Filsafat Islam



FILSAFAT ISLAM
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Filsafat
Dosen Pengampu : Nadhirin S. Ag, M.Pd












                                                           Anggota Kelompok


Abdun Nafi’                                      1410110325
Khoerul Muarif                                 1410110340
Nor afifah                                          1410110318
Imroatun nadhifah                           1410110331


 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
PROGRAM STUDI TARBIYAH / PAI
TAHUN 2014/2015

FILSAFAT ISLAM
A.   Pendahuluan
Filsafat islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemah besar besaran dari buku buku peradaban yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya.
Pada periode pasca Ibn Rosyd ini berbeda dengan sebelumnya,yaitu pada masa Nashruddin Tusi.Nama lengkapnya adalah Khwajah Nasir al Din Abu Ja’far Muhammad Ibn Muhammad Ibn Hasan. Ia seorang sarjana yang mahir dalam bidang ilmu pengetahuan matematika, astronomi, dan politik. Sesuai nama panggilannya At-Thusi karena ia dilahirkan di kota Tus pada tahun 597 H/1201 M. Ayahnya bernama Muhammad bin Hasan, yang mendidik Tusi sejak pendidikan dasar. Kemudian dia mempelajari fiqih, ilmu hikmah, dan ilmu kalam, serta isyaratnya Ibnu Sina dan matematika.
Ia lahir pada awal abad ke 13 M ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa sulit. Karena apada masa itu tentara mongol yang begitu kuat menginvansi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam.[2] Thusi meninggalkan kota kelahirannya, pergi ke kota Baghdad. Di sana ia belajar tentang ilmu pengobatan dan filsafat dari guru Qutb Al Din, matematika dari Kamal Al Din ibnu Yunus, dan fiqh serta ushul fiqh dari Salim ibn Badran
B.Pengertian Fisafat Islam
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”.
Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah usang dan tidak dibahas lagi, namun filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan alam, karena sebagaimana kita ketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang tak pernah ada finalnya.
C.FILSAFAT ISLAM PRA IBNU RUSYD
1.           Ibnu Taimiyah
Ibnu taimiyah dilahirkan pada tanggal 10 R. Awal tahun 661 H. Dengan nama Ahmad bin Abdul Halim bin Abd Salam bin Taimiyah. Dia tumbuh dengan kecerdasan yang luar biasa, mula-mula dia belajar pada Ibn Abd Daim, al-Qasim al-Irbili, Muslim bin `Allan dan pada Ibn Abi Amr.
Sejak awal mula Ibn Taimiyyah menggeluti filsafat, tujuannya bukanlah untuk mendalami dan memahami ilmu ini untuk kemudian mengambil manfaat yang mungkin bisa diambil darinya, akan tetapi sebaliknya untuk mencari sisi-sisi kesalahannya untuk kemudian merubuhkan bangunannya, karena dalam pandangannya filsafat telah menjadi semacam penyakit yang menyerang pemikiran orang-orang Islam, bahkan ia berpendapat bahwa sebelum seseorang mendalami akidah Islam maka ia harus membersihkan diri dari segala hal yang berbau filasafat yang menurutnya dihasilkan dari kebohongan angan-angan dan bayangan , sikap Ibn Taimiyyah ini kalau kita telusuri lebih jauh merupakan dampak dari kondisi politik dan sosio-kultural masyarakat muslim pada waktu itu:
A.     Kondisi Politik
Pada abad ketujuh dan kedelapan yang merupakan masa penghabisan Daulah Abbasiah, kaum muslimin telah terpecah-belah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang antara satu dengan yang lainnya saling memusuhi. Lebih dari itu, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapat ancaman besar dari tiga sisi: serangan bangsa Tartar dari arah timur (Mongolia), serangan pasukan Perang Salib yang terus mendesak dari arah barat, serta ancaman akibat perpecahan dari umat Islam sendiri.
B.     Kondisi Masyarakat
Sejak perang salib berkecamuk pada awal abad kelima Hijriah, terjadilah berturan-benturan peradaban antara barat (Eropa) dan timur (Arab), benturan-benturan ini dengan dahsyatnya berpengaruh terhadap kebudayaan, adat, pemikiran, bahkan kehidupan beragama.Percampuran-percampuran secara terpaksa ini mau tidak mau ikut pula mencampur-adukkan corak kejiwaan, pemikiran, dan kemasyarakatan kedalam suatu adat (kebiasaan) yang berbeda, sehingga dari sini munculah suatu kumpulan "masyarakat terpaksa" yang tidak mempunyai pegangan dan ketenangan, dan kumpulan masyarakat ini terpusat di satu titik, yaitu Mesir.
C.     Kondisi Pemikiran
Sebelum masa Ibn Taimiyyah sudah banyak tersebar aliran-aliran pemikiran yang antara satu dengan yang lainnya tidak jarang terjadi perselisihan-perselisihan, hal ini menyebabkan terbentangnya jarak antara pengikut aliran yang satu dengan yang lainnya. Perpecahan tersebut mencapai puncaknya pada masa Ibn Taimiyyah (abad ketujuh sampai awal abad kedelapan), dimana pertentangan-pertentangan tersebut mengakibatkan terpecah-belahnya para ulama dalam berbagai golongan. Di tengah keadaan ini, mencuatlah para filosof Islam yang berusaha mensinkronkan antara filsafat dengan agama sebagaimana dilakukan oleh para pengikut Ikhwan As-Shofa, Al-Ghazali dan Ibn Rusyd.Dari kondisi semacam ini timbul-lah perdebatan pemikiran yang amat sengit diantara para ulama, perang dalil dengan mengatasnamakan agama tidak dapat dihindari untuk mengalahkan dan menguasai lawannya demi kepentingan golongan, tanpa mencoba untuk saling mengerti dan memahami untuk kedamaian bersama.
2.      Al-Ghazali
Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari dan mendalami filsafat adalah untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin akan ditemukan didalamnya, yang mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa keraguan adalah sarana untuk sampai pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat ia mendapatkan kesalahan-kesalahan yang banyak
dilakukan oleh para filosof, maka kemudian ia mencoba untuk keluar dari filsafat dan kembali kepada agama serta menenggelamkan dirinya dalam dunia kesufian untuk selanjutnya menggunakan pengetahuannya tentang filsafat untuk menyingkap kesesatan-kesesatan para filosof dalam karyanya “Tahâfut Al-Falâsifah”.
Menurut Al-Gazali dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah , antara lain yang menyebabkan kesalahan yang dilakukan oleh para filosof dengan pendapatnya, bahwa ada dua puluh kesalahan. Tujuh belas pendapatnya membuat bid'ah dan tiga pendapatnya menjadi kafir. Ketiga pendapat filosof itu adalah:

1.      alam qadim
2.      Ilmu tuhan tidak meliputi hal-hal yang kecil (juz’iyyat)
3.      Tidak ada kebangkitan jasmani



3.      Al-Farabi
Metafisika, menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama :
a.       Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi.
b.      Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat dan bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang “suatu wujud sempurna yang tidak lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai sumber wujudnya, yaiu teologi
c.       Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu khusus


B.Filsafat Islam Pasca-Ibn Rusyd  
A.   NashruddinTusi
1.      Biografidan Pendidikan
Nama lengkapnya adalah Khwajah Nasir al Din Abu Ja’far Muhammad Ibn Muhammad Ibn Hasan. Ia seorang sarjana yang mahir dalam bidang ilmu pengetahuan matematika, astronomi, dan politik. Sesuai nama panggilannya At-Thusi karena ia dilahirkan di kota Tus pada tahun 597 H/1201 M. Ayahnya bernama Muhammad bin Hasan, yang mendidik Tusi sejak pendidikan dasar. Kemudian dia mempelajari fiqih, ilmu hikmah, dan ilmu kalam, serta isyaratnyaIbnu Sina dan matematika.[1]

Ia lahir pada awal abad ke 13 M ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa sulit. Karena apada masa itu tentara mongol yang begitu kuat menginvansi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam.[2] Thusi meninggalkan kota kelahirannya, pergi ke kota Baghdad. Di sana ia belajar tentang ilmu pengobatan dan filsafat dari guru Qutb Al Din, matematika dari Kamal Al Din ibnu Yunus, dan fiqh serta ushul fiqh dari Salim ibn Badran.

Di masa kehidupannya, Nashiruddin Ath-Thusi dikenal sebagai Ilmuwan yang serba bisa (multi talented). Sumbangannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tidak ternilai besarnya. Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan beragam ilmu astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam. Sebagai seorang ilmuwan yang amat kondang pada zamannya Nashiruddin memiliki banyak nama, antara lain; Muhaqqiq Ath-Thusi, Khuwaja thusi, dan Khuwaja Nasir.

2.      Karya-Karyanya
Nashiruddin At-Thusi adalah seorang sarjana terkenal sebagai seorang yang lebih mahir daripada ahli pikir yang kreatif. Ia banyak membuat pencerahan-pencerahan dalam agama, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk realisasi aktifitas kesehariannya. Sebagai seorang ilmuwan tentunya tercermin dari karya-karya tulis yang bisa kita lihat sampai hari ini, di antara karya-karyanya antara lain:
v  Karyanya di bidang logika
a)      Asas Al-Iqtibas
b)      At-Tajrid fi Al-Mantiq
c)      Syarh-i Mantiq Al-Isyarat
d)     Ta’dil Al-Mi’yar,
v  Karyanya di bidang Metafisika
a)       Risalah dar Ithbat I Wajib,
b)      Itsat-i Jauhar Al-Mufariq
c)      Risalah dar wujud-i Jauhar-i
d)     Mujarrad,
v  Karyanya di bidang etika
a)      Akhlak-i Nashiri
b)      Ausaf Al-Asyraf.
v  Karyanya di bidang teologi/dogma
a)      Tajrid Al’Aqa’id,
b)      Qawa’id Al-’Aqa’id,
c)      Risalah-i I’tiqadat



3.     Pemikirannya
a)     Filsafat Metafisika
Menurut Nashiruddin Ath-Tusi, metafisika terdiri atas dua bagian, pertama ilmu Ketuhanan (’Ilmi Ilahi), kedua filsafat pertama (falsafahi ula). Ilmu Ketuhanan meliputi Tuhan, akal, dan jiwa, pengetahuan tentang alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta yang merupakan filsafat pertama. Pengetahuan tentang kelompok-kelompok ketunggalan dan kemajemukan, kepastian dan kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidak kekalan juga membentuk bagian dari filsafat pertama tersebut. Di antara cabang (furu’) metafisika itu termasuk pengetahuan ke-Nabian (nubuwwat). Jelajah subjek itu menunjukkan bahwa metafisika merupakan esensi fuilsafat Islam dan lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah gagasan-gagasan.
b)    Filsafat Etika
Tujuan dari filsafat etika (akhlak) Nashiruddin Ath-Tusi ini adalah untuk menemukan cara hidup untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Agar bisa mencapai kebaikan maka dalam hal ini manusia dituntut untuk sering berbuat baik, menempatkan kebaikan di atas keadilan dan cinta.

Menurut Plato, yang termasuk perbuatan baik menyangkut kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan. Keempat hal ini termasuk pada trinitas jiwa yang meliputi akal, kemarahan, dan hasrat. Namun Ath-Tusi dalam menempatkan kebajikan-kebajikan itu bukan berasal dari teori Plato, melainkan pendapat Tusi sependapat dengan Ibnu Maskawaih. Ia menempatkan kebajikan di atas keadilan, dan cinta sebagai sumber alam kesatuan, di atas kebajikan.

Sebagaimana keadaan dari perbuatan baik, selalu di usik dengan perbuatan jahat. Aristoteles memandang kejahatan sebagai suatu kebaikan yang sudah terlalu berlebihan, baik eksesnya maupun kerusakannya. Berbeda halnya denga Ibnu Maskawaih, setelah ia menyebutkan kejahatan satu demi satu hingga sampai kedelapan terlalu kelihaian dan kebodohan (safat dan balahat), gegabah dan pengecut (tahawwur dan jubbun), pemanjaan dan pemantangan (syarakat dan khumud), kelaliman dan penderitaan (jaur dan mahanat). Berdasarkan pola Aristoteles ini, iaa menggambarkan sebab-sebab dan cara-cara menghilangkan rasa takut dan sedih. Namun, Ibnu Maskawaih tidak menjelaskan pakah rasa takut dan sedih itu membentuk keberlebihan atau kekurangan, kemarahan, dan hasrat. Maka masalah ini Tusi mengkaji dan menemukan masalahnya


PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA






0 komentar: