Cara Penyampaian Wahyu Al Qur'an



CARA TURUN DAN PENYAMPAIAN WAHYU AL-QUR’AN

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen pengampu : Zulkham  Qudsi Fahrizal Alam
B-ELK Semester Genap




 


















Disusun Oleh Kelompok 3:

1.    Tri Noviyanto                                 ( 1510120052 )
2.    Echtavia Maula Shifa                     ( 1510120066 )




 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
TAHUN AKADEMIK 2015/2016


      
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tidaklah tersembunyi bagi siapapun juga, bahwa tiap-tiap sesuatu ada sebabnya dan ada kadarnya. Demikianlah sunatullah di dalam alam ini. Sejarah, adalah saksi yang benar menetapkan kebenaran ini. Seorang ahli sejarah yang hendak menggali sesuatu dari perkembangan sejarah, haruslah mengetahui sebab-sebab kejadian dan pendorong-pendoronya, jika dia ingin mengetahui hakikat sejarah itu. Sebenarnya, bukan saja yang memerlukan hal demikian, ilmu-ilmu tabiat, ilmu-ilmu kemasyarakatan dan kebudayaan serta kesusastraan juga memerlukan sebab dan musabab, memerlukan mabda’ dan ghayah.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang Allah turunkan, juga memerlukan sebab-sebab turunnya. Sejarah turunnya Al Quran memiliki makna yang sangat dalam bagi penghuni langit dan bumi, sekaligus sebagai rahmat dan petunjuk untuk membimbing manusia. Peristiwa besar yang menyatakan kerasulan, Nabi Muhammad SAW. Al Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk memberikan jawaban atas keterpurukan akidah dan akhlak manusia, gelapnya sendi-sendi kehidupan kemanusiaan. Kondisi kehidupan yang telah melampaui fitrah kemanusian, menyalahi aturan dan substansi yang telah diletakan oleh para rasul sebelumnya.

B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan wahyu?
2.      Apa saja macam-macam wahyu itu?
3.      Bagaimana cara turun dan penyampaian wahyu Al-Qur’an?
4.      Bagaimana pelestarian wahyu Al-Qur’an?
5.      Apa hubungan akal dan wahyu Al-Qur’an?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Wahyu
            Kata wahyu berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab[1]. Al-Wahy (wahyu) adalah kata mashdar (infinitif). Dia menunjuk pada dua pengertian dasar, yaitu; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, dikatakan, “Wahyu ialah informasi secara tersembutnyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain”.
            Di dalam Al-Qur’an ada kurang lebih 70 lafal yang musytaq dari lafal wahyu dengan arti yang bervariasi. Adapun pengertian kontekstualnya, wahyu berati isyarat, atau memberi tahu dengan tersembunyi, atau perintah, atau ilham. Wahyu menurut istilah adalah pengetahuan yang datang dari Allah SWT ditujukan khusus kepada Nabi atau Rasul baik dengan perantaraan malaikat atau tidak.[2]
            Secara etimologi (kebahasaan) Pengertian wahyu meliputi: 
  1. Ilham al-fithri li al-insan (ilham yang menjadi fitrah manusia). Seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa,
“dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia,…” (Al-Qashash:7)
  1. Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah,
“dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", (An-Nahl:68)
  1. Isyarat yang cepat melalui isyarat, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Al Qur’an,
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.” (Maryam:11)
  1. Bisikan setan untuk menghias yang buruk agar tampak indah dalam diri manusia.
“Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu.”(Al-An’am:121)
  1. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikat-Nya berupa suatu perintah untuk dikerjakan. 
“(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman". (Al-Anfal:12)[3]
            Ustadz Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu di dalam Risalah At-Tauhid sebagai “pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam dirinya sengan suatu keyakinan bahwa pengetahuan itu dating dari Allah, baik dengan melalui perantaraan ataupun tidak. Yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau bahkan tanpa suara. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini oleh jiwa yang mendorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa sadar darimana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang”.

B.     Macam-macam Wahyu
Menurut pendapat Muhammad Abduh, ada tiga macam wahyu yaitu :
  1. Wahyu yang ditujukan bersama kepada kaum khawas serta kaum awam, dan merupakan sebagian besar dari ayat-ayat Al-Qur’an.
  2. Wahyu yang ditujukan hanya kepada kaum awam dan jumlahnya sedikit.
  3. Wahyu yang ditujukan hanya kepada kaum khawas dan wahyu serupa inilah yang paling sedikit jumlahnya.

C.     Cara Turun dan Penyampaian Wahyu
Menurut pemeriksaan para ahli bahwa Nabi Saw. Telah menerima wahyu dengan berbagai cara dan telah menerima perintah dengan setiap cara itu. Al-Iraqi dalam tharh at-Thatsrib mengatakan bahwa As-Suhaily telah mengumpulkan dalam kitabnya Ar-Raudh al-Anif  terdapat tujuh cara wahyu yang diterima Nabi[4]:
1. Mimpi. Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah mimpi yang benar di dalam tidur. Beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya pagi hari.”
2. Dihembuskan ke dalam jiwa Nabi perkataan yang dimaksudkan. Mujahid dan kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wahyu dalam Q.S Asy-Syura (42) ayat 51 ialah Tuhan memasukkan wahyu yang dimaksudkan ke dalam jiwa Nabi.
3.Gerincingan lonceng yang sangat keras. Martabat inilah yang paling berat diterima Nabi. Apabila Wahyu yang turun kepada Rasulullah dengan cara ini, biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Terkadang suara itu seperti kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan di dalam hadits,
“Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan geemrincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.” (HR. Al-Bukhari)
4.Malaikat menyerupakan dirinya sebagai seorang lelaki. Jibril pernah datang kepada Nabi dlam rupa Dihyah ibn Khalifah, seorang lelaki yang sangat elok rupanya.
5.Jibril memperlihatkan dirinya kepada Nabi dalam rupanya yang asli yang mempunyai enam ratus sayap.
6. Allah berbicara dengan Nabi dari belakang hijab, baik Nabi dalam keadaan sadar (jaga) seperti di malam Isra’ ataupun dalam tidur, seperti yang diriwayatkan oelh At-Turmudzy dari Hadits mu’adz.
7.Israfil turun membawa beberapa kalimat wahyu, sebelum Jibril datang membawa wahyu Al-Qur’an.

D.    Pelestarian Wahyu Al-Qur’an
1.      Pelestarian Wahyu pada Masa Nabi saw
Pelestarian Al-Qur'an sejak diturunkan pertama kali sudah dimintakan oleh Nabi saw untuk ditulis kepada para Sahabat. Setiap ayat-ayat yang turun, yang banyak disaksikan oleh para sahabat secara mutawatir, diperintah oleh Nabi SAW untuk ditulis. Banyak upaya yang dilakukan berkaitan dengan pelestarian Al-Quran, di antaranya:
a.       Ditulis oleh para penulis wahyu seperti Abu Bakar, Zaid bin Tsabit, Ali bin Abu Thalib, Usman bin Affan, Ubai bin Kaab (mula-mula menjadi juru tulis Nabi dari golongan Anshar. Beliau juga seorang yang banyak menulis wahyu), Amir ibn Fuhairah (Amir menjadi juru tulis surat-surat Nabi yang dikirimkan kepada beberapa orang raja untuk mengajak mereka kepada Islam), Mu'awiyah bin Abi Sufyan, Yazid (saudara Mu’awiyah), dan beberapa orang lainnya.
b.   Dihafalkan oleh para sahabat dalam berbagai kesempatan seperti di waktu salat, waktu temu bersama
Para sahabat yang menghafal Al-Qur’an sepenuhnya dari golongan Muhajirin adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibn Al-Khaththab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah, Sa’ad, Hudzaifah, Abdullah ibn Abbas, Amer ibn Ash, Abdullah ibn Amer ibn Ash, Mu’awiyah, Ibnu Zubair, Abdullah ibn Assa’ib, Aisyah Ummu al-Mukminin, Hafshah Ummu al-Mukminin (orang yang juga seorang ahli tulis pada masa itu) serta Ummu Salamah Ummu al-Mukminin.
            Dari golongan Anshar adalah Ubay ibn Ka’ab, Muadz ibn Jabal, Zaid ibn Tsabit, Abu Darda’, Abu Zaid, Majma’ ibn Jariyah (Haritsah) dan Anas ibn Malik.
Selain itu terdapat lagi beberapa sahabat yaitu Ubadah ibn Shamit, Fudhalah ibn Ubaid, Maslamah ibn Khalid, Qais Abi Sha’sha’ah, Tamim ad-Dary, Uqbah ibn Amir, Salamah ibn Makhlad dan Abu Musa al-Asy’ary. [5]
c. Malaikat mengecek Al-Quran sewaktu bulan ramadhan
Di antara sahabat yang terkenal sebagai guru yang mengajarkan al-Qur’an kepada sesamanya dan kepada para tabi’in ialah Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Darda’ dan Abu Musa al-Asy’ary. Tujuh shahaby besar inilah yang terkenal sebagai pengajar al-Qur’an di masa Nabi saw dan sesudahnya.
d.Dijadikan sumber ajaran keagamaan yang dikuatkan dengan hadis.
Tulisan-tulisan juru tulis Rasul itu disimpan di rumah Rasul dan mereka menulis untuk diri mereka masing-masing. Semua ahli ilmu menetapkan bahwa susunan ayat Al-Qur’an disusun menurut susunan Rasul semata-mata, bukan menurut kemauan para juru tulisnya.

2.     Usaha Pelestarian Lanjutan
Setelah masa Nabi saw, Al-Quran yang sudah tuntas ketentuannya dari Nabi saw, setahap demi setahap difinalkan pelestariannya, hingga ia tuntas dibukukan dengan lengkap sekaligus model mushafnya di masa Khalifah Utsman, yang terjaga dengan baik hingga sekarang. Hal demikian beda dengan hadis. Hadis, tidak disuruh tulis oleh Nabi saw. Namun, ia bersama Al-Quran dijadikan sumber ajaran keagamaan untuk dilaksana kan di dalam kehidupan. Karenanya, baik terhadap Al-Quran maupun terhadap hadis, sama dipegangi asumsi yang sama.

E.     Hubungan akal dengan wahyu Al-Qur’an
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian bukan berarti akal diberi kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat Islam dalam permasalahan apapun. Dan wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Allah SWT, pribadi Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu. Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia baik perintah maupun larangan. Sesungguhnya wahyu yang berupa Al-qur’an dan As-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
Akal mempunyai daya yang kuat. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan kehidupan di dunia. Akal dapat sampai ke pengetahuan yang lebih tinggi. Menurut pendapat Muhammad Abduh, manusia melalui akalnya dapat mengetahui bahwa berterimakasih kepada Tuhan adalah wajib, bahwa kebajikan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan adalah dasa kesengsaraan di akhirat.
Muhammad Abduh juga berpendapat, betul manusia diberi akal, tetapi akal tidak sanggup untuk mengetahui rahasia-rahasia hidup di akhirat. Manusia memerlukan satu petunjuk lain di samping intuisi dan akal. Petunjuk itu turun dari Tuhan dalam bentuk wahyu yang disampaikan kepada rasul-rasul. Tuhan memilih dari kalangan manusia sendiri yang telah dianugerahi sifat-sifat khusus dan mukjizat yang menimbulkan keyakinan dalam diri orang. Mereka datang untuk meluruskan pemikiran akal.
Rasul kita, Muhammad saw bukanlah Rasul pertama yang diberi wahyu. Allah telah memberikan juga wahyu kepada rasul-rasul sebelum itu sepeti yang diwahyukan kepadanya  “Sesungguhnya Kami telah menyampaikan wahyu kepadamu seperti Kami telah menyampaikan wahyu keapda Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah menyampaikan wahyu pula kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan kami berikan Zabur kepada Daud. Dan kami telah mengutus rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (an-Nisa’[4]:163-164).
Di tempat lain Muhammad Abduh jelaskan bahwa wahyu datang untuk menolong dan meyakinkan akal bahwa apa yang diketahuinya melalui usahanya sendiri tentang wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya dan sebagainya adalah benar. Wahyu datang untuk memperkuat pengetahuan itu dan bukan untuk membawa pengetahuan baru. Umpamanya, mengetahui adanya Tuhan adalah baik dan wahyu datang memperkuat kenyataan ini.
Antara wahyu dan akal tidak selalu mendukung, karena seiring perkembangan zaman akal yang semestinya mempercayai wahyu adalah sebuah anugerah dari Allah terhadap orang yang terpilih, terkadang mempertanyakan keaslian wahyu tersebut. Apakah wahyu itu benar dari Allah ataukah hanya pemikiran seseorang yang beranggapan semua itu wahyu. Seperti pendapat Abu Jabbar bahwa akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Karena masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam sering dibicarakan dalam konteks, yang manakah diantara kedua akal dan wahyu itu yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Al-Qur’an berbicara kepada akal manusia dan bukan hanya kepada perasaannya. Akal dimuliakan Allah dengan menunjukkan perintah dan larangan-Nya di dalam akal. Nabi juga berbicara kepada akal dan membuat akal menjadi hakim antara apa yang bernar dan apa yang salah. Al-Qur’an memerintahkan kita untuk berpikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap taklid. Al-Qur’an tidak semata-mata memberi perintah-perintah, tetapi mendorong manusia berpikir.

BAB III
KESIMPULAN

       Wahyu adalah pengetahuan yang datang dari Allah SWT ditujukan khusus kepada Nabi atau Rasul baik dengan perantaraan malaikat atau tidak. Menurut pendapat Muhammad Abduh, ada tiga macam wahyu yaitu :
1.      Wahyu yang ditujukan bersama kepada kaum khawas serta kaum awam, dan merupakan sebagian besar dari ayat-ayat Al-Qur’an.
2.      Wahyu yang ditujukan hanya kepada kaum awam dan jumlahnya sedikit.
3.      Wahyu yang ditujukan hanya kepada kaum khawas dan wahyu serupa inilah yang paling sedikit jumlahnya.
















DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, prof. Dr.,kedudukan akal dalam islam, Idayu, Jakarta, 1979
Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur’an KomprehensifI, Gama Media, 2003
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’a, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006
Dian Noviana Sari,Makalah Cara Turun dan Penyampaian Wahyu Al-Qur’an,2015



[1] Harun Nasution, prof. Dr.,kedudukan akal dalam islam, Idayu, Jakarta, 1979
[2] Muchotob Hamzah, Studi Al-Qur’an Komprehensif, Gama Media, 2003
[3] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2006
[4] Muchotob Hamzah,Studi Al-Qur’an Komprehensif,Yogjakarta,Gama Media,2003
[5] Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,Semarang, PT.Pustaka Rizki Tafsir, 2009

0 komentar: