Hadist Hak Kewajiban Suami Istri




Hadist Tentang Hak Kewajiban Suami Istri


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Suami dan istri apabila telah menikah, maka antara keduanya memiliki hak dan kewajiban masing-masing dan dalam pemenuhannya haruslah seimbang antara suami dan isteri. Namun dalam pelaksanaannya,banyak sekali ketimpangan yang terjadi dalam pemenuhan hak dan kewajiban antara suami dan isteri, dimana budaya patriarkhi yang masih mendominasi dunia membuat kesetaraan dalam pemenuhan hak dan kewajiban antara suami dan istri belum dapat terpenuhi dalam arti yang seimbang. Masih tetap saja terjadi ketidakseimbangan antara keduanya.
Bukan menjadi rahasia umum,jika dalam rumah tangga,seorang istri diperlakukan tidak seimbang dalam hak nya.Dan sebaliknya banyak kaum perempuan yang sangat tersiksa karena harus menaati kewajibannya yang merupakan hak suami.Hal ini dimungkinkan kesalahan dalam memahami dan terlanjur budaya telah membentuk maind set itu, sehingga pemenuhan akan hak isteri kurang diperhatikan.
Dari sinilah penulis mengambil judul tersebut, dan menurut hemat penulis hal tersebut adalah hal yang sangat krusial dimana saat ini banyak perempuan yang tidak hanya berada di wilayah domestik seperti hanya mengurus rumah tangga,namun zaman sekarang sudah banyak perempuan yang turut berkecimpung di dalam masyarakat.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kewajiban Suami tarhadap istri
Kesempatan yang lalu, telah diangkat mengenai kewajiban istri di web Muslim.Or.Id tercinta ini. Saat ini, giliran suami pun harus mengetahui kewajibannya. Apa saja kewajiban suami, berkaitan dengan berbuat baik pada istri dan kewajiban nafkah, akan diulas secara sederhana dalam tulisan kali ini. Moga dengan mengetahui hal ini pasutri semakin lekat kecintaannya, tidak penuh ego dan semoga hubungan mesta tetap langgeng.
Pertama: Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf (baik)
Yang dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria di hadapan istri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19).
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
Sebaik-baik kalian adalah yan berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang  paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)
Berbuat ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum, tercakup di dalamnya seluruh hak istri. Nah, setelah ini akan kami utarakan berbagai bentuk berbuat baik kepada istri. Penjelasan ini diperinci satu demi satu agar lebih diperhatikan para suami.
Kedua: Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal dengan baik
Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.
Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Lalu berapa besar nafkah yang menjadi kewajiban suami?
Disebutkan dalam ayat,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).
عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula)” (QS. Al Baqarah: 236).
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:
1.      Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
2.      Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.
Termasuk dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian dan tempat tinggal bagi istri. Patokannya adalah dua hal yang disebutkan di atas. Mencari nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini. Masih ada beberapa hal terkait kewajiban suami yang belum dibahas. Insya Allah akan berlanjut pada tulisan berikutnya.

B.     Kewajiban Istri
Pasutri pasti selalu menginginkan keluarganya terus tentram dan langgeng. Namun kadang yang terjadi di tengah-tengah pernikahan adalah pertengkaran dan perselisihan. Ini boleh jadi karena tidak mengetahui manakah yang menjadi hak atau kewajiban dari masing-masing pasutri. Oleh karena itu, mengetahui kewajiban suami atau kewajiban istri sangatlah penting. Sehingga istri atau suami masing-masing mengetahui manakah tugas yang mesti ia emban dalam rumah tangga. Kali ini rumaysho.com akan mengulas bahasan kewajiban istri. Namun jangan khawatir, untuk kewajiban suami masih tetap ada setelah bahasan untuk istri selesai. Allahumma yassir wa a’in.

C.    Keagungan Hak Suami
Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan dalam ayat berikut ini,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)
Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ
Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج
Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)
Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.
Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:
Pertama: Mentaati perintah suami
Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.
Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933)
Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)
Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).
Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.(HR. Muslim no. 1436)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.
Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami
Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ
Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه
Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR.  Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,
لاَ تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)
Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami
Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Dalam lafazh lainnya disebutkan,
لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ
Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”)
Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. … Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanitamenjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas fuqoha. Ulama Hanafiyah enganggapnya makruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)
Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis), (2) puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.

D.    Jika Suami Tidak Di Tempat
Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul Bari, 9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99) Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di tempat.

E.     Hikmah Mengapa Harus Dengan Izin Suami
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Adapun yang menjadi kewajiban seorang suami jdalam masa iddah (talak raj’i) yaitu memberikan tempat tinggal dan nafkah kepada istrinya. Dan jika dia punya seorang anak maka dia juga berkewajiban membiayai anaknya. Sedangkan yang menjadi hak dan kewajiban seorang istri dalam masa iddah ialah:
1.    Tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain, baik secara terang-terangan maupun dengan cara sindiran. Namun bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dikecualikan bahwa ia boleh dipinang dengan sindiran.
2.    Dilarang keluar rumah menurut jumhur ulama fikih selain mazhab Syafi’i apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Alasan yang digunakan ialah surah ath-Talaq ayat 1 yang artinya “janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan yang keji dan terang. Larangan ini jg dikuatkan dengan beberapa hadis Rasululullah SAW.
3.    Berhak untuk tetap tinggal dirumah suaminya selama menjalani masa iddah.
4.    Wanita yang derada dalam iddah talak raj’i terlebih lagi yang sedang hamil, berhak mendapatkan nafkah lahir dari suaminya. Bagi wanita yang ditinggal mati suaminya tenru tidak lagi mendapatkan apa-apa kecuali harta waris, namun berhak untuk tetap tinggal di rumah suaminya sampai berakhirnya masa iddah.
5.    Wanita tersebut wajib berihdad (iddah wanita yang ditinggal mati suaminya) yaitu tidak mempergunakan alat-alat kosmetik untuk mempercantik diri selama empt bulan sepuluh hari.
6.    Wanita yang berada dalam iddah talak raj’i ia berhak mendapatkan harta waris dari suaminya yang wafat, sedangkan wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak mendapatkanya.

B.     Saran
Kami sadar bahwa apa yang ada ditangan pembaca saat ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami senantiasa mengharapkan uluran tangan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makala ini dikemudian hari. Kami hanya berharap bahwa makala ini mampu menjadi sebuah referensi yang ideal dalam hal pengkajian tentang Iddah Dalam Perspektif Islam (Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Masa Idda) . Terkhusus dalam menyelesaikan dilema-dilema yang sering muncul dalam kalangan masyarakat awam mengenai masalah iddah khususnya mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam masa iddah.
Mengingat bahwa penyelesaian masalah yang belum ada dasar hukumnya bagi masyarakat awam  merupakan hal yang lazim di telinga mereka, tentunya untuk mengamalkannya memerlukan pemahaman yang cukup memadai agar dalam pelaksanaannya kita tidak lagi mengalami kekeliruan, karena apabila kita keliru dalam menafsirkan, niscaya dalam pelaksanakaannya tidak sempurnah. Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini dapat memudahkan kita, khususnya dalam proses pengamalannya.





DAFTAR PUSTAKA

Sayyid sabiq, Fikih Sunnah 7,Bandung PT.Alma’rif .2006
Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarasan, Hukum  Perwakafan. fokusmedia Bandung,2005.
Prof.H.Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Di Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat Dan Hukum Islam,cv.mandar maju.bandung 1990.
Cahyadi takariawan dkk, Keakhwatan 3 bersama tarbiyah mempersiapkan tegaknya rumah tangga islami,intermedia,solo.2004
Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempaun dalam Islam, terjemahan Farid Wajidi, Bandung, LSPPA, 1994
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983).
























BAB I
PENDAHULUAN
1.      1.             Latar Belakang Masalah
Kebahagiaan keluarga tidak akan tercukupi tanpa tercukupinya nafkah. Nafkah merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan keluarga. Kabahagiaan keluarga sulit dicapai tanpa terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Ketiga hal tersebut merupakan sarana mutlak bagi kehidupan manusia, terlebih lagi bagi suami istri.[1]
Nafkah menjadi hak dari berbagai hak istri atas suaminya sejak mendirikan kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, syariat Islam menetapkan, baik istri kaya maupun fakir dari teks-teks al-Qur’an yang memberi kesaksian tentang hak itu perkataan Allah Yang Maha Benar:
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya…” (QS. Ath-Thalaq:7).[2]
Firman Allah SWT:
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوف….
“…Dan bagi (para) suami berkewajiban menanggung makan dan sandang bagi para istri dengan cara yang ma’ruf (baik)…” (QS. Al-Baqarah : 233).
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu (QS. Ath-Talaq : 6).
Dalam hadis riwayat Muslim juga disebutkan bahwa:
“Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Dinar yang enagkau sedekahkan di jalan Allah, dinar yang engkau sedekahkan untuk budak perempuan, dinar yang enagkau sedekahkan untuk orang miskin, dinar yang engkau sedekahkan untuk keluargamu, yang lebih utama pahalanya adalah sedekah yang engkau berikan untuk keluargamu”.[3]
Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis di atas kiranya sudah mencerminkan tanggung jawab dan kewajiban suami terhadap istri dan juga anak-anaknya. Akan tetapi, dewasa ini banyak  fenomena yang terjadi justru sebaliknya, suami yang berpangku tangan di rumah sedangkan istrinya yang sibuk mencari kerja. Bagaimanapun juga, mencari nafkah berupa sandang, pangan, dan papan menjadi tanggung jawab suami yang utama, kalaupun istri yang mencari nafkah menurut saya sudah pengecualian karena alasan-alsan tertentu yang sangat darurat.
Melihat hal tersebut, penulis berusaha menjelaskan tentang bagaimana hak istri atas suami (kewajiban suami terhadap istri dan juga anak-anak) dalam Islam. Bagaimana Islam memandang kewajiban suami yang begitu berat dalam menghidupi rumah tangga dan apa saja batasan nafkah yang harus dicari oleh suami. Semoga kita lebih mengetahui tentang hal tersebut dengan makalah ini.

1.      2.             Rumusan Masalah
A.    Apa nash hadis tentang hak istri atas suami?
B.     Bagaimana takhrij dan tahqiq hadis tersebut?
C.     Bagaimana penjelasan matan dari hadis tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN

1.      1.             Teks Hadis
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِيُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ قَالَ أَبُو دَاوُد وَلَا تُقَبِّحْ أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ اللَّهُ
(ABU DAUD – 1830) : “Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’Il, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah mengabarkan kepada kami Abu Qaza’ah Al Bahali, dari Hakim bin Mu’awiyah Al Qusyairi dari ayahnya, ia berkata; aku katakan; wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang diantara kami atasnya? Beliau berkata: “Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah.” Abu Daud berkata; dan janganlah engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian) dengan mengatakan; semoga Allah memburukkan wajahmu.”[4]

1.      2.             Takhrij Hadis
ر ق م
المصدر
البا ب
الكتاب
رقم الحديث
1.
أحمد
حديث بهز بن حكيم عن أبيه عن جده رضي
مسند أحمد
19171[5]

حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِيُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ مَا أَتَيْتُكَ حَتَّى حَلَفْتُ عَدَدَ أَصَابِعِي هَذِهِ أَنْ لَا آتِيَكَ أَرَانَا عَفَّانُ وَطَبَّقَ كَفَّيْهِ فَبِالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا الَّذِي بَعَثَكَ بِهِ قَالَ الْإِسْلَامُ قَالَ وَمَا الْإِسْلَامُ قَالَ أَنْ يُسْلِمَ قَلْبُكَ لِلَّهِ تَعَالَى وَأَنْ تُوَجِّهَ وَجْهَكَ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَتُصَلِّيَ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ أَخَوَانِ نَصِيرَانِ لَا يَقْبَلُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ أَحَدٍ تَوْبَةً أَشْرَكَ بَعْدَ إِسْلَامِهِ قُلْتُ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ تُطْعِمُهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ قَالَ تُحْشَرُونَ هَاهُنَا وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ إِلَى نَحْوِ الشَّامِ مُشَاةً وَرُكْبَانًا وَعَلَى وُجُوهِكُمْ تُعْرَضُونَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى وَعَلَى أَفْوَاهِكُمْ الْفِدَامُ وَأَوَّلُ مَا يُعْرِبُ عَنْ أَحَدِكُمْ فَخِذُهُ وَقَالَ مَا مِنْ مَوْلًى يَأْتِي مَوْلًى لَهُ فَيَسْأَلُهُ مِنْ فَضْلٍ عِنْدَهُ فَيَمْنَعُهُ إِلَّا جَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ شُجَاعًا يَنْهَسُهُ قَبْلَ الْقَضَاءِ قَالَ عَفَّانُ يَعْنِي بِالْمَوْلَى ابْنَ عَمِّهِ قَالَ وَقَالَ إِنَّ رَجُلًا مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَغَسَهُ اللَّهُ تَعَالَى مَالًا وَوَلَدًا حَتَّى ذَهَبَ عَصْرٌ وَجَاءَ آخَرُ فَلَمَّا احْتُضِرَ قَالَ لِوَلَدِهِ أَيَّ أَبٍ كُنْتُ لَكُمْ قَالُوا خَيْرَ أَبٍ فَقَالَ هَلْ أَنْتُمْ مُطِيعِيَّ وَإِلَّا أَخَذْتُ مَالِي مِنْكُمْ انْظُرُوا إِذَا أَنَا مُتُّ أَنْ تُحَرِّقُونِي حَتَّى تَدَعُونِي حُمَمًا ثُمَّ اهْرُسُونِي بِالْمِهْرَاسِ وَأَدَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ حِذَاءَ رُكْبَتَيْهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَعَلُوا وَاللَّهِ وَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ هَكَذَا ثُمَّ اذْرُونِي فِي يَوْمٍ رَاحٍ لَعَلِّي أَضِلُّ اللَّهَ تَعَالَى كَذَا قَالَ عَفَّانُ قَالَ أَبِي وَقَالَ مُهَنَّا أَبُو شِبْلٍ عَنْ حَمَّادٍ أَضِلُّ اللَّهَ فَفَعَلُوا وَاللَّهِ ذَاكَ فَإِذَا هُوَ قَائِمٌ فِي قَبْضَةِ اللَّهِ تَعَالَى فَقَالَ يَا ابْنَ آدَمَ مَا حَمَلَكَ عَلَى مَا فَعَلْتَهُ قَالَ مِنْ مَخَافَتِكَ قَالَ فَتَلَافَاهُ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا
(AHMAD – 19171) : Telah menceritakan kepada kami ‘Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, telah mengabarkan pada kami Abu Qar’ah Al Bahili dari Hakim bin Mu’awiyah dari Ayahnya ia berkata; Aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu aku berkata; “Tidaklah aku datang kepadamu kecuali aku telah bersumpah dengan beberapa jariku ini bahwa aku tidak akan datang kepadamu -‘Affan memperlihatkan dan menengadahkan telapaknya- Demi dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, dengan apakah kamu di utus?.” Beliau menjawab: “Dengan Islam.” Mu’awiyah bertanya; “Apakah Islam itu?.” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau serahkan jiwamu sepenuhnya hanya pada Allah Ta’ala dan engkau menghadapkan wajahmu hanya kepada Allah saja, engkau mengerjakan shalat, menunaikan zakat, itulah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan Allah Azza Wa Jalla tidak akan menerima taubat seorang hamba yang menyekutukan-Nya setelah ia masuk Islam.” Aku bertanya; “Lalu apa hak istri terhadap kita (suami)?.” Beliau menjawab: “Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan menjelekkannya dan jangan memisahkan tempat tidur kecuali dalam satu rumah.” Beliau melanjutkan: “Kalian akan dikumpulkan di sana, (seraya menunjukkan tangannya ke arah Syam) dalam keadaan berjalan kaki dan berkendaraan, wajah kalian akan ditampakkan semua dihadapan Allah, mulut-mulut kalian akan dikunci dan yang pertama kali akan berkomentar adalah paha (kaki-kaki) kalian.” Beliau melanjutkan lagi: “Dan siapa saja dari seorang budak yang meminta kelebihan dari harta tuannya, namun tuannya tidak memberinya, melainkan Allah Ta’ala akan menjadikan untuknya seekor ular besar bernama Syuja’, dan Ular itu akan menghancurkannya sebelum diputuskannya perkara.” ‘Affan seorang budak milik anak pamannya berkata; “Sesungguhnya sebelum kalian ada seseorang yang Allah Ta’ala karuniai harta dan anak-anak, hingga zaman berganti dengan generasi setelahnya. Sewaktu ayahnya hendak meninggal, ia berkata kepada anaknya; “Buat kalian, ayah macam apakah aku ini? Mereka berkata; ‘Ayah adalah orang yang terbaik!.’ Dia berkata lagi; ‘Apakah kalian akan mentaatiku?, kalau tidak, maka aku akan mengambil semua hartaku dari kalian!.’ ‘Lihatlah oleh kalian, jika nanti aku telah meninggal dunia, maka bakarlah aku hingga diriku menjadi arang.’ Kemudian tumbuklah (arangku) hingga halus dengan alat penumbuk -Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil mendemontrasikan dengan memutar-mutar dengan kedua tangannya sejajar kedua lututnya- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda: “Kemudian mereka melakukan wasiat ayahnya.” Demi Allah Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempraktekkan dengan tangannya seperti ini, – ‘Kemudian tebarkanlah (abuku) pada hari yang anginya kencang, supaya Allah Ta’ala tidak dapat menemukanku.’ -demikianlah yang di katakan ‘Affan, Ayahku berkata; dan Muhanna Abu Syibl mengatakan dari Hammad dengan redaksi -supaya diriku tidak dapat di temukan Allah- lalu anak-anaknya melaksanakan perintah ayahnya, demi Allah, ternyata dirinya telah berdiri tegak dalam genggaman Allah Ta’ala. Maka Allah bertanya kepadanya: ‘Wahai anak Adam, apa yang membuatmu melakukan hal ini (membakar diri)?.’ Lak-laki itu menjawab; ‘Ya Rabb-ku, karena aku takut kepada-Mu!.’ Maka Allah Ta’ala pun mengampuni perbuatannya.”[6]
1.      3.             Tahqiq Hadis
Hadis tersebut berkualitas hasan shahih, hal ini berdasarkan tahqiq yang dilakukan oleh Al-Albani.
الراوي: معاوية القشيري المحدث: الألباني – المصدر: صحيح أبي داود – الصفحة أو الرقم: 2143
خلاصة حكم المحدث: حسن صحيح[7]
Skema Jalur Sanad
1.      Penjelasan Matan Hadis
Al-Qur’an telah menentukan hak-hak yang dapat diterima oleh seseorang istri atas suaminya. Batasan yang pertama adalah bahwa dia mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang dengan apa yang didapatkan oleh suaminya, atas dasar firman Allah:
4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur Ítã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ  
 dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah : 228)
Nash al-Qur’an di atas sangat jelas menunjukkan bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami dan istri betul-betul seimbang. Maka bagi seorang suami hendaknya memberikan hak-hak istrinya sesuai dan seimbang dengan kewajiban-kewajibannya, tanpa ada perlakuan berat sebelah si antara mereka karena ada perbedaan jenis kelamin.[9]
Syariat Islam telah menetapkan bahwa seorang suami wajib memberikan jaminan dari segi material kepada wanita yang telah ia pilih menjadi istrinya.
Islam pun telah mengkategorikan nafkah sebagai salah satu hak istrinya, baik sang istri itu orang kayamaupun orang miskin. Hal ini didasarkan pada beberapa nas Al-Qur’an al-Karim dan sunah Nabi SAW, yang menjadi dasar pendapat berbagau madzhab fikih.[10]
Dalam keluarga, sandang, pangan, dan papan menjadi tanggung jawab suami. Suami adalah pemimpin bagi istrinya sekaligus bertanggung jawab memenuhi nafkah keluarganya. Karena kaum lelaki telah diberi beberapa kelebihan oleh Allah SWT, sebagaimana difirmankan Allah dalam al-Qur’an:
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4
“Kaum lelaki adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian yang lain  (kaum perempuan) dan karena mereka manafkahkan sebagian dari hartanya…” (QS. An-Nisa : 34).
Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 34 di atas menunjukkan bahwa nafkah keluarga adalah menjadi kewajiban dan tanggunga jawab suami. Karena itu, suami harus menyadari kewajiban dan tanggung jawabnya yang satu ini.[11]
Selain itu, di antara nas yang menjadi dasar hukum persoaln ini ialah firman Allah SWT:
…. لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya…” (QS. Ath-Thalaq:7)
Adapun dalil dari sunah Nabi SAW adalah sabda beliau pada saat Haji Wada’:
“ Ketahuilah hendaknya kalian memperlakukan kaum wanita dengan baik, karena sesungguhnya mereka adalah tawanan bagi kalian. Kalian tidak memiliki hak dari mereka selain itu. Kecuali, jika mereka jelas-jelas melakukan kekejian. Apabila mereka melakukan kekejian, tinggalkanlah mereka dan tidurlah secara terpisah. Pukullah mereka dengan pukulan yang tidak mencederai mereka. Jika mereka taat dan patuh kepada kalian, janganlah kalian menghalang-halangi jalan mereka. Ketahuilah, kalian mempunyai hak atas istri kalian, dan istri kalian juga memiliki hak atas kalian. Hak kalian atas mereka ialah bahwa kalian boleh melarang mereka untuk tidak memasukkan siapa pun yang tidak kalian sukai, dan tidak mengijinkan orang-orang yang tidak kamu senangi untuk memasuki rumah kalian. Ketahuilah, hak mereka atas kalian ialah memberikan pakaian dan makanan yang baik kepada mereka.[12]
Nafkah keluarga menyangkut nafkah istri, anak-anak, pembantu rumah tangga (kalau ada) dan semua orang yang menjadi tanggungannya. Orang tua dan saudara-saudaranya yang tidak mampu menanggung nafkah, secara hukum menjadi tanggung jawab kepala keluarga yang bersangkutan.
Suami hendaknya berusaha sekuat tenaga agar dapat menjadi nafkah keluarga dengan nafkah yang halal dan diperoleh dengan jalan yang diridhai Allah SWT. Suami tidak pantas berpangku tangan dan juga tidak selayaknya berlaku kikir terhadap orang-orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Ia harus memberikan nafkah keluarga secara ikhlas karena mengharap ridha Allah dan demi kebahagiaan keluarganya.
1.      1.             Macam-macam Nafkah Keluarga
2.      a.             Sandang dan Pangan
Kebutuhan sandang dan pangan, termasuk di dalmnya kebutuhan suami itu sendiri, menjadi tanggung jawab suami. Hal ini difirmankan oleh Allah SWT:
.. .. وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوف….
“…Dan bagi (para) suami berkewajiban menanggung makan dan sandang bagi para istri dengan cara yang ma’ruf (baik)…” (QS. Al-Baqarah : 233).[13]
Makanan sebagai sumber energi manusia merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Secara lahiriah, manusia tak akan hidup tanpa makanan. Ia bisa bekerja dengan baik, bisa beribadah dan melakukan aktifitas lainnya, apabila perutnya terisi makanan yang cukup.
Demikian halnya dengan pakaian. Ia menjadi sarana pokok untuk melindungi tubuh, menutup aurat dan kelengkapan beribadah menghadap Tuhan.
1.      b.             Papan (Rumah Tempat Tinggal)
Rumah, sebagai tempat tinggal keluarga, juga menjadi kewajiban suami. Suami bertanggung jawab atas tersedianya papan (rumah) bagi keluarganya. Hal ini diperintahkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
…. أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم
“Tempatkanlah istri-istri kalian di mana kalian bertempat tinggal…” (QS. Ath-Talaq : 6).
Papan merupakan sarana mutlak tempat bertemunya suami dan istri, sebagai tempat istirahat melepaskan lelah, tempat mengasuh anak-anak dan seterusnya.[14]
1.      c.              Biaya Pendidikan Anak
Termasuk nafkah keluarga yang harus dipenuhi oleh para suami ialah biaya pendidikan anak. Hal ini diisyaratkan dalam Al-Qur’an:
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim : 6).
Agar keluarga terhindar dari api siksaan neraka, mereka perlu memahami ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya. Untuk memahami ilmu-ilmu tersebut, mereka harus belajar di lembaga-lembaga pendidikan yang sesuai. Dan untuk belajar di lembaga-lembaga pendidikan, terutama pada zaman sekarang ini, diperlukan biaya yang cukup.
Dengan demikian, biaya pendidikan anak-anak juga termasuk nafkah keluarga yang mesti dipenuhi suami.
1.      2.             Kadar Nafkah Keluarga
2.      a.             Kadar Nafkah Disesuaikan dengan Kemampuan Suami
Dalam hal nafkah keluarga, istri dituntut untuk tidak membebani suami di luar kemampuannya. Suami hanya berkewajiban memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya. Hal ini bisa dipahami dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis berikut:
“…Dan bagi (para) suami berkewajiban menanggung makan dan sandang bagi para istri dengan cara yang ma’ruf (baik). Seseorang tidak dibebani tanggung jawab melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah : 233).[15]
Rasulullah SAW bersabda:
“… Hendaklah kamu memberi makan kepadanya (istri) apabila kamu makan dan berilah pakaian istrimu apabila kamu berpakaian…” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
1.      b.             Tidak Kikir dan Tidak Berlebihan
Sifat kikir dan berlebihan merupakan sifat tercela dalam Islam. Allah SWT memerintahkan agar membelanjakan harta scara sederhana atau sedang-sedang, tidak perlu berlebih-lebihan dan juga berlaku kikir. Hal ini difirmankan dalam Al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (hartanya) tidak berlebihan dan tidak kikir, tetapi di tengah-tengah antara keduanya” (QS. Al-Furqan : 67)
Dalam ayat lain juga difirmanakan:
“Dan berikanlah hak para keluarga dekat, fakir miskin dan orang yang dalm perjalanan tanpa memberikannya secara berlebih-lebihan (boros). Sesungguhnya para pemboros itu adalah kawan syaitan, sedangkan syaitan teramat ingkar kepada Tuhannya” (QS. Al-Isra : 26-27)
Berlaku kikir dalam memberikan nafkah keluarga sangat dikecam oleh Rasulullah SAW, sebagaimana disabdakan dalam hadis:
“Seseorang akan berdosa bila menahan hartanya dari orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Muslim dan Abu Daud).
“Seburuk-buruk suami adalah yang kikir dalam memberikan nafkah kepada keluarganya” (HR. Ath-Thabari)
Karena itu, suami hendaknya sedang-sedang dalam memberikan nafkah kepada keluarganya. Hal ini disabdakan oleh Rasulullah SAW:
“…dan tidak akan pelit, orang yang sedang-sedang dalam membelanjakan hartanya”.(HR. Ath-Thabari).
1.      3.             Mengutamakan Nafkah Keluarga
Suami yang baik senantiasa melakukan yang terbaik bagi keluarganya. Ia berbuat demi kebahagiaan istri dan anak-anaknya. Ia senantiasa mengutamakan nafkah keluarga dalam membelanjakan hartanya di atas kepentngan-kepentingan lainnya.
Suami hendaknya pandai-pandai membelanjakan hartanya, mana yang lebih penting, itulah yang didahulukan. Membelanjakan harta untuk shadaqah di jalan Allah adalah hal yang utama, tetapi jika tidak mampu janganlah dipaksakan. Jangan sampai tindakannnya justru melupakan nafkah keluarga. Hal ini dijelaskan Rasulullah SAW:
“Satu dinar kamu infaqkan di jalan Allah, satu dinar kamu infaqkan untuk memerdekakan seorang budak, satu dinar kamu shadaqahkan kepada orang miskin dan satu dinar kamu nafkahkan kepada keluargamu. Pahala yang paling besar diantara semuanya adalah yang kamu nafkahkan kepada keluargamu. (HR. Muslim).[16]
Berdasarkan hadis tersebut, tidak ada alasan bagi suami untuk mengutamakan infaq-infaq di jalan Allah namun mengabaikan nafkah keluarganya sendiri.
Rasulullah SAW juga memberikan penjelasan tentang urutan memberikan nafkah, sebagaimana disebutkan dalam hadisnya yang berbunyi:
“Pernah seseorang menghadap Rasulullah SAW seraya bertanya: Ya Rasulullah, aku memiliki uang satu dinar (sebaiknya dibelanjakan kepada siapa?). jawab Rasulullah SAW: Belanjakanlah untuk kepentingan dirimu sendiri! Orang itu bertanya: Jika orang itu punya satu dinar lagi? Jawab Rasulullah: Belanjakanlah untuk kepentingan anak-anakmu! Orang itu bertanya lagi: jika aku punya satu dinar lagi? Jawabnya: Belanjakanlah untuk kepentingan istrimu! Tanyanya lagi: jika aku punya satu dinar lagi? Jawabnya: Belanjakanlah untuk kepentingan pembantumu! Tanyanya lagi: Jika aku punya satu dinar lagi? Jawabnya: Kamu sendiri lebih mengetahui!” (HR. Abu Daud).
Berdasarkan hadis tersebut jelaslah bahwa urutan membelanjakan harta adalah mengutamakan diri sendiri beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, baru kemudian untuk kepentingan lainnya.
1.      4.             Memberikan Nafkah Keluarga dengan Tulus Ikhlas
Suami yang baik senantiasa ikhlas dalam melakukan segala sesuatunya, apalagi dalam hal memberikan nafkah kepada keluarganya sendiri. Pemberian yang ikhlas, tentunya melegakan bagi penerimanya. Istri akan merasa lega dan bahagia, jika suami memberikan nafkahnya dengan tulus ikhlas. Nafkahnya diberikan seraya mengharap keridhaan Allah SWT selaku pemberi rizqi.[17]
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya kamu tidaklah menafkahkan harta yang semata-mata karena mengharap ridha Allah, melainkan kamu akan diberi pahala hingga sesuap makanan yang masuk ke mulut istrimu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Betapa besarnya pahala yang bakal diterima oleh suami jika dia mmeberikan nafkah kepada keluarganya dengan niat yang ikhlas, semata-mata mengharap ridha Allah SWT. Ia akan diberi pahala sampai setiap suap makanan yang masuk ke mulut istri dan anak-anaknya. Di dunia ini ia akan mmeperoleh kebahagiaan bersama istri dan anak-anaknya, dan di akhirat akan memperoleh kenikmatan syurga.
Rasulullah SAW menjelaskan, bahwa nafkah yang diberikan kepada keluarganya sendiri dengan tulus ikhlas adalah termasuk amal shadaqah. Hal ini disebutkan dalan hadis:
“Apabila suami memberikan nafkah kepada istrinya secara ikhlas, maka nafkah itu menjadi shadaqah” (HR. Bukhari).
1.      5.             Memberikan Nafkah yang Halal
2.      a.             Nafkah adalah Pangkal Baik Buruknya Peribadatan Keluarga
Makanan yang kita makan akan menumbuhkan sel-sel baru dan menggantikan sel-sel lama yang telah rusak. Dari sari-sari makanan akan menjadi unsur-unsur darah, otak, daging, tulang balulang dan organ-organ tubuh lainnya. Darah yang terbentuk dari sari makanan yang haram, akan mengalir ke seluruh tubuh, sehingga seluruh organ tubuh akan dialiri dengan makanan yang haram. Hatinya dialiri darah haram, hati diliputi darah haram dan seluruh organ tubuh kita pun menjadi tubuh yang haram.
Selain itu, mungkinkah anak-anak yang lahir dari tubuh yang haram, dibesarkan dengan makanan yang haram, dipakaikan pakaian yang haram dan pendidikannya dibiayai dengan biaya yang haram, mereka akan tumbuh dewasa menjadi anak yang shalih dan shalihah?
Semua itu harus kita pikirkan secara serius! Sebuah peribahsa mengatakan: “Akibat setitik nila, rusaklah suus sebelanga”. Akibat setitik rizqi yang haram, jika sampai mencampuri nafkah yang halal, akan haramlah keseluruhan rizqinya.
Sebaliknya, dengan nafkah yang halal, makanan yang dibelinya pun halal, pakaiannya halal, perlengkapan ibadahnya halal, perabot rumah tangganya halal, biaya pendidikan anak-anaknya halal. Semua yang diperoleh dengan nafkah halal, akan menjadi barang-barang yang halal pula.
Selanjutnya kita bisa beribadah dengan secara khusyu’, semua anggota keluarga bisa beribadah dengan baik, anak-anak bisa belajar dengan baik, bisa berpikir dengan jernih, bisa merasakan betapa besar keagungan Allah, betapa besar nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita, bisa mensyukuri Nikmat dst.
Dengan nafkah yang halal, akhirnya kebahagiaan hidup di dunia lebih dapat diharapkan dan kebahagiaan hidup di akhirat pun lebih dapat kita yakini akan diperolehnya. Alangkah bahagianya, sebuah keluarga dihidupi nafkah yang halal.[18]
Allah SWT hanya memerintahkan kepada kita agar memakan makanan yang halal dan baik, sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an:
“ Dan makanlah makanan yang halal dan baik dari rizqi yang telah Allah anugerahkan kepada kalian…” (QS. Al-Maidah : 88).



1.      b.             Mencari Nafkah yang Halal adalah Amal yang Paling Afdhal
Alangkah bahagianya seseorang yang dapat bekerja mencari nafkah yang halal dan diridhai oleh Tuhannya. Sehingga pekerjaan yang bertujuan untuk kepentingan dunianya pun termasuk amal yang paling afdhal. Rasulullah SAW bersabda:
“Amal yang paling afdhal di muka bumi ini ada tiga yaitu: menuntut ilmu, memperjuangkan agama Allah (jihad) dan mencari nafkah yang halal”. (Al Hadis).[19]
Akhirnya suami hendaknya benar-benar memegangi sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
“(Wahai para suami), bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan para perempuan. Sesungguhnya kalian mengambil mereka (sebagai istri) berdasarkan amanat Allah, kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kewajibanmu adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik” (HR. Muslim).[20]











BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan hadis tentang hak istri atas suami diriwayatkan oleh Abu Daud yaitu hadis no. 1830 dalam Kitab Nikah, Bab Hak Istri atas Suami. Setahu penulis yang mengeluarkan hadis ini selain Abu Daud adalah Ahmad yaitu hadis no. 19171, Kitab Musnad Penduduk Bashrah, Bab Hadits Bahz bin Hakim dari Ayahnya dari Kakeknya Radliyallahu ta’ala ‘anhuma. Barangkali ini kekurangan dari penulis karena belum menemukan takhrij lain dari hadis ini. Ketika hadis ini di tahqiq oleh Al-Albani, kualitas hadis ini adalah hasan shahih.
Berdasarkan referensi lain, khususnya buku “Membimbing Istri Mendampingi Suami” karya Fuad Kauma dan Nipan dapat dipahami bahwa dalam keluarga, sandang, pangan, dan papan menjadi tanggung jawab suami. Suami adalah pemimpin bagi istrinya sekaligus bertanggung jawab memenuhi nafkah keluarganya sebagaimana sebagaimana difirmankan Allah dalam Surah An-Nisa : 34.
Kadar nafkah keluarga seharusnya disesuaikan dengan kemampuan suami serta suami tidak kikir dan berlebihan dalam membelanjakan karena sifat tersebut sangat dicela oleh Islam. Suami hendaknya tulus ikhlas dalam memberikan nafkah karena berdasarkan hadis Imam Muslim bahwa apabila suami memberikan nafkah secara tulus ikhlas maka nafkah itu menjadi shadaqah.
Selain itu suami juga harus memberi nafkah yang halal karena nafkah adalah pangkal baik buruknya peribadatan keluarga. Dengan nafkah yang halal, kebahagiaan hidup di dunia lebih dapat diharapkan dan kehidupan di akhirat pun lebih dapat kita yakini akan diperolehnya. Mencari nafkah yang halal adalah amal yang paling afdhal dimana hal ini sudah diterangkan dalam hadis




DAFTAR PUSTAKA

Kauma, Fuad, dan Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997.
Musa, Kamil, Suami Istri Islami, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997.
Shabbagh,Mahmud Al, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.
Subki, Ali Yusuf As, Fiqih Keluarga, Jakarta : Amzah, 2010.
Maktabah Syamilah
Lidwa Pustaka



[1] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 80
[2] Ali Yusuf As-Subkhi, Fiqih Keluarga, Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 183
[3] Ali Yusuf As-Subkhi, Fiqih Keluarga, Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 186

[4] Lidwa Pustaka
[5] Maktabah Syamilah
[6] Lidwa Pustaka
[8] Lidwa Pustaka
[9] Mahmud al-Shabbagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menuju Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993, hlm. 128-129
[10] Kamil Musa, Suami-Istri Islami, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997, hlm. 28
[11] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 80
[12] Kamil Musa, Suami-Istri Islami, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1997, hlm. 29
[13] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 81
[14] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 82
[15] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 84
[16] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 86
[17] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 87

[18] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 91
[19] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 92
[20] Fuad Kauma  dan  Nipan, Membimbing Istri Mendampingi Suami, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1997, hlm. 93
Share this:

0 komentar: