taqrir (pengakuan), dan keadaan nabi”.
2) Menurut ulama ushul, bahwa hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan
taqrir nabi yang bersangkutan dengan hukum.
3) Sebagian ulama antara lain at-thiby
menyatakan bahwa “hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir nabi,
para sahabatnya, dan para tabi’in”.
4) Abdul Wahab Ibnu Subky dalam “Mutnul Jam’il Jamawi” menyatakan bahwa
“hadits adalah segala perkataan dan perbuatan nabi Muhammad saw”.[3]
B.
Pengertian Ulumul Hadits
Ulumul
Hadis adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya:
‘ulumul al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan
Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi
berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti
“segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan,
taqir, atau sifat.” Dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung
pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”.
Pada
mulanya, Ilmu hadist memang merupakan beberapa ilmu yang masing-masing berdiri
sendiri, yang berbicara tentang Hadist Nabi Saw dan para perawinya, seperti Ilmu al-Hadist al-Shahih, Ilmu al-Mursal,
Ilmu al-Asma wa al-kuna, dan lain-lain. Penulisan ilmu-ilmu hadist secara
parsial dilakukan, khususnya, oleh para ulama abad ke-3 H.
Ilmu-ilmu
yang terpisah dan bersifat persial tersebut disebut dengan Ulumul Hadist,
karena masing-masing membicarakan tentang Hadist dan para perawinya. Akan
tetapi, pada masa berikutnya, ilmu-ilmu yang terpisah itu mulai digabungkan dan
dijadikan satu, serta selanjutnya, dipandang sebagai satu disiplin ilmu yang
berdiri sendiri. Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan
tersebut tetap dipergunakan nama Ulumul Hadist, sebagaimana halnya sebelum
disatukan. Jadi, penggunaan lafaz jamak Ulumul Hadist, setelah mengandung makna
mufrad atau tunggal, yaitu ilmu hadist, karena telah terjadi perubahan makna
lafaz tersebut dari maknanya yang pertama – beberapa ilmu yang terpisah –
menjadi nama dari suatu disiplin ilmu yang khusus, yang nama lainnya adalah Mushthalah al-Hadist. [4]
Ulama mutaqaddimin menyatakan bahwa “ilmu hadist adalah ilmu
pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai
kepada Rasul SAW dari segi hal ikhwal paraperawinya, kedabitan, keadilan, dan
dari bersambung tidaknya sanad, dan sebagainya”[5].
C.
Sejarah
Perkembangan Hadits
Hadist sebagai suatu
informasi, memiliki metodologi untuk menentukan keotentikan periwayatannya yang
dikenal dengan Ulum al- Hadist, yang merupakan bentuk manajemen infomasi. Hanya
saja, pada masa Rasulullah SAW sampai sebelum pembukuan Ulumul Al-hadist
istilah Ulum al-hadist, jelas belum ada. Akan tetapi prinsip-prinsip yang telah
berlaku pada masa itu sebagai acuan untuk menyikapi suatu informasi yang telah
ada.[6]
1. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW
Ada beberapa cara Rasul menyampaikan hadits
kepada para sahabat, yaitu: Pertama, melalui para jama’ah pada
pusat pembinaannya yang disebut majlis al-‘illmi. Melalui majlis ini
para sahabatnya mendapat banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka
berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri agar dapat mengikuti kegiatan dan
ajaran yang diberikan Rasulullah. Kedua, melalui ceramah atau
pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh makkah, di
masjid, pasar, rumahnya sendiri, ketika dalam perjalanan (safar), dan ketika
muqim (berada di rumah). Melalui tempat-tempat tersebut Rasul menyampaikannya melalui
sabdanya yang di dengar oleh para sahabatnya (musyafahah), dan melalui
perbuatan serta taqrirnya yang di saksikan oleh sahabatnya (musyahadah).
2. Hadits Pada Masa Sahabat
Perkembangan hadits pada masa khulafa’
Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, Ali) masih terfokus pada penyebaran
Al-qur’an, maka periwayataan hadits belum begitu berkembang dan berusaha
membatasinya, masa ini sering dianggap oleh para ulama sebagai masa yang
menunjukkan adanya pembatasan periwayataan (al-tasabbut wa al-iqlal min
al-riwayah).
3. Hadits Pada Masa Tabi’in
Periwayatan pada masa ini tidak jauh beda pada
masa sahabat, mereka bagaimanapun mengikuti jejak para sahabat sebagai guru.
Hanya persoalan yang mereka hadapi cukup berbeda. Pada masa ini al-qur’an sudah
dikumpulkan dalam bentuk mushaf. Di pihak lain, usaha yang dirintis para
sahabat khususnya masa kholifah usman, para sahabat ahli hadits menyebar ke
beberapa wilayah kekuasaan islam. Kepada merekalah para tabi’in mempelajari
hadits.
Sejalan dengan perluasaan wilayah kekuasaan
islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah terus meningkat, sehingga
masaini dikenal dengan istilah masa penyebarannya periwayatan hadits (intisyar
al-riwayah ila al-amshar).
4. Masa Tadwin Hadits
Secara bahasa tadwin adalah kumpulan shahifah
(mujtama’ al-shuhuf). Secara luas tadwin adalah al-jam’u (mengumpulkan).
Menurut al-zahrani tadwin adalah
الصحف تقيد المتفرق
المشتت وجمعه فى ديوان او كتاب جمع فيه
“mengikat yang berserak-serakan kemudian
mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari
lembaran-lembaran”
Tadwin hadits pada periode ini adalah pembukuan secara
resmi yang berdasarkan perintah kepala negara, dengan melibatkan beberapa
personil yang ahli di bidangnya. Bukan yang dilakukan secara perseorangan atau
untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.
5. Masa Seleksi dan Penyempurnaan serta Pengembangan Sistem Penyusunan Kitab
Hadits
a. Masa penyaringan hadits
Pada masa periode ini, para ulama berhasil
memisahkan hadits-hadits yang dha’if (lemah) dari yang shahih dan
hadits-hadits yang mauquf (priwayatannya berhenti pada sahabat) dan yang
maqthu’ (terputus) dari yang marfu’ (sanadnya sampai nabi SAW).
Kitab-kitab tersebut dikenal dengan kutub
al-sittah (kitab induk yang enam) yaitu:
1) Al-jami’ al-shahih susunan Imam Al-Bukhari
2) Al-jami’ Al-sahih susunan Imam Muslim
3) Al-sunan susunan Abu Daud
4) Al-sunan susunan Al-tirmidzi
5) Al-sunan susunan al-nasa’i
6) Al-sunan susunan ibnu majah
b. Masa perkembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadits
Masa perkembangan hadits yang terahir ini
terbentang cukup panjang, dari mulai abad keempat hijriyah sampai abad
kontemporer. Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah
perkembangan islam, yakni fase pertengahan dan fase modern.[7]
Pada abad-abad
berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu hadist ini, yang sampai
saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan ilmu hadist,
yang di antaranya adalah: ‘Ulum al-Hadist
oleh Abu ‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan Ibn
al-Shalah (w.643 H/ 1245 M), Tadrib
al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawaei oleh Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Abu
Bakar al-Suyuthi (w.911 H/ 1505 M).[8]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Menurut istilah terdapat beberapa pendapat
tentang pengertian hadits, yaitu:
a. Ulama hadits menyatakan bahwa “hadits adalah segala ucapan, perbuatan,
taqrir (pengakuan), dan keadaan nabi”.
b. Menurut ulama ushul, bahwa hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan
taqrir nabi yang bersangkutan dengan hukum.
c. Sebagian ulama antara lain at-thiby
menyatakan bahwa “hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir nabi,
para sahabatnya, dan para tabi’in”.
d. Abdul Wahab Ibnu Subky dalam “Mutnul Jam’il Jamawi” menyatakan bahwa
“hadits adalah segala perkataan dan perbuatan nabi Muhammad saw”.[9]
2.
Ulumul Hadist
adalah istilah ilmu hadis di dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul
al-hadist). ‘ulum al-hadist terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘ulum dan
Al-hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi
berarti “ilmu-ilmu”; sedangkan al-hadist di kalangan Ulama Hadis berarti
“segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan,
taqir, atau sifat.” Dengan demikian, gabungan kata ‘ulumul-hadist mengandung
pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan Hadis nabi SAW”.
3.
Sejarah
perkembangan hadist
a. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW
Cara Rasul menyampaikan hadits kepada para
sahabat, yaitu: Pertama, melalui para jama’ah pada pusat
pembinaannya yang disebut majlis al-‘illmi. Kedua, melalui
ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh
makkah, di masjid, pasar, rumahnya sendiri, ketika dalam perjalanan (safar),
dan ketika muqim (berada di rumah).
b. Hadits Pada Masa Sahabat
Perkembangan hadits pada masa khulafa’ Al-Rasyidin (Abu
Bakar, Umar, Usman, Ali) masih terfokus pada penyebaran Al-qur’an, maka
periwayataan hadits belum begitu berkembang dan berusaha membatasinya, masa ini
sering dianggap oleh para ulama sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan
periwayataan (al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).
c. Hadits Pada Masa Tabi’in
Pada masa ini al-qur’an sudah dikumpulkan dalam bentuk
mushaf. Di pihak lain, usaha yang dirintis para sahabat khususnya masa kholifah
usman, para sahabat ahli hadits menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam.
Kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadits.
d. Masa Tadwin Hadits
Menurut al-zahrani tadwin adalah
الصحف تقيد المتفرق
المشتت وجمعه فى ديوان او كتاب جمع فيه
“mengikat yang berserak-serakan kemudian
mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari
lembaran-lembaran”
e. Masa Seleksi dan Penyempurnaan serta Pengembangan Sistem Penyusunan Kitab
Hadits
1. Masa penyaringan hadits
2. Masa perkembangan dan penyempurnaan sistem penyusunan kitab-kitab hadits
DAFTAR PUSTAKA
Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta:Rajawali
Pers, 2011
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits,
Bandung:Angkasa, 1985
Ahmad Izzan, Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur
Ramly Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadist, Bandung:Cita Pustaka
Media, 2005
Muhammad
Dede Rudliyana, Perkembangan pemikiran Ulumul Hadist dari klasik sampai modern,
Bandung:Pustaka Setia, 2004
[3] M. Syuhudi Ismail, op. Cit., hal 2
[4]
Ahmad
Izzan, Ulumul
Hadist. Bandung:Tafakur.
Hal 94
[6] Ramly Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadist, Bandung:Cita Pustaka
Media, 2005. Hlm 52
[7]
Munzier Suparta, op.
Cit., hal 69-94
[8]
Muhammad Dede Rudliyana, Perkembangan
pemikiran Ulumul Hadist dari klasik sampai
modern, Bandung:Pustaka Setia, 2004. hlm 109
[9] M. Syuhudi Ismail, op. Cit., hal 2
0 komentar: