5 Periode Pemerintahan Abbasiyyah
LIMA PERIODE PEMERINTAHAN BANI ABBASIYAH
1.
Periode pertama (750–847 M)
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa
keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan
pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat,
yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah
Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M). Pada mulanya ibu kota negara
adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga
stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara
ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia,
Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti bani
Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.
Di ibu kota yang baru ini
al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat
sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir
sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian
fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50
tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran).
Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan
oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya,
Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin
Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut
persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia
itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur
pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara,
sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan
bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga
kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah
ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk
mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun
seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat
berjalan lancar.
Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku
Gubernur setempat kepada Khalifah. Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan
kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat,
dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai
dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium
membayar upeti tahunan.
Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep
khilafah dalam pandangannya ——dan berlanjut ke generasi sesudahnya—— merupakan
mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi
sebagaimana pada masa alKhulafa’ al-Rasyidin.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun
alRasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak
dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga
pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi
terwujud pada zaman Khalifah ini.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan,
ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman
keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara
terkuat dan tak tertandingi (Yatim,2003:52-53). Dengan demikian telah terlihat
bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban
dan kebudayaan Islam dari pada perluasan wilayah yang memang sudah luas.
Orientasi kepada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur
pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat
cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing
digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang
terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun
inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar
kepada orangorang Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar
belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa
al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal.
Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan
sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti.
Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan
demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat. Dalam
periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik
dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti
gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan lain-lain
semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai
prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti
pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para
Khalifah sendiri berada dibawah pengaruh kekuasaan yang lain.
2. Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang
dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa
untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini
ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda
pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang
kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah
al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan.
Usaha mereka berhasil,
sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan
Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini
merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih
dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun. Khalifah Mutawakkil (847-861 M)
yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada
masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat.
Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat
Khalifah. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada ditangan Bani Abbas,
meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk
melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua
belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan
wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan
paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan
sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan
diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan
masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun faktor-faktor penting
yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut:
a.
Luasnya
wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara
komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan
para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b.
Dengan
profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.
c.
Kesulitan
keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah
merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani
Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani
Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang
diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga
bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk
wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah AlAhwaz, Wasit dan Baghdad.
Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat
pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih
yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih. Meskipun demikian, dalam bidang ilmu
pengetahuan Daulah Abbasiyah terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada
masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina,
Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan asSafa. Bidang ekonomi,
pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti
dengan pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa di
Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah,
pemberontakan tentara dan sebagainya.
4. Periode keempat (1055-1199 M)
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah
Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk
melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik,
paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa
lama dikuasai oleh orangorang Syi’ah. Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu
pengetahuan juga berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri
pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M)
dan madrasah Hanafiyah di Baghdad.
Cabangcabang Madrasah Nizamiyah didirikan
hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan
tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam
berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan
berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir
dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam
bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu
perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota
Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan
seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa
pusat kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri.
Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka
sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali,
terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di
tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.
5. Periode kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah
Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah
Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun
banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun
yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan
berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan
Khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya.
Pada masa inilah
tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur
luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan
tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa
pertengahan. Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa
kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab
kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat
pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat,
benih-benih itu tidak sempat berkembang.
Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah
kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika
Khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
0 komentar: