Wakaf Dan Shodaqoh



WAKAF DAN SHODAQOH

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: FIKIH MUAMALAH
Dosen Pengampu : Nurul Hidayati, M.S.I.
B-ELK Semester Gasal






Disusun oleh:
1.      Ahmad Fauzan                        (1510120073)
2.      Norma Setiyowati                   (1510120064)
3.      Echtavia Maula Syifa              (1510120066)
4.      Khoerul Muarif                       (1510120051)
 

SEKOLAH TINNGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Sumber utama institusi wakaf adalah Alquran. Walaupun dalam Alquran, kata wakaf yang bermakna memberikan harta tidak ditemukan sebagaimana zakat, tetapi merupakan interprestasi ulama mujtahid terhadap ayat-ayat yang membicarakan pendermaan harta berupa sedekah dan amal jariah.
Diantara ayat-ayat tersebut; QS. Ali Imran (3) : 92 dan QS. Al-hajj (22) : 77, para ulama memahami ayat-ayat tersebut sebagai ibadah wakaf. Diantara mufassir itu ditemukan dalam Tafsir Al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha. Kendatipun di dalam Alquran terdapat kata-kata wakaf ditemui sebanyak empat kali; yaitu pada QS. Al-an’am (6) : 27 dan 30, QS. Saba’ (34) : 31, QS. Al-saffat (37) : 24, tetapi wakaf dalam ayat-ayat tersebut bukan bermakna wakaf sebagai pemberian. Tiga ayat pertama berarti mengedepakan sedangkan ayat keempat bermakna berhenti atau menahan. Konteks pembicaraan dalam ayat ini adalah proses ahli neraka yang akan dimasukkan kedalam neraka. Meski demikian, Alquran dapat dikatakan sebagai sumber utama perwakafan. Wakaf salah satu bagian yang sangat penting dari hukum Islam. Ia mempunyai jalinan hubungan antara kehidupan spritual dengan bidang sosial ekonomi masyarakat muslim. Wakaf  selain berdimensi ubudiyah Ilahiyah, ia juga berfungsi sosial kemasyarakatan. Ibadah wakaf merupakan manisfestasi dari rasa keimanan seseorang yang  mantap dan rasa solidaritad yang tinggi terhadap sesama umat manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan “hablumminallah, wa hablum minannas”, hubungan vertikal kepada Allah dan hubungan horizontal kepada sesama manusia. Selanjutnya akan  dibahas lebih dalam tentang wakaf pada makalah ini.


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka yang menjadi persoalan dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a.    Apa Pengertian Wakaf
b.    Dasar Hukum Wakaf ?
c.    Bagaimana Sejarah Wakaf ?
d.   Apa saja Macam-macam Wakaf ?
e.    Apa Syarat dan Rukun Wakaf ?
f.     Bagaimana Hikmah dan Manfaat Wakaf dalam Kehidupan ?
g.    Apa pengertian shodaqoh ?
h.    Apa hikmah Shodaqoh ?


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wakaf dan Dasar Hukum Wakaf
  Menurut bahasa wakaf berasal dari  waqf   yang berarti radiah  (terkembalikan) ,  altahbis (tertahan) ,  altasbil  (tertawa) dan  al-man’u (mencegah) .[1] Perkataan wakaf yang menjadi bahasa Indonesia, berasal dari bahsa Arab dalam bentuk masdar atau kata yang dijadikan kata kerja atau fi’il waqafa. Kata kerja atau fi’il waqafa ini adakalanya memerlukan objek (muta’addi). Dalam perpustakaan sering ditemui sinonim waqf ialah habs Waqafa dan habasa dalam bentuk kata kerja yang bermakna menghentikan dan menahan atau berhenti di tempat.[2]
Sedangkan menurut istilah syara, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja. Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual atau dihibahkan.
Pengertian wakaf menurut mazhab Maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat.
Pengertian wakaf menurut Peraturan Pemerintah / PP No.41 tahun 2004 adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, misalnya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah r.a. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda:
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya.[3]
Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.”(HR Bukhari dan Muslim).

B.     Dasar Hukum Wakaf
Dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari :
1.         Ayat Al-Quran, antara lain :
“Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan”(QS: al-hajj: 77)
 Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuiny” (QS: al-imran: 92).
2.         Sunnah Rasulullah SAW.
Yang artinya : Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda“Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya” (HR. Muslim)
Dalam sebuah hadits lain disebutkan, yang artinya: Dari Ibnu Umar, ia berkata: “Umar mengatakan kepada Nabi SAW Saya mempunyai seratus dirham saham di Khabair. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi SAW mengatakan kepada Umar : Tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
3.         Wakaf menurut Interprestasi Ulama
Sumber hukum perwakafan selain Al-quran dan al-Hadits, maka Ijtihad (Interprestasi Mujtahid) merupakan sumber ketiga. Peranan ulama mujtahid akan mampu memperjelas hukum sekiranya dalam dua sumber utama kurang jelas atau membuthkan pemikiran. Dan diantara para Mujtahid itu adalah Abu Hanifah, Malik, As-Syafi’I, Ahmad bin Hambal, Daud Dhahiri, Muhammad dan Yusuf Hanafi. Dari hasil usaha pemikiran mereka, lalu dipakai sebagai acuan dalam perwakafan.
4.         Perundang-undangan Wakaf
Di Indonesia, selain bersumber kepada agama, juga bersumber pada hukum positif, yang merupakan hasil pemikiran pakar hukum di Indonesia. Bila diinventarisir samapi sekarang terdapat berbagai perangkat peraturan yang mengatur masalah perwakafan. Di antaranya ada undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

C.    Sejarah Wakaf
Mengenai sejarah munculnya istilah wakaf, memang sulit menetapkan kapan munculnya istilah tersebut, karena dalam buku-buku fiqih tidak ditemui sumber yang menyebutkan secara tegas. Tetapi secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa sebelum Islam lahir, belum dikenal istilah wakaf. Begitu juga halnya bahwa orang-orang jahiliyah belum pernah mengenal dan mengetahui tentang wakaf.
Sejalan dengan itu, Imam Syafi’I juga berpendapat bahwa pada zaman Jahiliyah tidak ditemukan suatu indikasi yang menunjukkan bahwa mereka pernah melakukannya. Mereka tidak pernah mewakafkan rumahnya atau pun tanahnya yang saya ketahui, kata Imam Syafi’I, “Sesungguhnya wakaf itu (habs) itu khusus milik orang Islam.”
Pendapat yang senada juga datang dari An-Nawawi, “wakaf itu khusus ada bagi orang-orang Muslim”. Ini artinya pada zaman sebelum Islam datang wakaf belum dikenal. Sayyid Sabiq, lebih tegas menyatakan munculnya istilah wakaf setelah Islam datang dan berkembang. Kemudian semakin populer setelah Nabi Muhammad SAW secara langsung mempraktekannya.
Mayoritas Ulama menyatakan, asal mula di syariatkannya ibadah wakaf dalam Islam pada masa Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah diperkebunan Khaibar, sebagaimana tergambar dalam hadits. Kepada Rasulullah, Umar meminta pendapat tentang hartanya itu. Saat itu Rasul menasehatkan, jika Umar suka lebih baik tanah itu diwakafkan saja dan hasilnya disedekahkan kepada orang yang memebutuhkan. Tanah tersebut langsung diwakafkan Umar serta hasilnya disedekahkan kepada fakir miskin, untuk memerdekakan budak dan kepentingan lainnya di jalan Allah, sedangkan bagi nadzir (orang yang mengurus wakaf itu) diberi upah sekedarnya.   

D.    Macam-Macam Wakaf
Bila ditinjau dari segi peruntukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat dibagi menjadi dua macam :
1.      Wakaf Ahli (dzurri)
Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Dalam pengertian lain wakaf dzurri adalah wakaf yang di khususkan oleh yang berwakaf untuk kerabatnya, seperti anak, cucu, saudara, atau ibu bapaknya.[4]
Wakaf untuk keluarga ini secara hukum Islam dibenarkan berdasarkan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. Di ujung hadits dinyatakan sebagai berikut, yang artinya:
“Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya berpendapat sebaiknya kamu memberikannya kepada keluarga terderkat. Maka Abu Thalhah membagikannya untuk para keluarga dan anak-anak pamannya”.
Dalam satu segi, wakaf ahli (dzurri) ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat dua kebaikan, yaitu dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari silaturrahmi terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf.
2.      Wakaf Khairi
Yaitu wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama / keagamaan atau kemasyarakatan / kebajikan umum. Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagianya. Wakaf ini ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaanya yang mencakup semua aspek kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya.
Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Dam jenis wakaf inilah sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum. Dalam jenis wakaf ini juga, si wakif (orang yang mewakafkan harta) dapat mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu, seperti wakaf mesjid maka si wakif boleh saja di sana, atau mewakafkan sumur, maka si wakif boleh mengambil air dari sumur tersebut sebagaimana pernah dilakukan Nabi SAW dan sahabat Ustman bin Affan.
Secara substabsinya, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi dari cara membelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah SWT. Dengan demikian, benda wakaf tersebut benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum), tidak hanya untuk keluarga atau kerabat yang terbatas.    

E.     Syarat dan Rukun Wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya apabila terpenuhi rukun dan syaratnya.
a.      Rukun Wakaf
1)      Orang yang berwakaf (wakif), syaratnya;
a)      Mempunyai kecakapan untuk melakukan tabarru, yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan materi.
b)      baligh, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
2)      Sesuatu (harta) yang diwakafkan (mauquf bih), syaratnya;
a.       Harta yang bernilai dan tahan lama.
b.      Milik sendiri walaupun hanya sebagian yang diwakafkan atau musya (bercampur dan tidak dapat dipindahkan dengan bagian yang lain)
3)      Mauquf’Alaih atau Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu), yakni orang yang memilki sesuatu, anak dalam kandungan tidak syah.
4)      Akad / Shighat (pernyataan atau ikrar wakif/peruntukan wakaf), misalnya: “Saya wakafkan ini kepada masjid, sekolah orang yang tidak mampu dan sebagainya” tidak perlu qabul (jawab) kecuali yang bersifat pribadi (bukan bersifat umum)


b.      Syarat Wakaf
Syarat-syarat wakaf secara umum sebagai berikut:
1)   Wakaf tidak dibatasi dengan waktu tertentu sebab perbutan wakaf berlaku untuk selamanya, tidak waktu untuk waktu tertentu. Bila seseorang mewakafkan kebun untuk jangka waktu 10 tahun misalnya, maka wakaf tersebut dipandang batal.
2)   Tujuan wakaf harus jelas, seperti mewakafkan sebidang tanah untuk mesjid, mushalla, pesantren, pekuburan (makam) dan lainnya. Namun, apabila seseorang mewakafkan sesuatu kepada hukum tanpa menyebut tujuannya, hal itu dipandang sah sebab penggunaan benda-benda wakaf tersebut menjadi wewenang lembaga hukum yang menerima harta-harta wakaf tersebut.   
3)   wakaf harus segera dilaksanakan setelah dinyatakan oleh yang mewakafkan, tanpa digantungkan pada peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik bagi yang mewakafkan. Bila wakaf digantungkan dengan kematian yang mewakafkan, ini bertalian dengan wasiat dan tidaklah bertalian dengan wakaf. Dalam pelaksanaan seperti ini, berlakulah ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan wasiat.
4)   Wakaf merrupakan perkara yang wajib dilaksanakan tanpa adanya hak khiyar (membatalkan atau meneruskan wakaf yang telah diucapkan) sebab pernyataan wakaf berlaku seketika dan untuk selamanay.
F.     Hikmah dan Manfaat Wakaf dalam Kehidupan
Manfaat wakaf dalam kehidupan dapat dilihat dari segi hikmahnya. Setiap peraturan yang disyariatkan Allah Swt kepada makhluknya baik berupa perintah atau larangan pasti mempunyai hikmah dan ada manfaatnya bagi kehidupan manusia, khususnya bagi umat Islam. Manfaat itu bisa dirasakan ketika hidup sekarang maupun setelah di akhirat nantinya yaitu berupa pahala (didasarkan pada janji Allah).
Ibadah wakaf yang tergolong pada perbuatan sunnat ini banyak sekali hikmahnya yang terkandung di dalam wakaf ini.
Pertama, harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin kelangsungannya. Tidak perlu khawatir barangnya hilang atau piindah tangan, karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh ditassarrufkan, apakah itu dalam bentuk menjual, dihibahkan, atau diwariskan.
Kedua, pahala dan keuntungan bagi si wakif akan tetap mengalir walaupun suatu ketika ia telah meninggal dunia, selagi benda wakaf itu masih ada dan dapat dimanfaatkan.
Ketiga, wakaf merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan agama dan umat. Antara lain untuk pembinaan mental spritual dana pembangunan dari segi fisik.
Wakaf disamping mempunyai nilai ibadah, sebagai tanda syukur seorang hamba atas nikmat yang telah di anugerahkan Allah Swt, juga berfungsi sosial. Dengan wakaf, di samping dana-dana sosial lainnya, kepincangan di antara kelompok yang berbada dan yang tidak berada dapat dipertipis atau jurang antara si miskin dan si kaya dapat di prtipis dan di hilangkan terutama dalam bentuk wakaf yang dikhususkan kepada kelompok yang tidak mampu. Dengan wakaf itu juga, penyediaan sarana dan prasarana ibadah, pendidikan, seperti mesjid, mushalla dan gedung-gedung pendidikan akan lebih memugkinkan dengan menggunakan potensi wakaf yang ada.
Hikmah wakaf kata Ahmad Jarjawi, dapat membantu pihak yang miskin, baik miskin dalam artian ekonomi maupun tenaga. Silain pihak juga bertujuan unutk meningkatkan pembangunan keagamaan. Di samping itu hikmah lain adalah dapat membentuk jiwa sosial di tengah-tengah masyarakat. Dapat juga mendidik manusia agar mempunyai tenggang rasa terhadap sesamanya.
Dampak positif langsung dari ibadah wakaf itu akan membentuk tali hubungan yang errat antara si wakif dan maukuf ‘alaih atau anatara si kaya dan si miskin sehingga terciptalah rasa kesetiakawanan sosial.
Melalui ibadah wakaf dua belah pihak memperoleh manfaatnya, baik bagi si wakif (orang yang berwakaf) maupun bagi si maukuf’alaih (orang yang menerima wakaf). Bagi si wakif dari segi agama mendapat pahala sedangkan maukuf’alaih terlepas dari kesulitan. Bahkan mampu menjadi sumber dana umat Islam untuk mengembangkan dakwah Islamiyah, tentu dengan mendayagunakan harta wakaf secara optimal.
Dangan demikian dapat diketahui bila wakaf itu dijalankan atau dilakukan menurut semestinya akan meningkatkan rasa sosial di tengah-tengah masyarakat sehingga terbentuklah atau terjalinlah hubungan yang harmonis antara si kaya dengan si miskin. Begitu juga sebaliknya dengan si miskin akan timbul rasa syukur kepada Allah Swt yang telah memberikan rezeki kepadanya, disamping itu akan timbul rasa hormat kepada si kaya yang telah menolongnya.
Akhirnya timbul sinar keimanan bagi setiap individu dan terhindarlah dari segala perpecahan dan perselisihan di antara anggota masyarakat. Memng inilah yang di harapkan dan menjadi sasaran dari ajaran agama Islam.
Maka dapat dirumuskan secara sederhan beberapa hal keutamaan wakaf, sebagai berikut :
1.      Melalui wakaf seseorang dapat menumbuhkan sifat zuhud dan melatih seseorang untuk saling membantu atas kepentingan orang lain.
2.      Dapat menghidupkan lembaga-lembaga sosial keagamaan maupun    kemasyarakatan untuk mengembangkan potensi umat.
3.      Menanamkan kesadaran bahwa di dalam setiap harta benda itu meski telah menjadi milik seseorang yang secara sah, tetapi masih ada di dalamnya harta agama yang mesti diserahakan sebagaimana halnya zakat.
4.      Menyadarkan seseorang bahwa kehidupan di akhirat memerlukan persiapan yang cukup. Maka persiapan itu di antaranya wakaf, sebagai tabung akhirat.
5.      Keutamaan lain, dapat penopng dan penggerak kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam, baik aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan lainnya.    

G.    Sedekah
Sedekah secara bahasa berasal dari huruf shad, dal, dan qaf, serta dari unsur ash-shidq yang berarti benar atau jujur. Sedekah menunjukkan kebenaran penghambaan seseorang kepada Allah swt. Secara etimologi, sedekah ialah kata benda yang dipakai untuk suatu hal yang diberikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian sedekah adalah pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut.

H.    Hukum Sedekah
Hukum  sedekah itu disunnahkan dan dianjurkan untuk dikeluarkan kapan saja.[5] Dalam al-Qur’an, Allah menyebutkan banyak ayat yang menganjurkan untuk bersedekah, diantaranya Qur’an surat Yusuf: 88, Artinya: “Dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS. Yusuf:88).[6]
Dan juga sesuai dengan sabda Rasul: “Sesungguhnya sedekah memadamkan amarah Tuhan dan menolak kematian yang buruk.” (HR. At-Tirmidzi, dan Ia mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan).

I.       Hikmah Sedekah
a.       Sedekah memberikan pelajaran kepada manusia bahwa sebaik-baik manusia adalah yang dapat memberikan manfaat bagi sesamanya. Sedekah mengingatkan kita akan klemahan manusia. Manusia tidak dapat memungkiri kelemahannya untuk tidak membutuhkan orang lain.
b.      Sedekah merupakan wujud keimanan kepada Allah swt. keimanan bukan merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya saja, melainkan juga bentuk kesadaran dan sikap manusia sebagai makhluk ciptaan Allah swt. yang hidup bermasyarakat. Bentuk ketakwaan manusia kepada Allah swt. dapat dilihat ketika berhubungan dengan sesamanya. Sedekah merupakan bentuk ibadah kepada Allah swt. dalam dimensi sosial kemanusiaan.
c.       Sedekah dapat menambah hubungan kekeluargaan diantara sesama manusia.[7]
















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Wakaf hukumnya sunah dengan catatan pemberian itu ikhlas karena ingin mendapat ridho Allah, bukan dengan niat ingin dipuji orang lain sedangkan hibah dan hadiah hukumnya boleh dengan maksud agar terciptanya kasih sayang antar sesama manusia terutama bagi pemberi dan penerima wakaf. Ada beberapa Hikmah yang dapat kita ambil dari Wakaf yaitu Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT yang diwujudkan dengan memberi sebagian harta kepada orang lain, Berusaha Ikhlas dalam setiap amal ibadah tanpa mengharap balasan dan dapat menciptakan rasa kasih sayang, kekeluargaan dan persaudaraan yang lebih intim antara pemberi dan penerima. 
Menurut bahasa wakaf berasal dari  waqf   yang berarti radiah  (terkembalikan) ,  altahbis (tertahan) ,  altasbil  (tertawa) dan  al-man’u (mencegah). Menurut istilah syara, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Sedangkan pengertian sedekah adalah pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut. Hukum  sedekah itu disunnahkan dan dianjurkan untuk dikeluarkan kapan saja.





DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hasbi.1984 .Pengantar Fiqh Muamalah. Jakarta. Bulan Bintang Ali, Muhammad Daud. 1988. Sistem ekonomi Islam: zakat dan wakaf, Jakarta: UI Press.
Departemen AgamaRI. 2001.  Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Asyifa’.
Dib Al-Bugha, Mustafa, 2009. t.t., Fiqh al-Mu’awadhah. Damaskus. Darul Musthafa.
Direktorat Pemberdayaan Wakaf. 2007. Fiqih Wakaf. Jakarta. DirJen Bimbingan Masyarakat Islam. Departemen Agama RI
Halim, Abdul. 2005. Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat: Ciputat Press.
M. Rizal Qosim, Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014.
Saleh al-Fauzan. 2005. Fiqih Sehari-hari, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press.
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


[1] Muhammad al-Syarbini al-Khatib, Al-‘Iqna fi Hall al-Alfadz Abi Syuza,(Dar al-Ihya al-Kutub: Indonesia, t.t), hlm.319.
[2]  Drs. H. Abdul Halim, M.A, Hukum Perwakafan di Indonesia,(Ciputat: Ciputat Press, 2005), cet.I. hal. 6.
[3] Hendi Suhendi, fiqh muamalh, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2010, hlm. 240.
[4] Drs. H. Abdul Halim, M.A, Op.Cit. hlm. 25
[5] Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2005, hlm. 285.
[6] Departemen AgamaRI,  Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Asyifa’ ,2001, hlm. 654
[7] M. Rizal Qosim, Pengalaman Fikih 1 untuk kelas X Madrasah Aliyah, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014, hlm. 147.

0 komentar: