Masalah Fikih Dalam Konteks Politik



MASAIL FIQHIYAH DALAM KONTEKS POLITIK



MASAIL FIQHIYAH DALAM KONTEKS POLITIK


A.  Latar Belakang
Politik merupakan sebuah tahapan dimana untuk membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan di dalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil kepiutusan-keputusan yang terkait dengan kondisi masyarakat. Dalam dunia politik tentu didalamnya mencakup tentang kekuasaan, kewenangan, dan pemerintahan bahkan ketatanegaraan.
Dalam Islam kita sering mendengar adanya fiqih politik (fiqh siyasah) yang memberikan pandangan bahwa syariat Islam disamping mengatur tentang hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, juga mengatur tentang daulah (negara dan pemerintahan). Pada masail fiqhiyah ini banyak sekali kita temukan permasalahan yang terjadi di dunia politik. Diantara permasalahan itu yakni money politik, wanita sebagai pemimpin, dan juga foto calon bupati di cover al-Quran.
Berangkat dari lalat belakang diatas maka dalam makalah ini akan dibahas tentang “Masail Fiqhiyah dalam Konteks Politik”. 

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana hakikat masail fiqhiyah dalam konteks politik?
2.    Bagaimana contoh kasus masail fiqhiyah dalam konteks politik?



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hakikat Masail Fiqhiyah dalam Konteks Politik
Kata fiqih berarti tahu, paham dan mengerti. Secara istilah fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum yang sesuai dengan syara’ mengenai amal perbuatan yang diperoleh tentang dalil-dalilnya yang rinci.[1][1] Kata siyasah berasal dari kata sasa. Dalam kamus Al-Munjid siyasah berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Secara terminology dalam bahasa Arab adalah mengatur atau memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kepada kemaslahatan.[2][2]
Secara etimologis, politik berasal dari kata yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warga negara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politica yang berarti pemerintahan negara dan politicos yang berarti kewarganegaraan.  Menurtu Cecep Darmawan, politik adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan negara termasuk didalamnya kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan maupun pembagian dan pengalokasian nilai-nilai di dalam masyarakat yang bersangkutan.[3][3]
Imam Syafi’i memberi definisi siyasah adalah hal-hal yang bersesuaian dengan syara’. Politik dalam pengertian menangani permasalahan komunitas telah disyari’atkan oleh Allah dan diperintahkan serta menjadi bagian tugas kerasulan.[4][4] Sebagaimana firman Allah,
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa. (QS.al-Hadid: 25).[5][5]
Jadi, Fiqih Siyasah adalah hukum-hukum Islam yang digali dari sumber yang sama dan ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan.[6][6]
Jadi dapat disimpulkan bahwa masail fiqhiyah dalam konteks politik yaitu segala permasalahan yang berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, atau ketatanegaraan dengan segala bentuk hukum kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan dengan berdasar pada ajaran atau nilai-nilai agama demi kemaslahatan masyarakat.
Hukum-hukum yang terdapat dalam fiqh sekarang ini adalah ijtihad para mujtahidin, yang belum tentu sama dengan situasi dan kondisi dari zaman dan masyarakat kita sekarang ini.[7][7] Dalam lingkup ilmu Ushul Fiqh para ilmuwan kemudian berhasil merumuskan sejumlah al-Qawa’id-u’l ‘l-Fiqhiyah (kaidah-kaidah Fiqh), yang diantaranya adalah:
الأموار بمقاصدها
1.    Penilaian terhadap sesuatu itu tergantung tujuannya.
تغير الأحكام بتغير الأ زمنة والأ كمنة و العرف
2.    Pelaksanaan hukum dapat berubah karena perbedaan zaman, tempat dan adat istiadat.
الحكم يدور مع علته وجودا وعداما
3.    Hukum itu bersifat bersama alasannya, ada dan tidak adanya alasan.
اذا زال السبب زال المسبب
4.    Kalau tidak ada lagi alasan mengapa dahulu suatu hukum diundangkan maka gugur pula hukum ini
العرف اصل من اصول الأحكام
5.    Adat istiadat itu harus ikut dipertimbangkan dalam perumusan hukum
العادة محكمة
6.    Adat itu merupakan sendi-sendi hukum.[8][8]
B.  Contoh Kasus Masail Fiqhiyah dalam Konteks Politik
1.    Money Politics
a.    Masalah
Hasil pemeriksaan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), banyak pejabat kita disemua lembaga negara maupun perusahaan pemerintah, yang kekayaannya berasal dari “hibah”, untuk menghindari kesan bahwa kekayaan tersebut didapat dengan cara melanggar hukum.[9][9] Sementara itu, kita juga melihat semakin maraknya praktek apa yang disebut money politics, yakni sebuah hibah atau pemberian (berupa uang atau materi lainnya) yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain dalam rangka meraih jabatan atau tender proyek tertentu. Bagaimana pandangan syariat Islam terhadap tindakan money poitics?
Jawaban:
Money politics sebagai pemberian (berupa uang atau denda lainnya) untuk mempengaruhi dan atau menyelewengkan keputusan yang adil dan obyektif. Dalam pandangan syariat Islam hal itu merupakan suap (risywah) yang dilaknat oleh Allah, baik yang memberi (rasyi) ataupun yang menerima (murtasyi), maupun yang menjadi perantara (raaisy).[10][10]
Dasar pengambilan hukum
Pendapat para ulama tentang sesuatu yang yang diberikan para penguasa kepada para tokoh masyarakat, pejabat, hakim, penguasa pemerintahan, dan mereka yang mengemban tanggung jawab urusan kaum muslimin, bisa jadi merupakan suap atau hadiah. Adapun suap hukumnya haram. Pemberian tersebut wajib dikembalikan pada pemiliknya dan tidak boleh dimasukkan ke dalam kas negara kecuali pemiliknya tidak diketahui sehingga seperti status barang hilang, menurut sebagian fuqaha mutaakhirin, maka harta tersebut boleh disimpan di kas negara. [11][11]
Yang dimaksud dengan suap yang kami sebutkan di atas adalah segala sesuatu yang diberikan dalam rangka menolak kebenaran atau untuk menghasilkan kebatilan. Jika anda diberi agar disampaikan kepada penguasa untuk suatu hak atau kebenaran, maka hukum haram juga tetap berlaku pada yang menerimanya. Adapun orang yang memberikan suap, jika ia tidak sampai kepada haknya kecuali dengan jalan memberikan suap, maka diperbolehkan, namun jika ia mampu mendapatkan haknya dengan tanpa memberikan suap, maka tidak diperbolehkan.[12][12]
2.    Wanita sebagai Pemimpin
Peran Perempuan dalam Politik
Dalam mayoritas ahli fiqh konservatif, peran politik dalam arti amar ma’ruf nahi munkar antara kaum laki-laki dan perempuan memang diakui sebagai memiliki hak dan kewajiban yang sama. Akan tetapi, dalam arti politik praktis yang di dalamnya diperlukan pengambilan keputusan yang mengikat menyangkut masyarakat luas, seperti pengambilan keputusan dalam peradilan, lembaga legislatif, menurut kebanyakan ulama, tidak dapat diberlakukan sacara sama.[13][13]
Fatwa yang dikeluarkan oleh Universitas al-Azhar  menyebutkan:
“Syari’at Islam melarang kaum perempuan menduduki jabatan yang meliputi kekuasaan-kekuasaan umum (public). Yang dimaksud kekuasaan umum dalam fatwa di atas adalah kekuasaan memutuskan atau memaksa dalam urusan-urusan kemasyarakatan, seperti kekuasaan kehakiman, dan kekuasaan melaksanakan undang-undang.”[14][14]
a.    Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan tertinggi dan termasuk dalam wilayah kekuasaan publik. Kekuasaan ini bersifat memaksa. Para ahli fiqh menyebutkan beberapa persyaratan yang disepakati, yaitu: beragama Islam, berakal, dewasa, merdeka, adil, dan memahami hukum-hukum syari’at. Sementara persyaratan jenis kelamin diperdebatkan. Ada tiga pandangan ulama mengenai syarat yang terakhir ini.
Pertama, Malik bin Anas, asy-Syafi’I, dan Ahmad bin Habal menyatakan bahwa jabatan ini haruslah diserahkan kepada laki-laki dan tidak boleh perempuan. Menurut mereka seorang hakim disamping harus menghadiri siding-sidang terbuka, yang di dalamnya terdapat kaum laki-laki, ia juga harus memiliki kecerdasan akal yang prima. Padahal menurut mereka kecerdasan perempuan berada di bawah kecerdasan laki-laki.[15][15] Selain itu perempuan akan berhadapan dengan laki-laki. Kehadiran seperti ini akan menimbulkan fitnah (gangguan).
Argumen lain yang dikemukakan golongan ini adalah fakta sejarah. Nabi dan khulafaur rasyidin, dan penguasa-penguasa Islam sesudahnya, tidak pernah memberikan kekuasaan kepada perempuan. Sejarah Islam tidak pernah membuktikan ada perempuan pada jabatan ini.
Pendapat kedua dikemukakan mazhab Hanafi dan Ibn Hazm azh-Zhahari. Mereka mengatakan bahwa laki-laki bukanlah syarat mutlak untuk kekuasaan kehakiman. Perempuan boleh saja, ia hanya diperbolehkan mengadili perkara-perkara di luar pidana berat (hudud dan qishas). Alasan mereka karena perempuan juga dibenarkan menjadi saksi untuk perkara-perkara tadi. Selain itu, hakim bukanlah penguasa. Tugasnya hanya melaksanakan dan menyampaikan hukum agama, fungsinya sama seperti mufti (pemberi fatwa hukum). Selain itu, golongan ini juga menolak hadits mengenai kepemimpinan negara sebagai dasar hukum untuk fungsi yudikatif.[16][16] Ibn Hazm menambahkan bahwa Umar bin Khatab pernah memerintahkan perempuan sebagai bendahara pasar.
Pendapat ketiga, menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi hakim untuk menangani berbagai perkara. Selain itu, laki-laki juga bukan syarat bagi kekuasaan kehakiman. Inilah pendapat Ibn Jarir ath Thabari dan Hasan al-Bashri. Bagi mereka, jika perempuan bisa menjadi mufti, adalah logis jika perempuan bisa menjadi hakim. Akan tetapi pendapat ketiga ini ditolak oleh al-Mawardi. Menurutnya, pendapat Ibn Jarir tersebut telah menyimpang dari konsensus ulama. Selain itu juga berlawanan dengan teks al-Qur’an yaitu pada QS. An-Nisa: 34.[17][17]
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ….
Artinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…”[18][18]
b.   Kekuasaan Legislatif
Kaum wanita sekarang mulai terpengaruh dengan kebudayaan barat dan para penganut aliran barat dalam mas’alah kaum wanita, lalu mereka mengajukan tuntutan agar supaya wanita itu diberi hak yang sama dengan hak laki-laki dibidang politik dan akhirnya muncullah hak memilih dan dipilh, untuk ikut serta duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).[19][19]
Sebenarnya wanita itu mencapai hak memilih dan dipih, ini bukanlah dengan kemauan yang murni dari suatu bangsa yang merdeka tetapi sebenarnya kaum wanita mencapai hak-haknya itu dalam suasana mendungnya kehidupan di DPR itu, dan terjadinya perubahan besar-besaran dalam bidang ketenteraman, dan mungkin juga berasal dari ketentuan sesorang yang memerintah secara diktator. Lalu bagaimanakah sikap Islam dalam menghadapi kenyataan ini?.
1)      Hak memilih
Pekerjaan memilih itu adalah tugas mengangkat wakil. Seseorang pergi ke tempat pemungutan suara lalu mereka memasukkan suaranya ke kotak suara, untuk memilih wakil mereka, yang berbicara atas nama mereka dan mempertahankan hak-hak mereka. Dalam Islam, itu tidak dilarang. Yang dilarang dalam memberikan hak memilih itu kaum wanita bercampur aduk dengan kaum pria saat pemungutan suara dan mengajukan calon, sehingga terjadilah hal-hal yang diharamkan dalam Islam, seperti bercampurnya laki-laki dan wanita, memamerkan kaum wanita itu dihadapan orang ramai, dan membuka auratnya yang sebenarnya diperintahkan untuk menutupnya.[20][20]
2)      Hak dipilih
Tugas wakil-wakil rakyat itu ada dua tugas yang penting yaitu:
a)  Menetapkan Undang-Undang: baik Undang-undang Dasar Negara atau Peraturan Pemerintah.
b) Mengawasi jalannya pemerintahan: mengawasi kekuasaan eksekutif dalam segala perbuatan dan tindakannya.[21][21]
Mengenai tugas menetapkan Undang-Undang (UU), sebenarnya dalam Islam tidak ada sesuatu ajaran yang mencegah kaum wanita untuk menjadi pembuat UU, karena membuat UU itu membutuhkan ilmu pengetahuan yang luas serta mendalami kebutuhan masyarakat, dan hal-hal yang sangat mendesak bagi masyarakat, yang kira-kira tidak dapat ditangguhkan lagi.
Islam sudah memberikan hak menuntut ilmu, kepada laki-laki dan perempuan. sebagai hasilnya, sejarah Islam kita pernah memuat nama-nama wanita yang menonjol dalam ilmu Hadits, Fiqh dan kesusasteraan Arab dan ilmu lainnya.
Disamping itu, tugas mengawasi kekuasaan eksekutif, maka sebenarnya tugas itu tidak lain dari perbuatan menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk.[22][22] Sedang kaum pria dan wanita itu sama dalam pandangan Islam, seperti Firman Allah :

 Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi pemimpin dari sebagian yang lain, mereka sama menyuruh orang berbuat baik, dan melarang orang berbuat kejahatan….” (Q.S. At-Taubat: 71).[23][23]
Dari ayat ini, bahwa dalam ajaran Islam tidak ada larangan yang menyebabkan wanita kehilangan haknya menjadi wakil rakyat, baik untuk membuat UU ataupun mengawasi pelaksanaannya. Tetapi kalau kita meninjau dari segi lain, maka akan kita ketemukan bahwa prinsip dan peraturan umum dalam Islam membendung kaum wanita untuk mempergunakan haknya ini, bukan karena kurang kecakapannya tetapi karena hal-hal yang bersangkutan dengan kesejahteraan masyarakat.
Dalam tugasnya sebagai wakil rakyat, mengharuskan wanita itu untuk meninggalkan rumahtangganya sepanjang hari, dan juga kadang-kadang sampai malam, dan juga keharusan wanita bergaul dengan laki-laki sesama wakil rakyat, di ruang sidang DPR, dan disana wanita itu terpaksa membukakan bagian badannya, dan perhiasannya yang sebenarnya haram menunjukkannya.
Hal-hal semacam ini, tentu saja kaum muslimin yang mengatakan bahwa perkara-perkara itu tidak boleh. Jadi, wanita ditinjau dari segi keahliannya dan kecakapannya sebenarnya tidak dilarang oleh Islam untuk menduduki jabatan wakil rakyat, tetapi dari segi tugasnya sebagai wakil rakyat ternyata menyebabkan wanita itu terpaksa terlibat dan terjerumus untuk mengerjakan hal-hal yang dilarang dalam Islam.[24][24]
3)        Keputusan yang tegas
Ikut sertanya kaum wanita untuk aktif dibidang politik, fakta ini dihadapi oleh Islam dengan sikap sangat tidak setuju, jika tidak kita katakan haram. Hal ini bukan karena kaum wanita itu kurang kecakapannya, karena wanita akan mengalihkan perhatiannya dari memikirkan kesejahteraan rumah tangganya dengan tenang dan tenteram.[25][25]
c.     Deskontruksi Fiqh Presiden Perempuan
 Sampai saat ini belum diketahui adanya penadapat para ahli fiqh terkemuka yang membenarkan perempuan menjabat sebagai kepala negara. Sementara Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa laki-laki sebagai syarat bagi seorang Imam (presiden) adalah sudah merupakan kesepakatan (ijma’) para ulama ahli fiqh. Pada kesempatan lain ia juga mengatakan:
“Tidak sah perempuan menduduki jabatan al-Imamah al-Uzhma (kepala Negara) dan Gubernur. Nabi Saw, Khulafa ar-Rasyidin, dan penguasa sesudah Islam juga tidak pernah mengangkat perempuan menjadi hakim dan gubernur.[26][26]
Argument untuk seluruh persoalan yang terkait dengan peran perempuan di atas, pertama-tama mengacu pada QS. An Nisa: 34. Sebagai contoh, ar Razi mengatakan bahwa kelebihan yang dimiliki laki-laki meliputi dua hal: ilmu pengetahuan dan kemampuan fisik.[27][27] Ath-Thabathaba’I berpendapat bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan adalah karena laki-laki memiliki kemampuan berfikir yang tinggi, melahirkan keberanian, kekuatan, dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Sementara perempuan lebih sensitive dan emosional. Realitas sosial membuktikan bahwa telah banyak perempuan yang bisa melakukan tugas-tugas yang selama ini dianggap hanya bisa dilakukan dan sekaligus dimonopoli kaum laki-laki.[28][28]
Kalau begitu, bagaimana kita menyikapi QS.an Nisa’: 34 diatas. Berangkat dari wacana pemikiran fiqh sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan ini maka ayat ini harus dipahami secara sosiologis dan kontekstual.[29][29]
3.    Foto Calon Bupati di Cover al-Quran
Tashawwur Al-Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang wajib di muliakan, sehingga segala aktivfitas yang bersinggung dengan Al-Qur’an diperlukan adab dan etika dalam membawa, meletakkan, membaca, bahkan menyentuhnya sekalipun. Namun akhir-akhir ini ada beberapa fenomena janggal mengenai kitab suci kita, seperti beberapa waktu lalu ada calon bupati yang menggunakan Al-Qur’an sebagai media publikasi dengan memasang fotonya di sampul luar Al-Qur’an dan membagikannya pada masyarakat.
Al-As’ilah
Apakah  dibenarkan perilaku salah satu calon bupati yang memasang fotonya di sampul mushaf Al-Qur’an?
Al-Mizan dan Al-Ajwibah
Al-Qur’an kalamullah, mukjizat terbesar sepanjang sejarah kenabian, sekaligus penuntun umat Islam. Tingginya derajat yang dimiliki Al-Qur’an menuntut untuk selalu dijaga dari hal-hal yang bersifat meremehkan atau menghinanya. Bahkan dapat berdampak pada kekufuran ketika tidak menjaganya dari hal-hal yang bersifat menghina, karena merupakan tindakan pelecahan terhadap agama.
فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ.  مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ. بِأَيْدِي سَفَرَةٍ .كِرَامٍ بَرَرَةٍ
Artinya : “Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.” (QS. ‘Abasa: 13-16).[30][30]
Kemuliaan Al-Qur’an menuntut kita selalu menjaga etika dalam menyentuhnya. Sebagaimana para malaikat dalam menyentuhnya sebelum kita, kita dituntut untuk berada dalam keadaan suci.
فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ .لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ.
Artinya : “Pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 78-79).[31][31]
Pada dasarnya suatu perbuatan dapat dianggap meremahkan dipandang dari berbagai sudut. Diantaranya, melalui tanda-tanda yang menganggap hal yang dilakukan tergolong meremahkan, seperti, meletakkannya ditempat yang menjijikkan atau menjalarkan kaki kedepannya. Selain itu juga memandang kondisi fisik seseorang, seperti, seseorang kehilangan tangan kanannya tidak dianggap meremahkan Al-Qur’an ketika menulisnya dengan tangan kiri. Namun jika sesorang yang tidak cacat fisik menulisnya dengan tangan kiri maka hal ini tergolong tindakan yang meremahkan Al-Qur’an.
Seperti dalam permasalahan di atas seorang calon bupati yang memasang fotonya dibagian sampul Al-Qur’an, tindakan tersebut dapat dihukumi tergantung pada apakah hal itu termasuk hal yang melecehkan Al-Qur’an atau tidak. Diperbolehkan selama tidak ada unsur penghinaan terhadap Al-Qur’an.[32][32]



BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
1.      Masail Fiqhiyah dalam konteks politik yaitu segala permasalahan yang berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, atau ketatanegaraan dengan segala bentuk hukum kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan dengan berdasar pada ajaran atau nilai-nilai agama demi kemaslahatan masyarakat.
2.      Berbagai macam permasalah masail fiqhiyah dalam konteks politik daintaranya money politik, wanita sebagai pemimpin, dan juga foto calon bupati di cover al-Quran yaitu :
a.    Money politik Money politics sebagai pemberian (berupa uang atau denda lainnya) untuk mempengaruhi dan atau menyelewengkan keputusan yang adil dan obyektif. Dalam pandangan syariat Islam hal itu merupakan suap (risywah) yang dilaknat oleh Allah, baik yang memberi (rasyi) ataupun yang menerima (murtasyi), maupun yang menjadi perantara (raaisy).
b.    Wanita sebagai pemimpin, mayoritas ahli fiqh konservatif, peran politik dalam arti amar ma’ruf nahi munkar antara kaum laki-laki dan perempuan memang diakui sebagai memiliki hak dan kewajiban yang sama. Akan tetapi, dalam arti politik praktis yang di dalamnya diperlukan pengambilan keputusan yang mengikat menyangkut masyarakat luas, seperti pengambilan keputusan dalam peradilan, lembaga legislatif, menurut kebanyakan ulama, tidak dapat diberlakukan sacara sama. Permasalahan ini harus dipahami secara sosiologis dan kontekstual.
c.    Foto calon bupati di al-Quran diperbolehkan selama tidak ada unsur penghinaan terhadap Al-Qur’an.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemah bahasa Indonesia. Kudus. Menara Kudus. 2006.
Darmawan, Cecep. Pengantar Ilmu Politik. Bandung. Laboratorium PKn UPI. 2009.
Miri, Djamaluddi. Ahkamul Fuqaha (Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004). Surabaya: Khalista. 2007.
Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender).Yogyakarta. LKiS Pelangi Aksara. 2001.
Pulungan, Suyuthi. Fiqh Siyasah (Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran). Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 1995.
Sibary, Mustafa A. Wanita: diantara Hukum Islam dan Perundang-Undangan,. Jakarta. Bulan Bintang. 1972.
Sjadzali, Munawir. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta. Paramadina. 1997.
Takariawan, Cahyadi. Fikih Politik Perempuan. Solo. Era Intermedia. 2003.
http://www.jejakislam.com/2013/12/pasang-foto-di-al-quran.html diakses pada hari Selasa, 12 april 2016 di STAIN Kudus jam 12.06 WIB.



HUKUM POLITIK UANG (JUAL BELI SUARA) DALAM PILKADA PILKADES

Assalamualaikum wr wb
Yth Pengasuh Konsultasi Agama
Baru-baru ini di daerah saya marak dengan penerimaan uang dari salah satu kandidat calon bupati, satu suara dihargai dengan Rp 20.000,00. Mereka berdalih membeli suara. Bagaimana hukumnya jual beli tersebut? Mohon penjelasan beserta dalilnya.
Sukron sebelumnya.
Wassalamualaikum wr wb
Dari Alumni Al-Khoirot Lumajang

DAFTAR ISI
  1. Hukum Politik Uang (Jual Beli Suara) Dalam Pilkada Pilkades
  2. Hukum Hubungan Intim Tanpa Sehelai Benang
  3. Ingin Menikahi Janda Beranak Yang Punya Penyakit Keturunan
  4. Menggugurkan Kandungan Dan Bayar Ghurrah
  5. Bacaan Doa Sehari-Hari
  6. Hukum Penghormatan Ala Jepang (Seikerei)
  7. Talak Tiga Saat Haid
  8. Nikah Siri Dengan Wali Hakim
  9. Maksud Haramnya Menyerupai Wanita
  10. Hukum Membolehkan Perkara Haram
  11. Investasi Yang Merugi

JAWABAN POLITIK UANG (HUKUM JUAL BELI SUARA) DALAM PILKADA PILKADES

Pertama-tama harus difahami lebih dahulu bahwa dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan penguasa tertinggi yang dikenal dengan istilah of the people, by the people, for the people seperti diucapkan oleh Cleon pada rakyat Yunani 300 tahun sebelum masehi. Karena rakyat itu tidak mungkin menjadi pelaksana pemerintahan sendiri, maka rakyat menunjuk beberapa orang yang dipercaya sebagai pelaksana harian yang dipilih langsung dari yang paling bawah (Kepala Desa) sampai yang tertinggi yaitu presiden.

Dari sini maka kita akan mendapat gambaran bahwa calon bupati, kades, walikota, gubernur yang memberi uang pada rakyat agar dipilih itu tidak berbeda dengan rakyat yang memberi uang pada polisi agar tidak terkena Tilang; dengan kontraktor yang memberi uang pada pejabat tender proyek agar menang dalam proyek; dengan orang yang berperkara di pengadilan yang memberi uang pada jaksa dan hakim agar tuntunan dan keputusan hukum diperingan; dengan calon pegawai agar diterima jadi PNS, dll.

Kalau sudah begitu, maka secara terang benderang berlakulah hadits haramnya suap menyuap terhadap praktik money politics (politik uang) atau jual beli suara. Bahkan, jual beli suara dalam pilkada lebih besar bahaya dan mudaratnya bagi umat karena perilaku pejabat yang dipilih akan berdampak pada kepentingan masyarakat banyak --baik yang menerima uang suap maupun yang tidak. Beda halnya suap menyuap antara pemilik motor/mobil dan polisi lalu lintas atau jaksa/hakim dan terdakwa yang dampaknya hanya kepada pihak-pihak yang terlibat dengan perkara saja. Yang inipun termasuk dosa besar dalam Islam.

Seluruh ulama, kyai, ustadz, dan tokoh masyarakat harus solid dan kompak bekerja sama untuk (a) memerangi praktik politik uang dan (b) memberi pencerahan pada rakyat agar memilih calon berdasar pada siapa figur yang paling amanah dan mampu memimpin bukan pada tokoh yang menyuap mereka. Salah satu tanda figur yang amanah adalah mereka yang tidak memberi uang agar dipilih!

Dalil-dalil haramnya politik uang atau jual beli suara dalam pilkada sbb:

- QS An-Nisa' 4:29

يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.

- QS Al-Maidah 5:2

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

-

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي والرائش الذي يمشي بينهما
Artinya: Rasulullah melaknat penyuap, penerima suap, makelar suap.

- Fatwa dari Lajnah Syar'iyah Jam'iyah Al-Ishlah Kuwait terkait jual beli suara dalam pemilu. Ringkasannya sbb: :

يجب على الناخب أن يعلم بأنّ انتخاب شخص ما يعتبر شهادة له بالكفاءة وتزكية له، كما انه يعتبر توكيلاً له للمطالبة بحقوقه، فإيّاك ثم أيّاك أن تشهدلإنسان بأن تزكيه وتعطيه صوتك وتنتخبه مقابل عرض من الدنيا، فتشهد له شهادة زور، فتقع تحت طائلة ذنب عظيم وبهتان مبين، قال تعالى: ((واقيموا الشهادة لله ذلكم يوعظ به من كان يؤمن بالله واليوم الآخ، ومن يتق الله يجعل له مخرجاً)) (الطلاق:2). فلا تشهد أيها الناخب الكريم إلاّ بما رأيت يقيناً أنه نافع ومفيد وفي مستوى المسؤولية لقوله صلى الله عليه وسلم لمن سأله الشهادة :(هل ترى الشمس؟ قال: نعم، فقال: على مثلها فاشهد أو دع)
Arti ringkasan: Pemilih harus tahu bahwa memilih seseorang itu sama dengan memberi kesaksian baik pada orang yang dipilih sekaligus sebagai wakil dalam mendapatkan hak-haknya. Oleh karena itu, harus dihindari memberi kesaksian baik pada figur tertentu dan memberikan suara Anda padanya hanya karena uang. Apabila itu terjadi, maka anda telah membuat kesaksian palsu yang termasuk dosa besar seperti disebut dalam QS At-Talaq 65:2
Maka janganlah membuat kesaksian kecuali pada orang yang anda yakini amanahnya.

(Uraian lebih detail dan mendalam tentang hal ini (suap dan korupsi) akan ditulis dalam artikel tersendiri nanti, insyaAllah)


[1][1] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah (Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 22.
[2][2] Ibid., hlm. 22-23.
[3][3] Cecep Darmawan, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Laboratorium PKn UPI, 2009), hlm. 11.
[4][4] Cahyadi Takariawan, Fikih Politik Perempuan, (Solo: Era Intermedia, 2003), hlm. 37.
[5][5] Al-Qur’an dan terjemah bahasa Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2006), hlm. 541.
[6][6] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah ..., hlm. 27.
[7][7] Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 49.
[8][8] Ibid., hlm. 49-50.
[9][9] Djamaluddin Miri, Ahkamul Fuqaha (Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), (Surabaya: Khalista, 2007), hlm. 694-695.
[10][10] Ibid.
[11][11] Ibid., hlm. 696.
[12][12] Ibid.
[13][13] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gende), (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2001), hlm. 188.
[14][14] Ibid., hlm. 189.
[15][15] Ibid., hlm. 190.
[16][16] Ibid., hlm. 191.
[17][17] Ibid., hlm. 192.
[18][18] Al-Qur’an dan terjemah…, hlm. 84.
[19][19] Mustafa A Sibary, Wanita: diantara Hukum Islam dan Perundang-Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), hlm. 221.
[20][20] Ibid., hlm. 222.
[21][21] Ibid., hlm. 223.
[22][22] Ibid., hlm. 223-224.
[23][23] Al-Qur’an dan terjemah…, hlm. 198.
[24][24] Ibid.
[25][25] Ibid., hlm. 231.
[26][26] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan……, hlm. 195.
[27][27] Ibid., hlm. 196.
[28][28] Ibid., hlm. 197.
[29][29] Ibid., hlm. 198.
[30][30] Al-Qur’an dan Terjemah…, hlm. 585.
[31][31] Ibid., hlm. 537.
[32][32] http://www.jejakislam.com/2013/12/pasang-foto-di-al-quran.html diakses pada hari Selasa, 12 april 2016 di STAIN Kudus jam 12.06 WIB.

0 komentar: